13 October 2014

NILAI-NILAI ISLAM DALAM KEBUDAYAAN INDONESIA "Kajian Filsafat Manusia Dan Kebudayaan"

Kebudayaan Islam merupakan sistem yang mempunyai sifat-sifat ideal, sempurna, praktis, aktual, diakui keberadaannya dan senantiasa diekspresikan. Sistem yang ideal berdasarkan pada hal-hal yang biasa terjadi dan berkaitan dengan yang aktual (Picktchall, 1993: 26-29). Sistem Islam menerapkan dan menjanjikan perdamaian dan stabilitas dimanapun manusia berada, karena pada hakikatnya manusia memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah SWT, yang berbeda justru hanya terletak pada unsur-unsur keimanan dan ketakwaannya saja.
Perkembangan kebudayaan Islam membutuhkan petunjuk wahyu berupa firman-firman Allah SWT yang terdapat di dalam Al Qur’an dan Hadis Nabi,  dan bertujuan hanya untuk beribadah kepada Allah semata-mata. Islam dalam hal ini, berkontribus dalam kehidupan manusia untuk menumbuhkembangkan akal budi, sehingga memperoleh kebudayaan yang memenuhi aturan-aturan dan norma-norma agama. Perkembangan kebudayaan yang didasari dengan nilai-nilai keagamaan; agama memiliki fungsi yang demikian jelas. Maju dan mundurnya kehidupan umat manusia itu, mengalami kemandegan, hal ini disebabkan adanya hal-hal yang terbatas, dalam memecahkan berbagai macam persoalan dalam hidup dan kehidupan manusia, maka dibutuhkan suatu petunjuk berupa wahyu.

Allah SWT memilih seorang Nabi dan Rasul dari manusia, sebab yang akan menjadi bimbingannya adalah manusia juga, oleh karena itu tujuan utama misi Muhammad Rasulullah saw adalah menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta. Nabi Muhammad saw dalam mengawali tugas kenabian dan kerasulannya mendasarkan diri pada asas-asas kebudayaan Islam, yang selanjutnya tumbuh dan berkembang menjadi suatu peradaban yaitu peradaban Islam. Nabi Muhammad saw pada waktu berdakwah, keluar dari jazirah Arab dan seterusnya menyebar keseluruh penjuru dunia, maka terjadilah proses asimilasi berbagai macam kebudayaan dengan nilai-nilai Islam kemudian menghasilkan kebudayaan Islam yang pada akhirnya akan berkembang menjadi suatu kebudayaan yang diyakini kebenarannya secara universal.

Islam sebagai suatu agama, secara sungguh-sungguh mendorong manusia untuk berusaha melalui pribadi dan kelompoknya, agar dapat menciptakan suatu keadaan yang lebih baik, sehingga menjadi suatu kekuatan di dunia (Picktchall,1993: 7). Masyarakat merupakan ajang kebudayaan. Kebudayaan ada dan terwujud karena adanya hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya, dalam hubungan tersebut timbullah cita-cita, perilaku, dan hasil karya, kesemuanya ini mewujudkan kebudayaan. Tingkah laku perbuatan dan hasil karya disebut amal. Takwa yang mempunyai sifat pasif menjadi aktif dalam bentuk amal. Kebudayaan timbul karena kesatuan sosial. 
Kesatuan sosial terwujud dari hubungan antara manusia dengan manusia, hal ini merupakan kesinambungan adanya hubungan tersebut yang melahirkan adanya hubungan antara manusia dengan Tuhan. Hubungan antara manusia dengan Tuhan menimbulkan sistem agama yang disebut dengan sistem ibadat, hubungan manusia dengan diri sendiri menimbulkan sistem antropologi yang disebut dengan sistem takwa, hubungan manusia dengan manusia lain dan alam semesta menimbulkan sistem kebudayaan disebut dengan sistem mu’amalat, kemudian menjadi wadah kebudayaan yaitu kebudayaan Islam (Gazalba, 1976: 73).

Islam bukan saja agama, namun Islam juga kebudayaan, maka Islam adalah segala sesuatu yang melingkupi semua kehidupan umat manusia; dengan demikian Islam dapat dikategorikan sebagai way of life atau cara (sikap) hidup. Dengan kata lain Islam adalah kesatuan kehidupan orang-orang Islam (Gazalba,1976: 106-107). Pusat kehidupan orang-orang Islam adalah masjid, maka masjid merupakan pusat ibadat dan kebudayaan Islam pada khususnya serta pusat kehidupan Islam pada umumnya.

PRINSIP-PRINSIP KEBUDAYAAN ISLAM

Kebudayaan Islam berdasarkan pada beberapa prinsip:

1. Tuhan dalam Islam hanya Allah.

Maka semua perintah Allah diperlakukan bagi seluruh manusia dimanapun mereka berada, hal tersebut melingkupi seluruh manusia baik sebagai subjek (melaksanakan perintah-perintah Allah) dan juga sebagai objek (semua perintah Allah dilaksanakan manusia). Sebelum adanya Islam, umat manusia hidup secara berkelompok, hal ini berlandaskan pada ras atau budaya bahkan keduanya. Islam memberi fondamen baru bagi kelompok-kelompok tersebut, yaitu yang dikenal dengan ummah. Ummah adalah suatu kesepakatan yang meliputi beberapa hal yaitu wawasan, kehendak dan perbuatan secara bersama-sama yang dilakukan oleh umat Islam.

Persaudaraan universal yang disebabkan oleh tauhid (mengesakan Allah dan meyakini bahwa Rasulullah saw adalah utusan Allah) memerlukan suatu formasi baru, sebab umat Islam adalah suatu masyarakat baru yang dikelompokkan bukan berlandaskan pada suku atau ras, namun pada agama, maka bagi orang-orang nonmuslim diharapkan dapat membuka diri dengan cara menghindari garis keturunan dan kesukuan serta melaksanakan koordinasi yang berlandaskan agama. Agama bukan memberikan gambaran keterbelakangan dan prinsip pengorganisasian yang statis, banyak purbasangka, dipenuhi hal-hal yang eksklusif, seperti yang dibayangkan oleh orang-orang barat. Agama mewujudkan segi kehidupan manusia yang terpenting di dunia karena mengarah kepada tujuan tertinggi yang dapat diraih oleh manusia (Al Faruqi, 1988: 190). 

Ikatan persaudaraan secara universal di dalam Islam, dapat ditunjukkan pada zaman Nabi Muhammad saw sebelum hijrah dari Makkah ke Madinah, yaitu pada bulan Juli 622 M mengadakan suatu piagam perjanjian antara orang-orang Yahudi dengan umat Islam. 

2. Dunia baru Islam merupakan pranata perdamaian.

Penjajahan, perseteruan di antara bangsa-bangsa di dunia harus dihapuskan. Mewujudkan suatu perdamaian harus bersifat umum dan transparan bagi seluruh manusia, perseorangan maupun kelompok. Peraturan perdamaian harus diberikan kepada semua orang tanpa pandang bulu, diharapkan secara keseluruhan diterima dengan sepenuh hati tanpa adanya paksaan. Pranata perdamaian harus diberikan kepada semua orang tanpa perkecualian, dan diharapkan semuanya dapat menerima dan ikut berpartisipasi serta masuk sebagai anggota, seandainya terjadi tawaran perdamaian tersebut ditolak, maka hal ini berarti yang menolak tidak menghendaki terwujudnya suatu perdamaian, sehingga terjadi peperangan. Perdamaian di dunia sebenarnya selalu dinanti-nantikan kehadirannya oleh siapa saja, tinggal manusianya mau berupaya untuk dapat mewujudkan perdamaian tersebut atau bahkan menolaknya, maka yang akan terjadi adalah kerusuhan, keributan dan kerusakan dunia, yang tidak lain merupakan perbuatan manusia sendiri (Al Faruqi, 1982: 194-195).

3. Hukum Islam terkait hubungan bangsa dan negara.

Penawaran perdamaian yang diberikan oleh negara Islam kepada negara-negara di seluruh dunia diterima dengan baik, hal itu berarti telah terwujud suatu Pax Islamica (Pranata Dunia Baru), maka semua negara yang ada didalamnya berhak memperoleh privilege, sehingga tata aturan yang meliputi berbagai macam bidang, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, agama,  pertahanan dan keamanan akan mendapatkan perlindungan dari negara Islam yang sudah terbentuk. orang-orang nonmuslim dan bukan warganegara Islam, dapat dan boleh mengajukan tuntutan kepada pengadilan Islam. 

Hukum Internasional Islam mengakui hak-hak yang dimiliki negara dan juga para individu, hal ini merupakan suatu kelebihan hukum Islam, karena bertujuan memperoleh keadilan terutama bagi orang per orang, sedang hukum Internasional barat bertujuan mewujudkan akomodasi bagi negara-negara yang berdaulat, dengan melupakan kebutuhan individu, bahkan yang terjadi kebutuhan individu diabaikan demi kebutuhan para penguasa. Hukum Internasional Islam berupaya untuk mengembalikan nama baik para tawanan perang agar dapat meraih kebebasan, lewat usaha atas kehendaknya sendiri; ataupun dengan pertolongan kawan-kawan dan handai tolan, baik mengenai harta maupun yang lainnya.

Hukum Islam mengajak seluruh umat Islam untuk menyisihkan 1/7 dari dana zakat untuk menebus tawanan perang, baik muslim maupun nonmuslim; hal ini merupakan perbuatan yang demikian mulia, karena membebaskan tawanan dapat menjadi penebus dosa besar (Al Faruqi, 1982: 197-198).

Jual beli dalam negara Islam yang berkaitan dengan orang, barang, dana melalui daerahnya dapat menjadi inti perjanjian antara negara Islam dengan orang asing yang bersangkutan, hal ini disebut isti’man. Hukum Internasional Islam lebih mengutamakan keadilan, kesamaan derajat, kebebasan, kesejahteraan, kebutuhan, dan kemakmuran yang menjadi milik perorangan (individu) daripada hukum internasional barat yang lebih mengutamakan kebutuhan kelompok.

4. Hukum yang terkait dengan perang.

Timbal balik dari seluruh hak yang dimiliki oleh setiap orang dan kelompok dalam Pax Islamica hanyalah berupa satu kewajiban yaitu pajak setahun sekali yang berasal dari orang-orang non muslim, yang dinamakan jizyah. Pajak ini lebih kecil, dibanding zakat yang harus dibayar oleh setiap orang Islam. Hukum Islam memutuskan bahwa negara Islam harus mengembalikan jizyah kepada orang-orang Nasrani dan Yahudi yang sudah diambil dari mereka bagi tahun berikutnya, apabila ini tidak dapat melindungi desa-desa perbatasan mereka dari serangan tentara Byzantium atau musuh yang tidak dikenal.

Hukum Islam dalam menyatakan perang tidak berada pada lembaga eksekutif, namun pada Mahkamah Agung yang akan membuktikan serangan atau ketidakadilan yang dilakukan negara Islam dan warga negaranya (AlFaruqi, 1982: 199). Mahkamah Agung dapat menerapkan hukuman baik yang berasal dari pengadilan maupun Allah bagi seseorang yang membunuh, merusak harta benda, menyerang pendeta, wanita dan anak-anak, kecuali apabila mereka secara langsung ikut dalam peperangan.

SEJARAH PEMIKIRAN KEFILSAFATAN DALAM ISLAM

Teori yang ditumbuhkembangkan oleh Harun Nasution, sejarah intelektual Islam dikelompokkan dalam tiga periode:

1. Periode Klasik; tahun 650-1250 M.
2. Periode Pertengahan; tahun 1250-1800 M.
3. Periode Modern; tahun 1800-sekarang.

Zaman periode klasik, terdapat beberapa mazhab, seperti Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Syafi’i, dan Imam Maliki. Selaras dengan hal itu timbul beberapa filosof muslim, seperti Al Kindi yang lahir pada tahun 801 M yang dikenal sebagai seorang filosof Islam, berasal dari Arab (Kufah). Salah satu pemikiran Al Kindi, menyatakan bahwa filsafat merupakan bagian dari kebudayaan Islam, maka filsafat Islam dikatakan filsafat religius spiritual, karena:

1. Filsafat Islam meneliti problematika yang satu dan yang banyak.
2. Filsafat Islam membahas tentang hubungan antara Allah dengan makhluk.
3. Filsafat Islam berupaya memadukan antara wahyu dengan akal, akidah dengan hikmah, agama dengan filsafat.
4. Filsafat Islam berupaya menerangkan bahwa:

a) Wahyu tidak bertentangan dengan akal.
b) Akidah apabila diterangi dengan sinar filsafat akan menetap dalam jiwa dan tangguh dihadapan            lawan.
c) Agama apabila bersaudara dengan filsafat akan menjadi filosofis, seperti halnya filsafat akan   menjadi religius (Madkour, 1988: 7-8).

Pada abad yang sama, lahir juga seorang filosof Islam yang memiliki nama besar, yaitu Muhammad Zakaria Al-Razi, lahir pada tahun 865 M/251 H di Rayy (Teheran), ia dikenal sebagai seorang dokter yang memimpin sebuah rumah sakit di Rayy. Al-Razi kemudian pindah dari Rayy ke Baghdad yaitu pada masa Khalifah Muktafi (289 H/ 901 M – 295 H / 908 M), dan di Baghdad Al-Razi juga menjadi pemimpin sebuah rumah sakit. Al-Razi adalah seorang yang baik hati, dekat kepada para pasiennya, suka berderma kepada orang-orang fakir miskin, dan ia memberikan perawatan sepenuhnya dengan gratis dan mengikhlaskan hasil kerja kerasnya kepada mereka (Syarif, 1985: 32-22). Al Razi dapat digolongkan sebagai seorang filosof yang berfaham rasionalis, karena hanya meyakini kebenaran akal saja, di bidang kedokteran, studi klinis yang dilaksanakannya sudah menghasilkan metode yang demikian kuat mengenai penelitian yang berdasarkan pada observasi dan eksperimen (Syarif, 1985: 37-38).

Pada tahun 870 M, lahir seorang filosof besar Islam yaitu Al Farabi yang mendapat gelar Al Mu’alim as-tsani (Guru Kedua setelah Aristoteles). Al Farabi berpendapat bahwa kebenaran filsafat hanyalah satu, sebab filsafat menurut Plato dan Aristoteles tidak dapat dibedakan. Perbedaan yang dapat dilihat yaitu pada hal-hal yang sifatnya lahiriah saja, sedang hakikatnya sama. Al Farabi menulis buku berjudul: Al-jam’u Baina Ra’yai Al-Hakimain” (Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof Plato dan Aristoteles) (Basyir, 1989: 33).

Abad selanjutnya, diteruskan oleh seorang filosof Islam yaitu Ibnu Miskawaih yang mendapat gelar Bapak Etika Islam, lahir pada tahun 932M. Ibnu Miskawaih di samping dikenal sebagai seorang filosof, tabib, ahli ilmu pengetahuan dan pujanggawan, bersama dengan hal itu Ibnu Miskawaih merasa demikian prihatin melihat situasi masyarakat banyak terjadi kerusakan moral, sehingga dengan segenap perasaannya, ia menyempatkan diri menulis beberapa buku yang berkaitan dengan masalah moral (Etika Islam), di antara buku-buku tersebut, antara lain: Fauz Al Akbar, Tartib Al Sa’adah, Al Siyar, Tahdzib Al Akhlaq,dan Jawidan Khirad. Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa setiap yang ada itu dapat berubah menjadi baik, jika ia memiliki keinginan untuk merubahnya dan hal tersebut didasari dengan harkat dan martabat kemanusiaannya (Widyastini, 2004: 52-53).Pada tahun 1037 M, lahir seorang filosof Islam yaitu Ibnu Sina, Ibnu Bajjah tahun 1138, Ibnu Thufail tahun 1147 M, Ibnu Rusyd tahun 1126 M.

Pada periode pertengahan tahun 1250-1800 M, menurut sejarah pemikiran Islam dinilai mengalami kemunduran, sebab filsafat mulai ditinggalkan oleh umat Islam, sehingga terdapat usaha untuk mempertentangkan antara akal dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan akhirat. Pengaruh tersebut masih dapat dirasakan sampai saat ini dan hal ini dibuktikan dengan tidak ada daerah-daerah yang menjadi kekuasaan Islam yang secara utuh melingkupi beberapa kerajaan Islam, di antaranya Kerajaan Usmani, Safawi dan Mogul dan pada periode pertengahan ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi demikian terbatas.

Pada periode modern, umat Islam bangkit kembali, maka periode ini dikatakan sebagai Masa Kebangkitan Islam, dan hal ini ditandai dengan adanya kesadaran umat Islam terhadap kelemahan-kelemahannya, sehingga ada kehendak membangkitkan kembali ilmu pengetahuan dan teknologi; maka kemudian lahirlah para tokoh pembaharu dan para filosof Islam dari berbagai negara Islam di dunia ini (Tim Penulis Ensiklopedi Islam, 1997: 258). Pembaharuan dalam Islam pada prinsipnya merupakan usaha untuk memberi penafsiran kembali terhadap ajaran-ajaran Islam yang sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi perkembangan zaman, sebagai akibat timbulnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan untuk mengajak umat Islam melepaskan diri dari ikatan kejahiliyahan menuju kepada perkembangan dan kemajuan.

MASJID SEBAGAI PUSAT PERADABAN ISLAM

Masjid biasanya dipahami oleh sebagian besar masyarakat merupakan rumah ibadah, terutama untuk shalat, padahal sebenarnya masjid memiliki fungsi yang demikian luas daripada sekedar untuk shalat. Masjid pada awal berdirinya belum berpindah dari fungsi yang utama yaitu untuk melakukan shalat, namun perlu diketahui bahwa masjid pada zaman Rasulullah saw dimanfaatkan sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Islam. Nabi Muhammad saw menumbuhkembangkan agama Islam termasuk didalamnya mengajarkan Al Qur’an, Al Hadits, bermusyawarah untuk mufakat dalam usaha menyelesaikan berbagai macam persoalan umat Islam, membina sikap dasar umat Islam kepada orang-orang nonmuslim, sehingga segala macam ikhtiar untuk mengembangkan kesejahteraan umat Islam justru berasal dari masjid.

Masjid merupakan ajang untuk mengumumkan hal-hal penting terutama berkaitan dengan hidup dan kehidupan umat Islam. Persoalan suka dan duka, peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar masjid diberitahukan kepada masyarakat melalui masjid. Masjid juga berfungsi dalam hal pendidikan dan penerangan untuk masyarakat serta merupakan tempat belajar bagi semua orang yang akan belajar dan mendalami agama. Pada waktu Nabi Muhammad saw masih hidup, semua pertanyaan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, agama maupun masalah hukum langsung dilontarkan dan dicarikan jawabannya secara langsung oleh beliau, maka ketika itu belum diperlukan kepustakaan Islam.

Asas Islam didalamnya mengandung kepustakaan, hal ini dapat dilihat pada waktu turunnya wahyu yang pertama yaitu surat Al Alaq ayat 1-5, artinya:

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (Departemen Agama, 1989: 1079). 

Ayat tersebut mengandung makna bahwa tempat bersandar kepustakaan adalah membaca dan menulis, tanpa menulis maupun membaca buku-buku tidak pernah ada. Membaca dan menulis merupakan pertanda bagi lahirnya kepustakaan Islam sesudah nabi wafat. Kitab yang pertama dan utama dalam Islam adalah kitab suci Al Qur’an. Kitab yang kedua adalah As Sunnah (Al Hadits). Kitab-kitab yang ditulis setelah Al Qur’an dan As Sunnah memiliki sifat menjelaskan, membahas, memberi penafsiran, mengolah, menumbuhkembangkan, dan meneruskan kedua kitab tersebut. 
Kepustakaan Islam adalah pusat pendidikan, pengajaran, dan dakwah Islam. Pada waktu Nabi Muhammad saw masih hidup, perpustakaan belum tersedia, tetapi secara keseluruhan berdasarkan pada wahyu pertama sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an. Mereka yang berkeinginan mengembangkan ilmu pengetahuan dan memperdalam ilmu, maka masjid merupakan perpustakaan sekaligus sebagai gudang ilmu (Gazalba, 1975: 119).

Masjid berfungsi sebagai tempat sosial, yang dipergunakan seperti hotel bagi seseorang sedang mengadakan perjalanan (musafir), hal itu juga pernah dialami oleh seorang budak wanita yang baru dibebaskan, karena tidak memiliki rumah kemudian ia mendirikan kemah di halaman masjid (Gazalba, 1975: 121). Orang-orang di dalam masjid mengumandangkan ayat-ayat Al Qur’an dengan suara merdu, juga diperdengarkan lagu-lagu yang berciri khas Islami.

Masjid berasal dari istilah sajada, yasjudu yang mengandung arti bersujud atau bersembahyang. Masjid merupakan rumah Allah (Baitullah), sehingga orang yang masuk ke masjid diperintahkan shalat sunnah tahiyatul masjid (menghargai masjid) sebanyak dua rakaat.

Masjid pertama kali didirikan oleh Nabi Muhammad saw di Madinah, yaitu pada tahun 622 bulan Rabiulawal tahun I Hijriyah, bertepatan dengan awal mula Nabi Muhammad saw bertempat tinggal di Madinah, masjid tersebut adalah masjid Madinah (Masjid Nabawi), adalah masjid utama ketiga sesudah Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa.

Sejarah pertumbuhan bangunan masjid berkaitan erat dengan perkembangan daerah Islam dan timbulnya kota-kota baru. Pada waktu awal tumbuh kembangnya Islam ke berbagai negara, umat Islam bertempat tinggal di tempat yang baru, dengan menggunakan sarana masjid sebagai ajang untuk kepentingan sosial. Masjid adalah hasil budaya umat Islam dalam bidang teknologi konstruksi yang sudah diawali semenjak awal mula dan merupakan corak khas negara atau Kota Islam (Tim Penulis Ensiklopedi Islam, 1997: 169-171). 

Masjid juga salah satu bentuk pengejawantahan tumbuhnya kebudayaan Islam yang demikian penting. Bentuk bangunan masjid juga menggambarkan Allah (Sang Pencipta) serta merupakan pertanda tingkat tumbuhkembangnya kebudayaan Islam. Konstruksi masjid yang indah dan mempesonakan dapat ditemukan di Spanyol, India, Suria, Kairo, Baghdad serta beberapa daerah di Afrika juga merupakan pertanda sejarah monumen umat Islam yang pernah mengalami zaman keemasan pada bidang teknologi konstruksi, seni dan ekonomi. Seni arsitektur yang demikian indah kelihatan dalam berbagai masjid berada di seantero dunia tidak timbul secara mendadak, namun melalui proses pertumbuhan secara tahap demi tahap. Diawali dari konstruksi bangunan yang sederhana sampai pada bentuk bangunan yang sempurna, terjadi dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Seni arsitektur masjid tidak terlepas dari pengaruh seni arsitektur Arab, Persia, Byzantium, India, Mesir, dan Gothik. Bangunan dan ciri khas arsitektur masjid, semenjak zaman para khalifah sampai saat ini terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya, tetapi secara keseluruhan dilandasi adanya jiwa ketauhidan dan perwujudan rasa cinta dan kasih sayang kepada Allah SWT.

ISLAM DALAM BUDAYA INDONESIA

Dakwah Islam ke Indonesia lengkap dengan seni dan kebudayaannya, maka Islam tidak lepas dari budaya Arab. Permulaan berkembangnya Islam di Indonesia, dirasakan demikian sulit untuk mengantisipasi adanya perbedaan antara ajaran Islam dengan kebudayaan Arab. Tumbuh kembangnya Islam di Indonesia diolah sedemikian rupa oleh para juru dakwah dengan melalui berbagai macam cara, baik melalui bahasa maupun budaya seperti halnya dilakukan oleh para wali Allah di Pulau Jawa. Para wali Allah tersebut dengan segala kehebatannya dapat menerapkan ajaran dengan melalui bahasa dan budaya daerah setempat, sehingga masyarakat secara tidak sengaja dapat memperoleh nilai-nilai Islam yang pada akhirnya dapat mengemas dan berubah menjadi adat istiadat di dalam hidup dan kehidupan sehari-hari dan secara langsung merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan bangsa Indonesia, misalnya:

setiap diadakan upacara-upacara adat banyak menggunakan bahasa Arab (Al Qur’an), yang sudah secara langsung masuk ke dalam bahasa daerah dan Indonesia, hal tersebut tidak disadari bahwa sebenarnya yang dilaksanakan tidak lain adalah ajaran-ajaran Islam. Ajaran-ajaran Islam yang bersifat komprehensif dan menyeluruh juga dapat disaksikan dalam hal melaksanakan hari raya Idul Fitri 1 Syawal yang pada awalnya sebenarnya dirayakan secara bersama dan serentak oleh seluruh umat Islam dimanapun mereka berada, namun yang kemudian berkembang di Indonesia bahwa segenap lapisan masyarakat tanpa pandang bulu dengan tidak memandang agama dan keyakinannya secara bersama-sama mengadakan syawalan (halal bil halal) selama satu bulan penuh dalam bulan syawal, hal inilah yang pada hakikatnya berasal dari nilai-nilai ajaran Islam, yaitu mewujudkan ikatan tali persaudaraan di antara sesama handai tolan dengan cara saling bersilaturahmi satu sama lain, sehingga dapat terjalin suasana akrab dalam keluarga.

Berkaitan dengan nilai-nilai Islam dalam kebudayaan Indonesia yang lain, juga dapat dikemukakan yaitu sesuai dengan perkembangan zaman terutama ciri dan corak bangunan masjid di Indonesia yang juga mengalami tumbuh kembang, baik terdiri dari masjid-masjid tua maupun yang baru dibangun, misal: masjidmasjid yang dibangun oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pada umumnya hampir mirip dengan bentuk joglo yang berseni budaya Jawa.

Perkembangan budaya Islam yang terdapat pada masjid, secara nyata dapat ditunjukkan yaitu adanya masjid-masjid tua yang kemudian diperbaiki dengan ditambah konstruksi baru atau mengganti tiang-tiang kayu dengan tiang batu atau beton, lantai batu dengan ubin dan dinding sekat dengan tembok kayu. Hal tersebut dapat dicontohkan beberapa masjid yang menambah bangunan, yaitu Masjid Agung Banten (bangunan menara dan madrasah), Masjid Menara Kudus (bangunan bagian depan berujud pintu gerbang dan kubah dengan gaya arsitektur kayu Indonesia), Masjid Agung Surakarta (bangunan pintu gerbang dan tembok keliling yang berlubang tiga pintu dengan lengkung runcing dan menara tempel yang memiliki mahkota kubah, merupakan hasil modifikasi pintu gerbang masjid-masjid di India. Masjid Sumenep Madura (bangunan pintu gerbang bergaya arsitektur Eropa), Masjid Jami’ Padang Panjang, Tanah Datar, Masjid Sarik (Bukittinggi), Masjid Sumatera Barat (pembangunan puncak tumbang dengan mahkota kubah).

Beberapa masjid di Indonesia yang mengedepankan corak yang demikian baru (modern), misal: Masjid Raya Medan, Masjid Baiturrahman Banda Aceh yang mencontoh gaya arsitektur masjid di India (Tim Penulis Ensiklopedi Islam, 1997: 172-173). Bangsa Indonesia setelah meraih kemerdekaan juga banyak berdiri masjid-masjid model baru, yaitu : Masjid Raya Makassar (Ujung Pandang), Masjid Syuhada (Yogyakarta), Masjid Agung Al Azhar (Jakarta), Masjid Istiqlal (Jakarta), Masjid Salman ITB (Bandung). Masjid mempunyai sejumlah komponen yaitu kubah, menara, mihrab, dan mimbar; komponen masjid yang berciri khas Indonesia adalah beduk. Beduk terbesar di Indonesia terdapat di dalam masjid Jami’ Purworejo, dibuat oleh orang Indonesia dengan dirancang sesuai dengan njlai-nilai yang berciri khas Islami dan berbudaya Indonesia.

Islam sebagai agama rahmatan lil alamin dapat dilihat dalam segala aspek kehidupan masyarakat di Indonesia, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi, dan agama sehingga nilai-nilai Islam, terutama yang terdapat dalam kebudayaan Indonesia secara keseluruhan tidak dapat dihindari, dan sudah menjadi kebudayaan hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA
Atiyeh, George N, 1983, Al Kindi Tokoh Filosof Muslim, Pustaka Salman ITB,Bandung
Al Faruqi, Ismail Rafi, 1988, Tauhid, Penerbit Pustaka, Bandung
Basyir, Ahmad Azhar, 1989, Ikhtisar Sejarah Filsafat Islam (Bagian I), Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta
Departemen Agama, 1989, Al Qur’an dan Terjemahnya, Penerbit Toha Putra,Semarang
Gazalba, Sidi, 1975, Masjid (Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam), Penerbit Pustaka Antara, Jakarta.
Hanafi, A, 1976, Pengantar Filsafat Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta
Hoesin, Umar Amir, Filsafat Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta
Madkour, Ibrahim, 1988, Filsafat Islam, Metode dan Penerapan (Bagian I), Penerbit Rajawali Pers, Jakarta
Picktchall, Muhammad Marmaduke, 1993, Kebudayaan Islam, Penerbit PT. Bungkul Indah, Surabaya
Syarif, M.M, 1985, Para Filosof Muslim, Penerbit Mizan, Bandung
Tim Penulis Ensiklopedi Islam, 1997, Ensiklopedi Islam (Jilid 3), Penerbit PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta
Widyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit “Paradigma”, Yogyakarta

Zulkarnain Nasution
Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir

0 comments:

Post a Comment