04 August 2014

Al-KINDI BAPAK PERTAMA FILOSOFI MUSLIM

Masa Hidupnya

Al-Kindi  : Abu Yusuf Ya’kub ibn Ishaq ibn Sabah ibn Imran ibn Ismail al-Ash’as bin Qais al-Kindi. (185 H / 801 M – 260 H / 873 M) adalah Filosof Muslim pertama.  Ayahnya Ishaq al-Sabbah menjadi Gubernur Kufah selama kekhalifahan Abbasiyah al-Mahdi dan al-Rasyid. Sebagai seorang anak Muslim yang dibesarkan di Kuffah sudah barang tentu dia menghafalakan al-Qur’an, mempelajari tata bahasa arab, kesusastraan dan ilmu hitung, fikih dan ilmu kalam. Tetapi kecenderungannya kepada ilmu pengetahuan dan filsafat lebih dominan dari ilmu lainnya. Dengan menguasai dua bahasa Syria dan Yunani beliau banyak menterjemahkan filsafat yunani kedalam bahasa Arab terutama setelah kepindahannya ke Baghdad. Betapapun al-Kindi hidup mewah tetapi dia hidup menjauh dari masyarakat sehingga suatu hari anak sang saudagar kaya tetanggannya tiba-tiba lumpuh dan seseorang memberi tahu sang saudagar bahwa tetangganya seorang filosof cemerlang dan tabib ahli dan al-Kindi mengobati anak yang sakit lumpuh itu dengan musik.


Karya al-Kindi

Al-Qifti mengelompokkan risalah-risalah pendek al-Kindi menjadi 
1) filsafat, 2) logika, 3) ilmu hitung, 4) globular, 5) musik, 6) astronomi, 7) geometri, 8) sperikal, 9) medis, 10) astorologi, 11) dialektika, 12) psikologi, 13) politik, 14) meteorologi, 15) dimensi, 16) benda-benda pertama, 17) spesies tertentu logam dan kimia.

Karya ilmiahnya diterjemahkan oleh Gerard dari Cremona kedalam bahas Latin dan karya-karya itu sangat mempengaruhi pemikirian Eropa pada abad pertengahan. De Medicinarum Compositarum Gradibus-nya telah diterbitkan pada tahun 1531 M. Albino Nagy menyunting terjemahan-terjemahan tersebut seperti: De Intellectu; De Sommo et uisione; De quinque essentiis; Liber ductorius in artem logicae demontrations. Beberapa risalahnya ditemukan di Aleppo dan Sebanyak 25 risalahnya berbahasa arab ditemukan Ritter di Istanbul dan disunting beberapa sarjana seperti Walzer, Rosenthal, Abu Ridah, dan Ahmad Fuad El-Ehwany.


Filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia, karena tuajuan para filosof dalam berteori ialah mencapai kebenaran, dan dalam praktek, ialah menyesuaikan dengan kebenaran


Filsafatnya 

Ciri utama filsafat Al-Kindi meletakkan gagasan-gagasan filsafat baru yang mendamaikan warisan Hellenistis dengan Islam dan berharap filsafat hendaknya diterima sebagai bagian dari kebudayaan Islam.

Filosof Muslim sebagaimana filosof Yunani percaya bahwa Filsafat merupakan pengetahuan tentang kebenaran dan kebenaran jauh berada diatas pengalaman;  bahwa kebenaran itu abadi di alam alami. Al-Kindi dalam “Filsafat Awal” mengatakan “Filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia, karena tuajuan para filosof dalam berteori ialah mencapai kebenaran, dan dalam praktek, ialah menyesuaikan dengan kebenaran.” 
Allah disifati dengan istilah “kebenaran”  yang merupakan tujuan filsafat maka satu Yang Benar (al-Wahid al-Haq) adalah yang pertama, Sang Pencipta, Sang Pemberi rizki semua ciptaan-Nya. Pandangan ini berasal dari filsafat Aristoteles, tetapi “Penggerak Tak Tergerakkan” (Unmovable Mover)-Nya Aristoteles diganti sang “Pencipta”, perbedaan ini menjadi inti sistem filsafat al-Kindi.

Filsafat dibagi menjadi dua bagian utama: 
1) Studi-studi teoritis; fisiska, matematika, dan metafisika;
2) Studi-studi praktis, yaitu etika, ekonomi dan politik. 
Hal ini diklarifikasi seorang penulis sebagai berikut “Teori dan Praktek merupakan awal kebajikan. Masing-masing dibagi menjadi fisika, matematika, dan teologi. Praktek dibagi menjadi bimbingan diri, keluarga, dan masyarakat.”


Keselarasan Filsafat dan Agama

Al-Kindi adalah filosof pertama dalam Islam yang menyelaraskan antara agama dan filsafat. Ia memberikan dua pandangan berbeda. Yang pertama, mengikuti jalur ahli logika, dan memilsafatkan agama, yang kedua, memandang agama sebagai sebuah ilmu ilahiah, dan menempatkannya di atas filsafat. Ilmu ilahiah ini diketahui lewat jalur para nabi tetapi melalui penafsiran filosofis, agama menjadi selaras dengan filsafat.

Filsafat dan agama dibedakan al-Kindi secara tajam dalam risalah “Jumlah Karya Aristoteles”, yang bertentangan dengan pendapat umumnya bahwa ilmu agama (teologi) adalah bagian dari filsafat; 
  1. bahwa kedudukan teologi lebih tinggi daripada filsafat, 
  2. bahwa agama merupakan ilmu ilahiah, sedang filsafat merupakan ilmu insani, 
  3. bahwa jalur agama adalah keimanan, sedang jalur filsafat adalah akal, 
  4. bahwa pengetahuan nabi diperoleh langsung melalui wahyu, sedangkan pengetahuan para filosof diperoleh melalui logika dan pemaparan. 
Kutipan kalimatnya yang menarik adalah; “bila seseorang tak memperoleh pengetahuan yang bermutu dan banyak, maka ia tak memiliki pengetahuan yang hakiki dan tak hakiki. Dengan demikian, orang tak dapat mengharapkannya memiliki sesuatu pengetahuan tentang ilmu insani yang diperoleh orang melalui riset, upaya, ketekunan dan waktu. Ilmu-ilmu ini sedikit berada di bawah kedudukan ilmu ilahiah (al-ilmi al-ilahi) yang diperoleh tanpa melalui riset, upaya, ketekunan dan waktu”.
  
Al-Quran memeberikan pemecahan-pemecahan atas masalah-masalah yang sangat hakiki, misal penciptaan dunia dari ketakadaan dan kebangkitannya kembali. Al-Kindi berpendirian bahwa hujjah-hujjah al-Qur’an “sangat meyakinkan, jelas, dan menyeluruh” sehingga hal itu melahirkan kepastian dan keyakinan, karena itu al-Qur’an jauh mengungguli dalih-dalih para filosof. Sebuah contoh dalam al-Qur’an pertanyaan kaum kafir, “Siapakah yang mampu menghidupkan kembali tulang-belulang yang sudah menjadi debu?” Jawabnya; “Dialah, yang mula membuat mereka, yang akan menghidupkan mereka”.

Dengan demikian, al-Kindi telah membuka pintu bagi penafsiran filosofis terhadap al-Qur’an sehingga menciptakan persesuaian antara agama dan filsafat. Hal ini dapat dilihat dalam karangannya The Worship (sujud) of the Primum Mobile.


Tuhan

Pengalihan konsepsi Hellenistis tentang Tuhan dan mendamaikannya dengan kosep Islam melalui gagasan-gagagasan Neo-Platonis kemudian hari merupakan keaslian al-Kindi.

Dalam tafsiran Theon tentang Almages-Nya Ptolomeus, tuhan digambarkan sebagai bersifat tetap, tunggal, gaib, dan penyebab sejati gerak. Kindi berkata: “karena Allah, Maha Terpuji Dia, adalah penyebab gerak ini, yang abadi (qadim), maka ia tak dapat dilihat dan tak bergerak, penyebab gerak tanpa menggerakkan Diri-Nya. Ia tunggal sehingga tak dapat dipecah-pecah lagi menjadi lebih tunggal; dan Ia tak terlihat, karena Ia tak tersusun, dan tak ada susunan bagi-Nya, tetapi sesungguhnya Ia terpisah dari segala yang dapat dilihat, karena Ia adalah penyebab gerak segala yang dapat dilihat”.

Sifat-sifat ini dalam al-Quran dinyatakan secara tak filosofis atau dialektis. Al-Kindi memberi sifat Tuhan dengan istilah-istilah baru. Tuhan adalah yang benar. Ia tinggi dan dapat disifati hanya dengan sebutan-sebutan negatif. “Ia bukan materi, tak berbentuk, tak berjumlah, tak berkualitas, tak berhubungan, juga Ia tak dapat disifati dengan ciri-ciri yang ada (al-ma’qulat). Ia tak berjenis, tak terbagi dan tak berkejadian. Ia abadi..... oleh karena itu, Ia Maha Esa (wahdah). Selain-Nya berlipat”


Ketakterhinggaan 

Alam, dalam sistem Aristoteles, terbatas oleh ruang, tetapi tak terbatas oleh waktu, karena gerak alam seabadi Penggerak Tak Tergerakkan (Unmovable Mover). Keabadian alam, dalam pemikiran Islam, ditolak, karena Islam berpendirian bahwa alam diciptakan. Mengenai hal ini, al-Kindi memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang ketakterhinggaan secara matematik.

“Benda-benda fisik terdiri atas materi dan bentuk, dan bergerak didalam ruang dan waktu. Jadi, materi, bentuk, ruang, dan waktu merupakan unsur dari setiap fisik. Wujud, yang begitu erat kaitannya dengan fisik, waktu dan ruang, adalah terbatas, karena mereka tak akan ada, kecuali dalam keterbatasan.

Waktu bukanlah gerak; melainkan bilangan pengukur gerak, karena waktu tak lain adalah yang dahulu dan yang kemudian. Bilangan ada dua macam; tersendiri dan berkesinambungan. Karena itu waktu dapat ditentukan, yang berproses dari dulu hingga kelak. Dengan kata lain, waktu merupakan jumlah yang dahulu dan yang berikut. Waktu adalah berkesinambungan.

Waktu adalah bagian dari pengetahuan tentang kuantitas. Ruang, gerak, dan waktu adalah kuantitas. Pengetahuan tentang ketiganya ini adalah penting guna mengetahui kualitas dan kuantitas. Orang yang tak mengetahui kuantitas dan kualitas tak mengetahui yang pertama dan yang kedua. Kualitas adalah kapasitas untuk menjadi sama dan tak sama; sedang kuantitas adalah kapasitas untuk menjadi sejajar dan tak sejajar. Karena itu, tiga gagasan tentang kesejajaran, kelebihbesaran dan kelebihkecilan, menjadi asas dalam memaparkan konsepsi tentang keterbatasan dan ketakterbatasan.

Ada empat teori perihal keterbatasan dunia: 
  1. Dua besaran yang sama disebut sama, bila yang satu tak lebih besar dari yang lain. 
  2. Bila satu besaran ditambahkan pada salah satu dari dua besaran yang sama tersebut, maka keduanya akan menjadi tak sama. 
  3. Dua besaran yang sama tak bisa menjadi tak terbatas, bila yang satu lebih kecil daripada yang lain, karena yang lebih kecil mengukur yang lebih besar atau sebagian darinya. 
  4. Jumlah dua besaran yang sama, karena masing-masing terbatas, adalah terbatas.
Dengan ketentuan ini, maka setiap benda yang terdiri atas materi dan bentuk, yang terbatas ruang, dan bergerak di dalam waktu, adalah terbatas, meski benda tersebut adalah wujud dunia. Dan, karena terbatas, maka tak kekal. Hanya Allahlah yang kekal.


Ruh dan Akal

“Tiga bagian ruh dalam gagasan al-Kindi ialah nalar, keberangan dan hasrat. Orang yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jasmani, dan berupaya mencapai hakikat segala sesuatu, adalah orang yang baik dan sangat sesuai dengan Sang Pencipta. Tidur adalah menghentikan penggunaan inderawi, dan hanya menggunakan nalar maka ia bermimpi”.

Ruh adalah suatu wujud sederhana, dan zatnya terpancar dari Sang Pencipta, persis sebagaimana sinar terpancar dari matahari. Ruh bersifat spiritual, ketuhanan, terpisah dan berbeda dari tubuh. Bila dipisahkan dari tubuh, maka ruh memperoleh pengetahuan  tentang segala yang ada didunia dan melihat hal yang adialami. Setelah terpisah dari tubuh, ia menuju ke alam akal, kembali ke nur Sang Pencipta, dan bertemu dengan-Nya. 

Menurut al-Kindi ada empat macam akal : 
  1. Akal yang selalu bertindak, 
  2. Akal yang secara potensial berada di dalam ruh, 
  3. Akal yang telah berubah, di dalam ruh, dari daya menjadi aktual, 
  4. Akal yang disebut akal yang kedua. 
Yang dimaksud akal yang kedua yaitu tingkat kedua aktualitas untuk membedakan antara akal yang memiliki pengetahuan tanpa mempraktekkannya dan akal yang mempraktekkan pengetahuan. 

Zulkarnain Nasution

Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir

SAROHA EDISI RE-BORN - I/01/02-2014
Disarikan dari buku; Para Filosof Muslim, Terj. History of Muslim Philosopy, 
Penerbit Mizan, Editor. M.M Syarif, MA. Cet. Ke-V Juli 1993.

0 comments:

Post a Comment