Sungguh membahagiakan dan cukup membanggakan ketika mendengar pernyataan spontan dari beberapa tamu arab yang mengatakan bahwa Indonesia “Qit’atun minal jannah” pongkahan surga. Pernyataan ini terucap manakala mereka menyaksikan keindahan bumi Indonesia, layaknya surga yang tergambar dalam al-Quran dimana disebutkan bahwa surga itu ditumbuhi oleh pohon-pohon rindang yang buahnya menjulur kebawah memudahkan bagi yang ingin memetiknya. Dan diantara pepohonan itu mengalirlah sungai-sungai yang airnya dapat langsung diminum dengan kenikmatan yang berbeda rasanya sebagaimana simbol sungai madu dan susu dalam al-Quran. Ungkapan bahwa Indonesia merupakan pongkahan surga bukanlah semata-mata karena bidadari-bidari mungil yang kapan saja dan dimana saja mudah ditemukan di belahan surga Indonesia tetapi ungkapan itu memang lahir dari pengetahuan mereka tentang wahyu yang membentuk alam pikiran mereka tetang wujud dari surga. Dan gambaran itu, faktanya dapat mereka lihat dan rasakan ketika menelusuri bumi persada ini sebagaimana ungkapan sebuah lagu tongkatpun menjadi tanaman. Hal ini berarti segala yang diinginkan dan dimintak ada dibelahan bumi ini seperti layaknya surga.
Ketika bumi indonesia ini adalah surga seperti ungkapan tersebut maka dapat dipastikan betapa berlimpahnya rahmat Allah yang telah diberikan kepada penduduknya. “Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Albaqorah ; 2: 157). Sungguh Allah telah memberikan segalanya buat Indonesia tetapi sampai saat ini rahmat yang Allah berikan ini belum mampu kita kelola sebaik-baiknya sebagaimana surga itu sendiri. Bukankah di surga tidak ada orang-orang yang melakukan kejahatan dikarenakan kemiskinannya, membuang bayi yang baru dilahirkan dikarenakan takut miskin sebagaimana zaman jahiliyah dulu, menghabiskan nyawa orang lain tanpa berprikemanusian hanya karena sebuah handphone, anak dan ibu berperkara di pengadilan hanya karena sejengkal tanah. Apakah perlakuan diatas merupakan cermin dari pemimpin-peminpin rakus yang tidak memperdulikan rakyatnya. Seolah-olah semua rahmat Allah ini ingin mereka manfaatkan hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Seperti pengakuan alQuran di surat alBaqarah; 2:105. “Orang-orang kafir dan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya, dan Allah mempunyai karunia yang besar”.
Allah telah menentukan pilihannya bahwa rahmat-Nya ada di Indonesia berupa alam yang sempurna dengan penduduk yang berbeda ras, suku dan agamanya tetapi perbedaan itu tidak menjadi bencana bagi masyarakatnya, justru perbedaan itu memperkuat persatuan bangsanya untuk saling menjaga keutuhan surga NKRI. Hal semacam ini sungguh diajarkan Nabi Muhammad ketika di Madinah dan dilanjutkan oleh para sahabatnya ketika melakukan penaklukan-penaklukan. Rasul mengajarkan bahwa kekuasaan harus berdampak kepada kemakmuran bagi masyarakatnya agar mereka tidak lagi susah dalam menjalankan kehidupan dan dengan begitu kejahatan-kejahatan yang lahir mengatas namakan kemiskinan tidak lagi ada di bumi ini. Dan jikapun ada kejahatan, itu berarti lahir dari sifat tamak yang ingin memperkaya dirinnya dengan jalan-jalan yang semua agama tidak mentolerirnya.
Kejahatan yang termediakan saat ini berupa kejahatan yang terorganisir dengan baik oleh para penguasa yang berorientasi dari hasrat kerakusannya. Saling fitnah dan serang opini kejahatan menjadi menu utama sehari-hari untuk masyarakat indonesia yang hanya tersenyum (qonaah) “rendah hati” karena kekuatan iman mereka. Penguasa-penguasa itu tidak menyadari bahwa ada pengadilan Tuhan yang tak seorang pun dapat lepas darinya, mereka tidak menyadari bahwa harta yang berlimpah ruah itu tidak sampai di bawa ke alam kubur dimana mereka tertidur dengan serangga-serangga yang pelan-pelan menghabisi fisik mereka. Tertanam kaku di bawah tanah dengan meninggalkan harta yang dikumpulkan di dunia, padahal keluarga yang ditinggalkan lambat laun juga akan melupakannya dan dengan tertawa-tawa sumringah mereka berbagi warisan. Kesedihan mereka hanya beberapa saat berlalu bersamaan terpajangnya foto-foto kenangan di dinding ruang tamu dan pada akhirnya album foto kenangan itupun dilepas dari tembok itu untuk segera disimpan digudang agar hal itu tidak lagi menjadi kenangan. Kalau sudah begini hilanglah surga nyata yang akan diraih oleh orang-orang beriman setelah nyawa kembali kepada sang Pencipta. Surga abadi itu tidak dapat diraih karena asal muasal hartanya didapat dari dosa-dosa kerakusan dunia yang akhirnya harta tersebut hanya dinikmati oleh ahli warisnya. Betapa menyedihkan jika seseorang merasakan azab Allah di akhirat dan kalaupun seandainya mereka di kembalikan lagi kedunia, tidak akan mampu hidup ditengah-tengah cemoohan masyarakat atas perbuatan zhalimnya. Dan Allah pun tidak lagi memberi ruang baginya seperti ungakpan alQuran Surat Yunus ; 10 ; 21 “Dan apabila kami memberikan rahmat kepada manusia setelah bahaya menimpa mereka, tiba-tiba mereka akan melakukan makar (menentang) pada kekuasaan kami, katakanlah; Allah lebih cepat membalas kemakaran, sesungguhnya malaikat-malaikat kami menuliskan kemakaranmu”. Perjalanan penguasa tercatat sebagai makhluk yang senantiasa kembali kepada Allah bila kekuasaan “rahmat” belum menjadi miliknya, apalagi disaat-saat dukungan masyarakat belum bisa dipastikan memenangkannya maka simbol-simbol kesalehan itu akan tampak pada dirinya. Begitupun setelah tertimpa kasus-kasus yang menjerat dan mengantarkannya ke penjara maka Allah menjadi tumpuannya.
Mungkin saja masyarakat kelak akan melihat betapa para penguasa-penguasa yang tidak amanah itu akan kembali kepada Allah setelah kenikmatan demi kenikmatan surga indonesia ini habis karena kelemahan sistem yang sengaja mereka ciptakan sebagai ruang untuk memonopoli kekayaan. Kekayaan yang sebenarnya diperuntukkan sebagai ujian bagi semua orang untuk dapat menghantarkannya ke surga Allah atau kekayaan itu kelak akan berganti dengan murka Allah. Sebagaimana analogi kisah alQuran ini “Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya. Dan datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segala penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata); “sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS. Yunus ; 10 ; 21)
Zulkarnain Nasution
Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir
Ketika bumi indonesia ini adalah surga seperti ungkapan tersebut maka dapat dipastikan betapa berlimpahnya rahmat Allah yang telah diberikan kepada penduduknya. “Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Albaqorah ; 2: 157). Sungguh Allah telah memberikan segalanya buat Indonesia tetapi sampai saat ini rahmat yang Allah berikan ini belum mampu kita kelola sebaik-baiknya sebagaimana surga itu sendiri. Bukankah di surga tidak ada orang-orang yang melakukan kejahatan dikarenakan kemiskinannya, membuang bayi yang baru dilahirkan dikarenakan takut miskin sebagaimana zaman jahiliyah dulu, menghabiskan nyawa orang lain tanpa berprikemanusian hanya karena sebuah handphone, anak dan ibu berperkara di pengadilan hanya karena sejengkal tanah. Apakah perlakuan diatas merupakan cermin dari pemimpin-peminpin rakus yang tidak memperdulikan rakyatnya. Seolah-olah semua rahmat Allah ini ingin mereka manfaatkan hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Seperti pengakuan alQuran di surat alBaqarah; 2:105. “Orang-orang kafir dan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya, dan Allah mempunyai karunia yang besar”.
Allah telah menentukan pilihannya bahwa rahmat-Nya ada di Indonesia berupa alam yang sempurna dengan penduduk yang berbeda ras, suku dan agamanya tetapi perbedaan itu tidak menjadi bencana bagi masyarakatnya, justru perbedaan itu memperkuat persatuan bangsanya untuk saling menjaga keutuhan surga NKRI. Hal semacam ini sungguh diajarkan Nabi Muhammad ketika di Madinah dan dilanjutkan oleh para sahabatnya ketika melakukan penaklukan-penaklukan. Rasul mengajarkan bahwa kekuasaan harus berdampak kepada kemakmuran bagi masyarakatnya agar mereka tidak lagi susah dalam menjalankan kehidupan dan dengan begitu kejahatan-kejahatan yang lahir mengatas namakan kemiskinan tidak lagi ada di bumi ini. Dan jikapun ada kejahatan, itu berarti lahir dari sifat tamak yang ingin memperkaya dirinnya dengan jalan-jalan yang semua agama tidak mentolerirnya.
Kejahatan yang termediakan saat ini berupa kejahatan yang terorganisir dengan baik oleh para penguasa yang berorientasi dari hasrat kerakusannya. Saling fitnah dan serang opini kejahatan menjadi menu utama sehari-hari untuk masyarakat indonesia yang hanya tersenyum (qonaah) “rendah hati” karena kekuatan iman mereka. Penguasa-penguasa itu tidak menyadari bahwa ada pengadilan Tuhan yang tak seorang pun dapat lepas darinya, mereka tidak menyadari bahwa harta yang berlimpah ruah itu tidak sampai di bawa ke alam kubur dimana mereka tertidur dengan serangga-serangga yang pelan-pelan menghabisi fisik mereka. Tertanam kaku di bawah tanah dengan meninggalkan harta yang dikumpulkan di dunia, padahal keluarga yang ditinggalkan lambat laun juga akan melupakannya dan dengan tertawa-tawa sumringah mereka berbagi warisan. Kesedihan mereka hanya beberapa saat berlalu bersamaan terpajangnya foto-foto kenangan di dinding ruang tamu dan pada akhirnya album foto kenangan itupun dilepas dari tembok itu untuk segera disimpan digudang agar hal itu tidak lagi menjadi kenangan. Kalau sudah begini hilanglah surga nyata yang akan diraih oleh orang-orang beriman setelah nyawa kembali kepada sang Pencipta. Surga abadi itu tidak dapat diraih karena asal muasal hartanya didapat dari dosa-dosa kerakusan dunia yang akhirnya harta tersebut hanya dinikmati oleh ahli warisnya. Betapa menyedihkan jika seseorang merasakan azab Allah di akhirat dan kalaupun seandainya mereka di kembalikan lagi kedunia, tidak akan mampu hidup ditengah-tengah cemoohan masyarakat atas perbuatan zhalimnya. Dan Allah pun tidak lagi memberi ruang baginya seperti ungakpan alQuran Surat Yunus ; 10 ; 21 “Dan apabila kami memberikan rahmat kepada manusia setelah bahaya menimpa mereka, tiba-tiba mereka akan melakukan makar (menentang) pada kekuasaan kami, katakanlah; Allah lebih cepat membalas kemakaran, sesungguhnya malaikat-malaikat kami menuliskan kemakaranmu”. Perjalanan penguasa tercatat sebagai makhluk yang senantiasa kembali kepada Allah bila kekuasaan “rahmat” belum menjadi miliknya, apalagi disaat-saat dukungan masyarakat belum bisa dipastikan memenangkannya maka simbol-simbol kesalehan itu akan tampak pada dirinya. Begitupun setelah tertimpa kasus-kasus yang menjerat dan mengantarkannya ke penjara maka Allah menjadi tumpuannya.
Mungkin saja masyarakat kelak akan melihat betapa para penguasa-penguasa yang tidak amanah itu akan kembali kepada Allah setelah kenikmatan demi kenikmatan surga indonesia ini habis karena kelemahan sistem yang sengaja mereka ciptakan sebagai ruang untuk memonopoli kekayaan. Kekayaan yang sebenarnya diperuntukkan sebagai ujian bagi semua orang untuk dapat menghantarkannya ke surga Allah atau kekayaan itu kelak akan berganti dengan murka Allah. Sebagaimana analogi kisah alQuran ini “Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya. Dan datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segala penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata); “sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS. Yunus ; 10 ; 21)
Zulkarnain Nasution
Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir






