29 June 2015

KHUTBAH IDUL ADHA 1435H

Alhamdulillah pada hari yang mulia ini, 10 Dzulhijah 1435 H seluruh umat Islam di seantero dunia memperingati hari raya Idul Adha atau hari raya qurban. Dimana sehari sebelumnya, 9 Dzulhijah, jutaan umat Islam yang menunaikan ibadah haji wukuf di Arafah, berkumpul di Arafah dengan memakai seragam ihram putih merupakan lambang kesetaraan derajat manusia di sisi Allah, tidak ada keistimewaan satu bangsa dengan bangsa lainnya, antar yang berkulit putih dan lainnya, antara lelaki dan wanita, antara miskin dan kaya kecuali yang paling takwa kepada Allah. 

“ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.  QS Al-Hujaraat (49):13

Peringatan Idul Adha ini tak bisa dilepaskan dari peristiwa bersejarah ribuan tahun silam ketika Nabi Ibrahim a.s, dengan penuh ketaqwaan, memenuhi perintah Allah untuk menyembelih anak yang dicintai dan disayanginya, Nabi Ismail a.s.  Atas kehendak Allah, secara tiba-tiba malaikat Jibril hadir dihadapannya dengan membawa seekor kibas untuk disembelih sebagai pengganti anaknya Nabi Ismail. Peristiwa itulah yang kemudian menjadi simbol bagi umat Islam sebagai wujud ketaqwaan seorang muslim terhadap Tuhannya agar selalu siap berkorban apa saja untuk mencapai Ridha-Nya. Ketaqwaan Nabi Ibrahim kepada Allah swt diwujudkan dengan sikap dan pengorbanan secara totalitas, menyerahkan sepenuhnya kepada sang Pencipta suatu hal yang paling dicintainya anaknya Ismail demi cintanya kepada Allah swt.    
Betapa beratnya ujian dan cobaan yang dialami oleh Nabi Ibrahim AS. Beliau harus menyembelih anak semata wayang, anak yang sangat disayang. Namun dengan asas iman, tulus ikhlas, taat dan patuh akan perintah Allah swt Nabi Ibrahim AS akhirnya mengambil keputusan untuk  menyembelih putra tercintanya Ismail, beliau memanggil putranya dengan panggilan yang diabadikan dalam Al Quran Surat Ash Shaafaat (37) ayat 102,


“ Maka tatkala anak itu sampai pada umur sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim , Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirlah apa pendapatmu?” “ Ia menjawab:” Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan  mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar “
Allahu Akkbar  3 X walillahilhamd
Di tempat yang mulia ini dalam rangka menta’zhimkan syi’ar agamaNya. Bertakbir mengagungkan asmaNya, ruku’ sujud bertaqarrub serta bersyukur atas segala karuniaNya, kemudian akan dilanjutkan dengan menyembelih kurban, sebagai manifestasi ketaatan terhadap perintahNya, meneladani RasulNya serta memperingati peristiwa pengorbanan khalilullah Nabi Ibrahim dan Ismail ’alaihimassalam.
Sesungguhnya ada hubungan yang kuat antara pelaksanaan shalat ‘Iedul Adha, penyembelihan qurban, dengan eksistensi kita bahkan masa depan kita sebagai umat beriman. Sebagaimana digambarkan dalam Surah al Kautsar:

INNAA A’THAINAAKAL KAUTSAR
FASHALLI  LIRABBIKA WANHAR
INNA SYAANI-AKA HUWAL ABTAR

Surat Al Kautsar sungguh memberi kabar gembira kepada umat akhir zaman. Betapa Allah SWT yang Maha Rahman telah memuliakan junjungan alam Muhammad saw dengan pelbagai karunia ”al kautsar”. Yaitu: al khairul katsir (kebaikan yang banyak), al Islam, al Quran, katsratu al ummah, al itsar, dan ”rif’atul dzikri” di dunia ini kemudian telaga al Kautsar di akhirat kelak. Itu semua sudah Allah karuniakan kepada nabi kita Muhammad saw. Sedang bagi kita selaku ummat beliau, semua itu merupakan ”busyra” kabar gembira, bahwa jika kita memenuhi syaratNya maka semua karunia itu pun disediakan bagi kita. Syaratnya hanya dua saja, yaitu menunaikan shalat karena ”tha’atan wa taqarruban”, dan menyembelih binatang nahar karena ”syukran” atas nikmat Allah yang tak terhitung satuan maupun  jumlahnya. Dengan memperbanyak shalat yang juga bermakna do’a dan banyak berkorban (tadlhiyah), nikmat dan karunia dari Allah tidak akan pernah berkurang bagi yang melaksanakannya. Justeru dengan jalan itu, karunia Ilahi akan terus ditambahkan sepanjang jalan shalat dan pengorbanan. Jalan yang memastikan masa depan yang menjanjikan kebaikan, kemajuan dan kebahagiaan


Allahu Akkbar  3 X walillahilhamd

Tetapi sebaliknya, apabila jalan shalat dan pengorbanan itu tidak ditempuh, karena memperturutkan kemalasan dan kebakhilan, maka Allah tegaskan ”INNA SYAANIAKA HUAL ABTARU”.
Artinya apa, disebabkan  keengganan mengikuti sunnah Rasulullah saw berupa penunaian shalat dan kurban, maka ”al abtaru” keterputusan aliran rahmat Allah SWT telah menjadi ketetapan. Suatu gambaran masa depan yang suram, sebab tanpa rahmat Allah maka kegelapan lahir batin telah menanti.  Kegelapan individual kemudian kegelapan sosial menjadi tak dapat dihindari. Na’udzubillahi min dzalik..

Ma’asyral Mu’minin wal mukminat akramakumullah

Tadi disebutkan bahwa di antara makna ”al kautsar/karunia yang banyak” itu adalah ”rif’atul dzikri” kedudukan yang tinggi dan sanjungan yang luhur. Itu merupakan resultante yang memang wajar dan logis. Betapa tidak sebab posisi kesyukuran dan pengorbanan itu berada pada anak tangga yang luhur.

- Paling rendah adalah posisi MENGORBANKAN sesama, berarti posisi KEZHALIMAN yang mengantarkan kepada ’ZHULUMAT” kegelapan dunia akhirat, dimana aliran NUR ILAHI dan rahmatNya terputus.

- Posisi di atasnya adalah MEMBIARKAN (EGP) ”Al khudzlan” yang juga dilarang oleh Rasulullah saw. Sikap abai membiarkan sehingga orang lain celaka, meskipun bersifat pasif tapi sesungguhnya termasuk kejahatan kepada sesama.

- Di atasnya posisi INSHAF (fairness/adil). Yaitu berbuat sewajarnya, sebatas menunaikan atau menggugurkan kewajiban agar terhindar dari kezhaliman. Boleh jadi meski positif tapi tidak dikedepankan dengan sepenuh hati.

- Posisi tertinggi adalah TADLHIYAH/BERKORBAN untuk kebaikan sesama atau orang banyak.  Tentu saja dasarnya kerelaan yang bukan setengah hati, dan merupakan bentuk keikhlasan sebagai kelanjutan dari taqwa” TSUMMATTAQAU WA AHSANU” kemudian mereka bertaqwa dan berbuat ihsan. ”WALLAHU YUHIBBUL MUHSININ”.  (Al Maidah, 93). Maka hanya cinta Allah yang akan diberikan kepada mereka yang berkorban dan berbuat ihsan.

Allahu Akbar 3 X walillahilhamd

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah

Binatang kurban yang disebut udlhiyah atau nahar adalah simbolisasi tadlhiyah yakni pengorbanan. Baik udlhiyah maupun tadlhiyah posisinya sama sebagai ‘ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah (taqarruban wa qurbanan). Jika menyembelih udlhiyah merupakan ‘ibadah material yang ritual, maka taldhiyah/pengorbanan di jalan Allah merupakan ‘ibadah keadaban yang memajukan sektor-sektor kehidupan yang lebih luas. Tidak ada ruginya orang yang berudlhiyah dan bertadlhiyah, karena sesungguhnya termasuk dalam kerangka MULTI QURBAN/pendekatan diri dan MULTI INVESTASI.

- Bertadlhiah merupakan multi pendekatan diri/qurban, sebagaimana dinyatakan  dalam ikrar seorang muslim yang bertaqarrub kepada Rabbnya  : INNA SHALATI WA NUSUKI WA MAHYAYA WA MAMATI LILLAHOI RABBIL ‘ALAMIN LA SYARIKA LAH.
Kita diperintahkan untuk bertaqarrub kepada Maha Pencipta dengan shalat serta ‘ubudiah yang lain, dan bertaqarrub kepada Allah dalam segala aktivitas hidup ini.


- Bertadlhiyah bermakna multi investasi:
1.Merupakan investasi sosial (social investment) karena jelas, pengorbanan baik material maupun moral memberikan dampak sosial yang positif. Dalam Al Quran Surah Annisa ayat 114 disebutkan:  Bahwa tidak ada kebaikan dalam pembicaraan atau wacana yang diadakan, kecuali untuk mengajak orang bersedekah, memerintahkan yang ma’ruf, atau untuk mendamaikan sengketa di antara masyarakat. Dan barangsiapa melakukan itu karena ridha Allah niscaya berbalas pahala yang besar.
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

2.Bertadlhiah merupakan investasi ekonomi (economic investment). Sebagaimana dinyatakan dalam QS al Lail, ayat 5- 10: “Barangsiapa memberi dan bertaqwa serta membenarkan balasan yang sebaik-baiknya, maka niscaya Kami beri kemudahan demi kemudahan. Dan barangsiapa yang kikir dan merasa tidak memerlukan orang lain serta mendustakan pahala yang lebih baik, maka niscaya Kami bukakan baginya pintu kesulitan”.

3.Bertadlhiah juga  merupakan bentuk moral investment, yang mampu mengikis kekikiran ” al syuhhu”. Sifat kikir sangat berbahaya, sebagaimana diperingatkan dalam sabda Rasulullah saw:
إياكم والشح ، فانما هلك من كان قبلكم بالشح ، أمرهم بالبخل فبخلوا ، وأمرهم بالقطيعة فقطعوا ، وأمرهم بالفجور ففجروا.  (د وابن جرير في تهذيبه ك ق عن ابن عمرو). 
Artinya: ”Hati-hati dengan sifat kikir. Sebab sesungguhnya kehancuran umat sebelum kalian diakibatkan kekikiran, sifat kikir telah mendorong mereka untuk berlaku pelit, lalu mendorong mereka untuk memutus silaturahim dan akhirnya telah mendorong mereka melakukan kejahatan”.

4. Pada Akhirnya, pengorbanan di jalan Allah tentu saja sebagai investasi ukhrawi. Sebagaimana disebutkan dalam Hadits bahwa ’ibadah  orang yang menyembelih binatang kurban sudah diterima Allah sebelum darahnya menetes ke tanah, dan merupakan seutama-utama ’ibadah pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Allahu Akbar 3 X walillahilhamd

Ma’asyiral Muslimin wal muslimat rahimakumullah

Demikian agungnya makna serta pahala udlhiyah, tadlhiyah sebagai wujud pengorbanan untuk memajukan hidup sekaligus mendekatkan diri kepada Allah. Menumbuh kembangkan spirit pengorbanan merupakan bagian mendasar dalam rangka pembentukan karakter masyarakat dan bangsa yang beradab. Seorang pemimpin sejati akan lebih kuat tarikannya pada kekitaan untuk memikirkan masyarakatnya daripada tarikan pada ke akuan untuk semata memikirkan kepentingan diri sendiri. Untuk kemaslahatan kita pemimpin rela mengorbankan akunya jika diperlukan. Demikian halnya dengan negarawan, menempatkan akunya dalam ke kitaaan. Itulah yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah saw, sebagai sosok pemimpin yang datang dari kita ”min anfusikum”, penuh perhatian pada kita ”’azizun ’alaihi ma ’anittum”, selalu konsen kepada kepentingan kita ”harishun ’alaikum”, dan secara adil/proporsional memberi kasih sayangnya kepada semua ”bil mukminina raufurrahim”.

Allahu Akbar 3 X walillahilhamd

Namun apa yang kita saksikan saat ini. Jiwa pengorbanan pada banyak kalangan telah digeser oleh semangat atau nafsu mengorbankan orang lain. Bahkan sebetulnya bukan orang lain, tapi saudara sebangsa bahkan seprofesi dan seinstitusi. Perhatikan saja kemelut korupsi yang dilakukan oknum di negara ini, dimana menurut data KPK sepanjang 2004 sd. maret 2014 ada 402 orang yang terjerat korupsi. Mereka berasal dari beragam profesi. Jika menilik pada data Kementerian Dalam Negeri yang dirilis awal 2014, terdapat 318 kepala daerah yang terjerat korupsi. Baik yang ditangani KPK, Kejaksaan, maupun Polri. Adapun jumlah uang yang di korupsi tiap tahunnya ini dapat mengatasi isu kelaparan dunia 80 kali. Uang yang di curi dari publik juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan, mengangkat masyarakat dari kemiskinan dan lain sebagainya. Kasus Korupsi tersebut kadang membuat perang terbuka di  media massa semakin membuat rakyat prihatin tetapi juga bingung. Kasus besar yang di-blow up, menggelinding makin ruwet bagai gulungan benang kusut. Analisis secara yuridis dan sosiologis tidak mampu membawa peta masalah makin terang benderang.

Hanya satu pisau analisis yang mampu memosisikan dan memahami masalah yang ada secara mendasar dan tepat. Yaitu analisis mental dan moral manusia. Secara mental ada kerusakan yang serius, yaitu hilangnya kejujuran ”al shidqu”, dan diputusnya ketertautan antara apa yang diperbuat di dunia ini dengan kesadaran terhadap negeri akhirat. Dengan absennya kejujuran maka yang menggantikannya adalah kedustaan ”al kadzibu”. Bermula dari dusta antar personal kemudian berkembang menjadi kedustaan publik bahkan bisa merambah jadi kedustaan institusional. Kalau sudah begitu, tidak ada lagi orang yang mau mengakui kesalahan malah justeru menyalahkan pihak lain, dan ujung-ujungnya mengorbankan pihak lain demi  membela akuisme personal atau egoisme lembaga. Pada alur ini cara-cara rekayasa, penjebakan, pengerdilan dan boleh jadi kriminalisasi menjadi pilihan yang dijalani.
Dalam konteks ini Rasulullah saw telah memberikan peringatan dengan sabdanya:
”Hati-hati dengan dusta, sebab dusta akan membawa pada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa akan menyeret ke naraka. Seseorang berulang kali berdusta hingga terbentuk sifat  dan dituliskan sebagai pendusta” (Riwayat Muslim)

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Allahu Akbar 3 X walillahilhamd

Betapapun kita telah banyak berbuat salah pada diri kita, kepada masyarakat serta ma’siat kepada Allah, kembalilah kepada iman di dada agar tetap punya harapan untuk baik. Allah SWT menyeru kita dalam al Quran Surah Azzumar, ayat 53 s/d 55: ”Katakanlah, hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepadaNya, sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba sedang kamu tidak menyadarinya”.

Mari kita sadari betapa Allah telah memberi kita dengan karuniaNya yang banyak. Sebagai makhluk yang tahu berterima kasih, marilah kita mendekat kepada Allah . Jangan pernah tinggalkan shalat, perbanyak shalat sunat dan syukur nikmat. Mari belajar berempati kepada sesama dengan sebentuk tadlhiyah (pengorbanan), moral dan/atau material. Mari syi’arkan ’idul qurban ini dengan menyaksikan, membantu atau juga menyembelih seekor hewan kurban, demi memenuhi seruan Allah, meneladani Rasulullah, memperingati pengorbanan kekasih Allah Nabi Ibrahim & Ismail ’alaihimassalam, dan untuk belajar berempati terhadap saudara-saudara kita yang kurang mampu.

Seseorang menjadi besar karena jiwanya besar. Tidak ada jiwa besar tanpa jiwa yang punya semangat berkorban. Berkat ruhul badzli wal tadlhiyah wal mujahadah/spirit berbagi, berkorban dan berjuang, ummat ini telah menjadi ummat yang besar, bergengsi dan disegani dunia dalam sejarahnya. Mari kita kembalikan kebesaran serta gengsi ummat ini dengan menyemai semangat memberi, berkorban dan mujahadah pada diri dan keluarga kita.

12 June 2015

PUASA KIKIS LIBERALISME, MATERIALISME DAN KAPITALISME

Ramadhan Karim, Syahru Mubarak wa syahru shiyam, Syharu maghfirah dan syahru fitrah. Ucapan demi ucapan ini akan sering kita dengar disaat bulan Ramadhan tiba dari bibir seorang muslim. Short Messages Service akan mendayu-dayu menggetarkan handphone dengan ringtone yang berbeda-beda.  Ketika handphone dibuka akan berisikan susuan kalimat syair,puisi,sajak, pantun dan sekedar kata-kata mohon maaf lahir bathin taqobbalallahu minkum wa minna ya Kariim. 

Sungguh indah suasana tersebut karena setiap muslim menghayati bahwa dirinya sebagai makhluk sosial tentu mempunyai banyak kesalahan dalam berinteraksi untuk itu perlu sesegera mungkin memintak maaf walaupun itu dalam bentuk pesan singkat yang dikirimkan kepada keluarga, dan teman sejawat. Media sosial juga dimanfaatkan untuk mencurahkan kata-kata maaf seiring datangnya bulan ramadhan sehingga dibaca oleh semua orang yang mengenal dan belum mengenal si pengirim. Hal itu dilakukan demi sebuah harapan bahwa kesalahan-kesalahannya dapat terhapus dengan masuknya bulan ramadhan.

Bulan ramadhan memberikan stimulus dan motivasi agar setiap individu mampu menundukkan kepala bersikap rendah hati tanpa ada kecongkakan dan kesombongan dalam dirinya sehingga melahirkan kepribadian yang santun kepada sesama manusia.  Kesadaran kolektif ini mampu merubah kebisingan dunia dengan hingar bingar keserakahan menjadi kesejukan suasana lingkungan yang saling menyapa dengan kata-kata indah keluar dari ketulusan hati. Seandainya pada saat ramadhan itu seorang muslim mendapat makian, hinaan dan diajak berkelahi , Rasul menganjurkan bagi Muslim menjawabnya dengan sabar “ saya sedang berpuasa”.  Sepertinya, sesaat ditemukan peradaban mulia selaras dengan ramadhan itu.

Perubahan prilaku seorang mukmin memberikan kontribusi nyata bagi peradaban dunia jika perbuatan-perbuatan baik itu dapat dipertahankan dibulan-bulan berikutnya. Kesadaran ibadah prioritas terhadap hak-hak masyarakat sosial dibanding hak-hak pribadi sangat tampak jelas ketika ramadhan, terwujud dalam bersedekah dan berzakat menjadi perhatian khusus diberikan  bagi yang meminta dan yang tidak meminta “Dan di dalam harta mereka terdapat hak bagi si peminta dan yang tidak meminta” (Azzariyat: 19). Jiwa sosial itu memang seharusnya tertanam dalam hati setiap mukmin sebagaimana ketika Rasul memerintahkan Muaz bin Jabal berdakwah ke Yaman “maka ajarkanlah kepada mereka bahwa diwajibkan bagi mereka sedekah didalam harta mereka, diambilkan dari harta orang-orang kaya mereka dan kontribusikan kepada fakir miskin mereka”. (HR. Bukhari dan Muslim).  Frame dakwah Rasul ini berlaku ketika masyarakat itu sudah mengucapkan dua kalimat syahadat. Kemudian ajarkanlah mereka shalat baru selanjutnya bersedekah dan berzakat.

Ajaran indah ini menjadi kepribadian kuat pada seseorang apabila sensitifitas vertikal dan horizontal menyatu dalam pengamalan puasa Ramadhan yang membentuk kesadaran tauhid bahwa ibadah puasa hanya diketahui oleh Allah, dikerjakan juga karena penghambaan mutlak demi Allah dan puasa dapat membentuk rasa empati kepada sesama makhluk sosial dengan merasakan denyut penderitaan kelaparan dikarenakan kemiskinan. Puasa yang dimulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari ini tentu berbeda dari puasa yang bertujuan demi mengejar kesaktian dan materi karena puasa dalam Islam menciptakan kekuatan spiritual bahwa apa yang diperoleh saat ini merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dari kekuatan Sang Pencipta bukan dari makhluk alam astral seperti jin dan malaikat ataupun dari tuhan-tuhan yang tercipta dari penyembahnya.

Konsep “puasa untuk-Ku (Allah) dan Saya yang akan membalasnya” mengkikis benih-benih liberalisme dan materialisme yang cenderung merasuk ke dalam jiwa-jiwa sombong yang mempertuhankan kekuatan dirinya dan mengkikis benih-benih kapitalisme dalam pemberdayaan hartanya yang menganggap harta yang didapat atas kekuasaannya hanya mutlak menjadi miliknya tanpa memperdulikan berbagi kepada masyarakat yang membutuhkan disekitarnya, sehingga harta hanya digunakan untuk berpoya-poya dan kemewahan yang cenderung membuatnya berjalan pada jalur kemaksiatan. Maka jika itu yang terjadi pada seseorang, hidupnya tidak akan berarti banyak bagi pembangunan peradaban manusia karena akan lahir ego kejahatan demi keberutalan hawa nafsu.

Sungguh puasa Ramadhan akan membuka alam sadar manusia untuk tidak berjalan di atas muka bumi ini dalam keadaan sombong sebagaimana kesombongan Raja Firaun yang mengaku Tuhan dan si kaya Qorun yang pelit akan kegelimangan hartanya hingga pada akhirnya mereka tersadar bahwa ada Allah yang menguasai dirinya ketika Allah menenggelamkan Firaun di laut merah dan Qarun terbenam bersama hartanya di Fayyum Mesir. 

Zulkarnain Nasution

Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir