Ramadhan Karim, Syahru Mubarak wa syahru shiyam, Syharu maghfirah dan syahru fitrah. Ucapan demi ucapan ini akan sering kita dengar disaat bulan Ramadhan tiba dari bibir seorang muslim. Short Messages Service akan mendayu-dayu menggetarkan handphone dengan ringtone yang berbeda-beda. Ketika handphone dibuka akan berisikan susuan kalimat syair,puisi,sajak, pantun dan sekedar kata-kata mohon maaf lahir bathin taqobbalallahu minkum wa minna ya Kariim.
Sungguh indah suasana tersebut karena setiap muslim menghayati bahwa dirinya sebagai makhluk sosial tentu mempunyai banyak kesalahan dalam berinteraksi untuk itu perlu sesegera mungkin memintak maaf walaupun itu dalam bentuk pesan singkat yang dikirimkan kepada keluarga, dan teman sejawat. Media sosial juga dimanfaatkan untuk mencurahkan kata-kata maaf seiring datangnya bulan ramadhan sehingga dibaca oleh semua orang yang mengenal dan belum mengenal si pengirim. Hal itu dilakukan demi sebuah harapan bahwa kesalahan-kesalahannya dapat terhapus dengan masuknya bulan ramadhan.
Bulan ramadhan memberikan stimulus dan motivasi agar setiap individu mampu menundukkan kepala bersikap rendah hati tanpa ada kecongkakan dan kesombongan dalam dirinya sehingga melahirkan kepribadian yang santun kepada sesama manusia. Kesadaran kolektif ini mampu merubah kebisingan dunia dengan hingar bingar keserakahan menjadi kesejukan suasana lingkungan yang saling menyapa dengan kata-kata indah keluar dari ketulusan hati. Seandainya pada saat ramadhan itu seorang muslim mendapat makian, hinaan dan diajak berkelahi , Rasul menganjurkan bagi Muslim menjawabnya dengan sabar “ saya sedang berpuasa”. Sepertinya, sesaat ditemukan peradaban mulia selaras dengan ramadhan itu.
Perubahan prilaku seorang mukmin memberikan kontribusi nyata bagi peradaban dunia jika perbuatan-perbuatan baik itu dapat dipertahankan dibulan-bulan berikutnya. Kesadaran ibadah prioritas terhadap hak-hak masyarakat sosial dibanding hak-hak pribadi sangat tampak jelas ketika ramadhan, terwujud dalam bersedekah dan berzakat menjadi perhatian khusus diberikan bagi yang meminta dan yang tidak meminta “Dan di dalam harta mereka terdapat hak bagi si peminta dan yang tidak meminta” (Azzariyat: 19). Jiwa sosial itu memang seharusnya tertanam dalam hati setiap mukmin sebagaimana ketika Rasul memerintahkan Muaz bin Jabal berdakwah ke Yaman “maka ajarkanlah kepada mereka bahwa diwajibkan bagi mereka sedekah didalam harta mereka, diambilkan dari harta orang-orang kaya mereka dan kontribusikan kepada fakir miskin mereka”. (HR. Bukhari dan Muslim). Frame dakwah Rasul ini berlaku ketika masyarakat itu sudah mengucapkan dua kalimat syahadat. Kemudian ajarkanlah mereka shalat baru selanjutnya bersedekah dan berzakat.
Ajaran indah ini menjadi kepribadian kuat pada seseorang apabila sensitifitas vertikal dan horizontal menyatu dalam pengamalan puasa Ramadhan yang membentuk kesadaran tauhid bahwa ibadah puasa hanya diketahui oleh Allah, dikerjakan juga karena penghambaan mutlak demi Allah dan puasa dapat membentuk rasa empati kepada sesama makhluk sosial dengan merasakan denyut penderitaan kelaparan dikarenakan kemiskinan. Puasa yang dimulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari ini tentu berbeda dari puasa yang bertujuan demi mengejar kesaktian dan materi karena puasa dalam Islam menciptakan kekuatan spiritual bahwa apa yang diperoleh saat ini merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dari kekuatan Sang Pencipta bukan dari makhluk alam astral seperti jin dan malaikat ataupun dari tuhan-tuhan yang tercipta dari penyembahnya.
Konsep “puasa untuk-Ku (Allah) dan Saya yang akan membalasnya” mengkikis benih-benih liberalisme dan materialisme yang cenderung merasuk ke dalam jiwa-jiwa sombong yang mempertuhankan kekuatan dirinya dan mengkikis benih-benih kapitalisme dalam pemberdayaan hartanya yang menganggap harta yang didapat atas kekuasaannya hanya mutlak menjadi miliknya tanpa memperdulikan berbagi kepada masyarakat yang membutuhkan disekitarnya, sehingga harta hanya digunakan untuk berpoya-poya dan kemewahan yang cenderung membuatnya berjalan pada jalur kemaksiatan. Maka jika itu yang terjadi pada seseorang, hidupnya tidak akan berarti banyak bagi pembangunan peradaban manusia karena akan lahir ego kejahatan demi keberutalan hawa nafsu.
Sungguh puasa Ramadhan akan membuka alam sadar manusia untuk tidak berjalan di atas muka bumi ini dalam keadaan sombong sebagaimana kesombongan Raja Firaun yang mengaku Tuhan dan si kaya Qorun yang pelit akan kegelimangan hartanya hingga pada akhirnya mereka tersadar bahwa ada Allah yang menguasai dirinya ketika Allah menenggelamkan Firaun di laut merah dan Qarun terbenam bersama hartanya di Fayyum Mesir.
Zulkarnain Nasution
Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir

0 comments:
Post a Comment