Era globalisasi yang mengedepankan teknologi informasi menjadikan seorang Muslim dituntut meningkatkan sumber pemahaman agamanya melalui internisasi yang tertuang dalam bentuk media sosial dan lainnya. Fenomena ini melahirkan generasi muda muslim dengan semangat menggebu-gebu belajar Islam tanpa di bimbing guru yang mengajarinya tentang Islam sebagaimana tradisi pesantren. Bahkan mereka tidak pernah sama sekali duduk dibangku-bangku sekolah pesantren menjadi santri yang memerlukan sanad dalam pembelajarannya. Belajar di Pesantren atau madrasah tidak lagi menjadi sentral bagi kelompok muda muslim untuk memperdalam materi agama tetapi cukup dengan membrowsingnya di interet maka muncullah semua materi keislaman sesuai kebutuhannya.
Ketika terjadi dialog keagamaan diantara mereka, dalam dialog itu tidak mengenal istilah-istilah yang sudah tidak asing ditelinga kita seperti “kata guru saya” atau dalam “kitab kitab kuning” dijelaskan seperti ini. Akan tetapi dalam dialog-dialog keagamaan mereka berhujjah dengan selalu menyebutkan “hal semacam ini saya jumpai dalam al-Qur’an dan alhadits”. Padahal mereka itu tidak pernah terlihat membuka alQuran atau buku-buku alHadits sebagaimana kebiasaan santri di pondok pesantren atau madrasah. Hanya dengan menggenggam sebuah handphone yang tersambung dengan internet mereka berusaha memahami agamanya dengan petunjuk materi keagamaan dalam berbagai macam wacana keilmuan penafsiran dan intrepretasi pemahamam yang tidak lagi linier seperti di pondok pesantren. Mereka tidak lagi mengenal linier mazhab dalam aplikasi keagamaannya.
Mengambil pendapat para imam mazhab untuk dikomperatifkan dan selanjutnya pilihan akan jatuh kepada pendapat paling afsah melalui pentarjihan secara nalar dan struktur rasional. Maka dalam prakteknya mereka tidak mengenal mazhab sebagai output ijtihad imam untuk mutlak diikuti tetapi mazhab itu digunakan sebagai pendalaman materi alQuran atau alHadits. Oleh karena itu sangat tidak bisa dikatakan mereka sebagai pengikut mazhab tertentu dikarenakan pilihan-pilihan dalam wacana keagamaan disesuaikan pada preferensi mereka. Persepsi keagamaan yang berkembang dalam diri mereka sebagai bentuk keyakinan bahwa alQuran sebagai dasar petunjuk mutlak dan serba mampu memenuhi kebutuhan spiritual sesuai konsep surat Al A’raaf 7:52 “Dan sesungguhnya kami telah mendatangkan sebuah Kitab (alQuran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami, menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
Kemajuan teknologi informasi seiring dengan laju pertumbuhan generasi muda yang menjadikannya alat untuk memahami konseptual agama secara tekstual dan kontekstual menuntut para ulama cendikiawan muslim saat ini untuk melakukan gerakan massal mengupload pemikiran-pemikirannya ke jejaring media sosial secara online agar menambah wacana intelektual yang mudah terakses oleh generasi muda. Kebutuhan untuk itu sebagai penyeimbang atas prilaku-prilaku yang menjustice kaum muda sebagai masyarakat baru yang terkena virus paham-paham kiri yang jauh dari nilai-nilai kultur keislaman di Indonesia. Hanya dikarenakan mereka tidak lagi memperdulikan ajaran-ajaran yang mengkristal sebagai kultur dimasyarakat. Kita menganggap mereka telah terkena ajaran wahabi, syiah, ISIS dan sebagainya. Maka apa yang terjadi seandainya mereka adalah orang-orang yang mengamalkan perintah wahyu pertama yang memberi perintah untuk membaca semua bacaan dengan nama Allah. Lebih-lebih bacaan mereka adalah alQuran dan alHadits yang dapat diakses dengan mudah saat ini. Bisa jadi kita yang menganggap mereka tersesat justru menjadikan kita semakin jauh kepada Allah sebagaimana penegasan Allah; “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan diri dimuka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.....”. (QS. Al A’raaf; 7:146). Kesombongan itu terlihat dari sikap kita yang memandang sebelah mata orang-orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan agama menjadi orang-orang yang ingin mengapresiasi ketaqwaannya dengan menunjukkan sikap kesederhanaan berpakaiannya ala jubah pakistan dengan celana diatas mata kaki, jenggotnya yang terurai walaupun hanya beberapa helai, mereka bergegas ke mesjid-mesjid ketika azan berkumandang dan mengingatkan orang-orang disekitarnya untuk bertauhid dengan benar tanpa harus pergi kekubur-kubur keramat.
Pencarian Nabi Ibrahim terhadap tuhan mengingatkan betapa prosyeksi yang ada pada diri seseorang menghantarkannya kepada Tauhid yang sebenarnya. Tatkala gelap malam tiba Ibrahim pun melihat bintang lantas beliau berkata inilah tuhanku, tetapi ketika bintang-bintang itu tenggelam, Ibrahim pun yakin bahwa Tuhan tidak mungkin menghilang. Begitupun ketika melihat bulan dan matahari, Ibrahim dengan kesadarannya menyatakan ini juga bukan tuhan dan pada akhirnya Ibrahim berkata; “sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan’. (QS. Al An’aam; 6:74-79). Klimaks dari pengembaraan spiritual diakibatkan perasaan lemah dihadapan alam yang akhirnya menghantarkan seseorang untuk menekuni agamanya agar dapat memastikan dalam jiwanya bahwa ada supernatural yang menguasai dirinya dan alam semesta. Itulah yang terjadi bagi generasi muda saat ini, mereka menginginkan menjadi muslim yang sebenarnya dengan keterbatasan waktu dan kemampuan yang ada pada dirinya. Karena keterbatasan itu pula yang menyebabkan mereka langsung mempelajari Islam manohok keapada al Quran dan al Hadits walaupun tanpa bimbingan seorang guru.
Zulkarnain Nasution
Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir
03 March 2015
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

Perintah Iqra (membaca) wahyu pertama kemudian Perintah Menulis dalam bermuammalah (Al-baqoroh) dan perintah mengunakan akal ( 'Afala ta'kilun, afala tatafakkarun ")begitu pula dalam Hadist menuntut ilmu sepanjang masa (dari buaian hingga mati) merupakan isyarat tegas untuk belajar, mencerahkan diri, dengan bertanya, berguru pada alam dan isinya itulah kampus yang sesungguhnya sederhananya Tidak tahu ya... bertanya , autodidak adalah jawabanya dan guru adalah semua alam ini. begitu pula dalam belajar agama memahamninya dengan bersumber pada teks Primer (Al-Qur'an, Hadist), kemudian mentadaburi dialamraya ini dan mengamalkan, perkembangan tehnologi hasil ilmu pengetahuan akan sangat memudahkan kita untuk memahami ajaran agama namun bukan berarti tanpa guru, Mbah Kyai Google adalah Ustadnya walau kekritisan kita sangat diperlukan karena sebagai ciptaan google bisa salah, jadi ndak betul tanpa guru mesti ada guru/ustad/Kyai walau dalam bentuk yang berbeda, ana setuju kemudahan memahami agama dengan tehnologi karena dimanapun posisi kita akan selalu belajar. membaca, memhami ,ok Syeh zul 3 jempol untuk anda, sukses selalu
ReplyDeleteTrimakasih saudaraku AHY..... Ustad Google itu tinggal dimana Kiyai? he he he
DeleteKembali kasih.....Ustad google tinggal pejet aja, he...he..... , izin copy and referensi bang haji
DeleteHEHEHEHE..... lanjutkan. Trims
DeleteUstadz saya post kan di blog saroha
ReplyDelete