22 January 2022

"HABIB" DALAM ROTASI PEMBUMIAN DAKWAH EKONOMI


Belakangan ini lahir ditengah-tengah masyarakat fenomena pertentangan kelas antara Habib berjubah dan Habib ala Barat. 

Kalau kita rancang bangun melalui teori kelas Marxisme, pertentangan kedua kelas ini hanya seperti pertentangan buruh dan pemilik modal. Masing-masing pihak mengambil sikap yang berbeda terhadap perubahan sosial saat ini. 


Habib berjubah "proletariat" cenderung bersikap revolusioner, sesegera mungkin untuk melakukan perubahan, melawan dan menggulingkan status quo. Sedangkan habib ala Barat "borjuis" bersikap konservatif, sebisa mungkin mempertahankan status quo dalam mempertahankan kekuasaannya. 


Pertentangan dua kelompok yang sama-sama mengaku "habib" ini selalu berhadap-hadapan dalam memperjuangkan ide-ide keberpihakannya. Sehingga sering terlihat di media sosial life style mereka dan wacana-wacana yang dikembangkan bersifat ambigu. 


Kenapa ambigu, Pakaian "Jubah" misalnya, adalah pakaian yang sangat sakral di kultur masyarakat Islam Indonesia. Karena Jubah di Indonesia dipakai oleh orang-orang berkharismatik para alim ulama, yang tentu aqidahnya lurus dan ibadahnya sesuai manhaj kenabian dan ahlu sunnah waljamaah. Tetapi saat ini dijumpai Habib  "proletariat" tampil memakai jubah dengan gaya hidup yg glamour justru diluar batas-batas kesakralannya. 


Dengan memakai jubah seseorang harus menampilkan wajah Islami yang selalu mengedepankan akhlaqul karimah. Bersikap penuh dengan kelembutan, ramah, mengayomi, dan selalu tersenyum jauh dari kemarahan. Apalagi kata-kata yang tak layak diucapkan, memaki-maki, mengumpat, menghina dan menggertak-gertak atas nama Tuhan, itu tidak boleh dilakukan. 


Karena itu pula di beberapa daerah di Indonesia, bila jemaah haji pulang dari tanah suci mereka harus memakai jubah sebagai simbol kemabruran haji dan sekaligus jubah dianggap simbol perubahan cara pandang, prilaku dan kesempurnaan beragama. Dikarenakan beratnya tanggungjawab berjubah ini maka tidak semua jemaah haji berani memakai jubah sekembalinya dari tanah suci. 


Sedangkan habib "borjuis", statemennya selalu mengedepankan bahwa Islam harus ditampilkan dengan wajah ramah, penuh kasih sayang, menggembirakan dan toleran pada perbedaan dan sebagainya. Tetapi gaya yang ditampilkan tidak mencerminkan seperti apa yang diucapkan. Cacii maki, kemarahan dan menghina sesama anak bangsa, dan yang memalukan lagi justru menghina Bangsa Arab asal sukunya sendiri. Dengan mengaku bukan habib lagi lantaran sudah menjadi orang Melayu, Statement kontrversialnya mengatakan "Arab itu kalau tidak ada Kakbah tidak punya kehormatan" "Bangsa yang tidak punya budaya" "Bangsa yang tidak melahirkan intelektual". Sungguh betul-betul ambigu dan membingungkan. 


Adalah Umar bin Abdul Rahman Al-Atthas (Alatas) Ba'lawi wafat tahun 1072 Hijriyah. Seorang tokoh dari Arab Yaman, orang yang pertama sekali diberi gelar habib. Pemberian gelar habib di Hadrmaut Yaman adalah sebagai  bukti kecintaannya pada Islam melalui jalur keluarga Nabi. Dan hanya diberikan bagi orang-orang yang Aqidahnya lurus dan komitmen dalam beragama. Bagi Arab Yaman yang berasal dari Hadrmaut gelar Habib lebih tinggi dari gelar Syekh. Dimana pemberian gelar Syekh terhadap seseorang dalam tradisi Arab bukanlah untuk orang sembarangan. Karena seseorang yang bergelar Syekh tentu sudah mumpuni dalam beragama dan tinggi tingkat keilmuan dan wawasannya. 


Menurut Tiar Anwar Bachtiar di Indonesia, utamanya keturunan dari Hadrmaut ini, terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Alawiyin dan non-Alawiyin. Keturunan Arab non-Alawiyin di Indonesia, khususnya yang menyebarkan agama Islam mendapat sebutan "Syaikh" / "Syekh" atau "Syaikhah" bagi yang perempuan. Namun umumnya hanya Alawiyin yang dikenal sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Husein bin Ali. Biasanya keturunan Alawiyin inilah yang disebut sebagai "habib". Habib itu sebenarnya sebutan. Kalau sebutan atau gelar resminya adalah "Sayyid" perempuannya adalah "Sayyidah".


Pertentangan kelas antara Alawiyin dan non-Alawiyin ini, atau siapa di antara mereka yang mendapat pengakuan menjadi keturunan Rasul penyebab perpecahan organisasi Jami'at Khair sebagai wadah perkumpulan Arab Indonesia. Maka Syekh Ahmad Surkati asal Arab Sudan memutuskan keluar dari Jami'at Khair akibat perbedaan pandangan mengenai "Kafaah" persamaan derajat. Dan Beliau memprakarsai wadah perkumpulan baru bagi Arab Indonesia yaitu Al-Irsyad Al-Islamiyah pada 1914.


Ajaran Islam yang turun di Arab melalui Rasul Muhammad SAW bukanlah untuk mengkultuskan dirinya dan keturunannya. Dalam hadis diceritakan beberapa dari sahabat ada yang suka memberi pujian dengan memberi gelar kepada Rasulullah semisal "Engkau adalah "Sayyid" Penghulu Quraish". Di hadis lain " ya Khairana" Wahai Kebajikan Kami dan sebagai pujian lainnya. Rasul dengan kerendahan hatinya menjawab: wahai para manusia perkuatlah ketakwaan kalian, jangan biarkan para setan memperdaya kalian, Saya Muhammad bin Abdullah, Seorang Hamba Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah Aku tidak suka kalian memganggkatku melampaui tempatku yang Allah telah menempatkanku.


Para ulama bersepakat bahwa memberi pujian kepada seseorang itu dibenarkan dalam agama selama dapat diyakini tidak menjadi fitnah bagi yang di puji dan juga tidak berlebih-lebihan dalam memuji. 

Sebagaimana riwayat hadis diatas bahwa Rasul khawatir pujian-pujian itu merupakan bagian dari tipu daya setan bagi pemuji dan yang dipuji. Di banyak hadis Rasul sendiri pun sering memuji para sahabatnya seperti ketika Rasul memuji kecepatan jalan Umar, Ia mengatakan "sampai-sampai Setan tidak mampu mengikuti jalanmu yang begitu cepat". 


Pujian menurut Imam Ghazali juga merupakan media setan untuk menghancurkan kebaikan seseorang setelah lebih dulu melarangnya dari berbuat kebaikan. Semisal setan akan terlebih dahulu mengajak seseorang untuk meninggalkan shalat. Akan tetapi bila seseorang itu akan tetap mengerjakan shalat.  Maka langkah setan berikutnya adalah membisikkan kepada manusia untuk tetap mengerjakan shalat. Selanjutnya setan akan membisikkan agar shalatnya dikerjakan ke mesjid saja. Supaya terlihat manusia, hingga akhirnya akan mendapat pujian dari manusia atas kesalehannya. Dan para sahabat dan Salap apabila mendapat pujian mereka lantas berdoa: 

"اللهم اغفر لي ما لا يعلمون، ولا تؤاخذني بما يقولون، واجعلني خيرًا مما يظنون"

"Ya Allah, ampunilah aku atas apa yang tidak mereka ketahui, dan jangan salahkan aku atas apa yang mereka katakan, dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka pikirkan".

"اللهم إنَّ هؤلاء لا يعرفوني، وأنت تعرفني".

“Ya Allah, orang-orang ini tidak mengenal saya, dan Engkau mengenal saya.”


Berlebih-lebihan dalam memuji dan menempatkan kedudukan seseorang di atas fitrahnya bisa menjerumuskan seseorang kepada riya, bangga diri, sombong dan berpotensi merendahkan derajat orang lain sebagaimana kekhawatiran Rasulullah. Kekhawatiran Rasul itu ditegaskan kembali oleh Rasul dalam sebuah hadis seperti anjuran berikut ini:  "Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam  memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji 'Isa putra Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya maka katakanlah 'Abdullah Wa Rasuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya). HR.An Nasa'i. 


Islam datang di Arab membawa pesan persaudaraan, persamaan derajat dan keadilan. Membebaskan jiwa dari kemusyrikan, membebaskan diri dari perbudakan, dan melepaskan pikiran dari kenistaan, kehinaan dan ketakutan. Membentuk mindset insani bahwa keagungan dan kemuliaan manusia hanya pada siapa yang paling bertaqwa.

 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَا رَفُوْا ۗ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَ تْقٰٮكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ


"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti."

(QS. Al-Hujurat 49: Ayat 13)


Pemberian gelar habib, sayyid, syekh, dan kiyai merupakan sebutan kepada orang-orang yang dianggap ketaqwaannnya melampaui batas manusia pada umumnya. Mereka memiliki wawasan beragama yang sangat luas dan menguasai ilmu-ilmu ke-Islaman yang dapat mencerahkan. Mereka membumi bersama masyarakat tanpa sekat-sekat status sosial. Penghormatan masyarakat atas kebaikan-kebaikan yang telah mereka berikan termanifestasikan dengan pemberian gelar-gelar kemulian itu. 


Para "habaib" apa pun itu kelasnya seharusnya berdakwah dengan kelembutan, kebersahajaan, dan membumi tanpa melukai hati adalah prinsip dakwah bil hikmah yang dianjurkan Allah kepada setiap Muslim. Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِا لْحِكْمَةِ وَا لْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَا دِلْهُمْ بِا لَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ ۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِا لْمُهْتَدِيْنَ


"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk."

(QS. An-Nahl 16: Ayat 125)


Dakwah yang menyentuh hati, apalagi dibalur dengan perilaku herois dalam keberpihakannya kepada kaum yatim dan fakir miskin tentu akan mendapat tempat dihati masyarakat. Pembangunan ekonomi masyarakat perlu juga menjadi perhatian prioritas dakwah para habaib. Mengingat kekayaan materi juga bagian penting dalam dakwah. Bukan malah menngkapitalisasi dakwah untuk menumpuk harta kekayaan. Hujarat Arab (nenek moyang Arab Indonesia) adalah para pedagang kaya raya yang datang ke Indonesia bersama misi dakwah yang melekat pada diri mereka. Simpati masyarakat mengalir ketika bersinggungan dengan Akhlaq mulia mereka. Teraktualisasi dari kesungguhan mereka dalam mengorbankan harta dan diri mereka untuk kemaslahatan manusia dan kemenangan agama. 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَ هَا جَرُوْا وَجَاهَدُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ بِاَ مْوَا لِهِمْ وَاَ نْفُسِهِمْ ۙ اَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللّٰهِ ۗ وَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الْفَآئِزُوْنَ


"Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan."

(QS. At-Taubah 9: Ayat 20)


Bagaimana bisa seseorang dapat berterima dakwahnya bila para pendengarnya sedang dalam masalah ekonomi. Ranah dakwah ekonomi harus menjadi prioritas para habib. Agar masyarakat terlepas dari jaring laba-laba hutang dan riba. Membentuk lembaga-lembaga keuangan, membangun properti murah dan layak, menguasai pasar dan menciptakan lapangan pekerjaan. Para habib seharusnya Ikut serta dalam pembangunan ekonomi nasional. Terlibat langsung dalam pengambil keputusan pembangunan nasional. Mengawal bangsa ini dari dalam kekuasaan demi menjaga kemaslahatan dan rasa berkeadilan. Karena tidak semua harus pergi berperang. Apalagi ribu-ribut bertengkar dalam pertempuran. 


Dakwah  harus lebih serius mengarah kepada penguasaan ekonomi. Jauh sebelum kedatangan VOC Belanda, nenek moyang habaib Arab Indonesia sudah menguasai jalur perdagangan di Indonesia. Mereka menguasai dan menjadi syahbandar di pelabuhan-pelabuhan pesisir pantai Indonesia. Eksistensi itu harus tetap dipertahankan agar mampu memberi pengaruh kepada kepentingan sosial dan politik. Sebagai sohibul mal atau konglomerat pada saat itu memudahkan bagi para habaib mempengaruhi masyarakat untuk masuk Islam. Tanpa harus berteriak-teriak menjelaskan Islam dengan lisannya, hanya dengan sikap dan  prilaku akhlaqul karimah yang terpuji, telah mampu merubah bumi nusantara menjadi bumi Islami. Kembali menguasai pasar menjadi domain terpenting bagi bangsa Arab sejak dulu, sesuai penjelasan Al-Qurân:

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


لِاِ يْلٰفِ قُرَيْشٍ 


"Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,"


اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَآءِ وَا لصَّيْفِ 


"(yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas."

(QS. Quraisy 106: Ayat 1-2)


Bepergian dimaksud dalam ayat adalah berniaga dan berdagang. Mekkah secara geografis adalah jalur strategis perdagangan ketika itu. Pertukaran komoditas antara Timur dan Barat harus melalui jalur Mekkah. Bila musim dingin tiba arus perdagangan ke arah timur yaitu yaman terus ke Asia bawah.  Dan bila saat musim panas maka para pengusaha Mekkah membawa komoditas pula ke arah Barat menuju Syam, Palestina terus naik ke Eropa.


Menguasai pasar dengan prilaku mulia, seperti suka menyapa adalah hal sederhana dalam dakwah ketika berinteraksi sosial kemasyarakatan. Rasul menganjurkan untuk "ifsyus salam"  menyebarkan salam dengan ucapan Assalamu alaikum warahmatullahi wa barakatuh. Menunjukkan betapa Islam sangat mencintai perdamaian (Assalaam), saling memberi dan menyayangi (Rahmat) dan saling mendapat kebahagian dsn kesuksesan (barakat). Anjuran berikutnya adalah sensitivitas sosial harus terbangun dalam diri manusia  "it'amut tha'am" yaitu memberi makan orang yg membutuhkan. Dan "imathatul aza anitthariq" membuang penghalang/rintangan di jalanan yang dapat membahayakan orang lain. Bukankah prilaku-prilaku yang di anjurkan Rasul di atas bagian dari prilaku pengusaha sukses saat ini.


Kesemua prilaku itu harus dengan kesadaran bahwa kita sebagai Makhluk Allah yang diberi tugas sebagai penyampai risalah kenabian dengan cara menjelaskan, mengajak, dan menyampaikan kabar berita tentang nilai-nilai kebaikan dan kebajikan. Bukan sebaliknya bahwa kita memposisikan diri seperti Tuhan, yakni Allah yang memberi ketetapan dan ketentuan akan keadaan makhluk dan seisi alam semesta. Dimana seseorang itu dalam kesesatan atau petunjuk Islam. 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


وَمَاۤ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا بِلِسَا نِ قَوْمِهٖ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۗ فَيُضِلُّ اللّٰهُ مَنْ يَّشَآءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَآءُ ۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ


"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana."

(QS. Ibrahim 14: Ayat 4)








20 January 2022

SINGOLOTKU

 

Sungai Singolot: tempat mandi santri Musthafawiyah, Batunya Merah dan airnya rasa belerang, tidak satupun ikan bisa hidup di sungai ini.


Ayahku bertanya.. 

Kemana dikau menyambung pendidikanmu?

Tak tahu ayah jawabanku polos… 

Gimana jika ke pesantren di tanah mandailing?

Dengan polos lagi aku menjawab.. bolehlah ayah..


Sampailah kami ke pondok tujuan di Desa Purba Baru… 

Di saat para santri masih berlibur ke kampung halaman, belakangan aku mengenalnya dengan merayap.

Sepiii, sejuk udara pegunungan membuat aku terkagum kagum.


Jalan yang berliku liku di hiasi gubuk gubuk kecil seperti gubuk gubuk persawahan membuatku terkagum kagum.. 

Kami berhenti tepat di depan perpustakaan tanpa satupun manusia yg menyambut kedatangan kami. 


Setelah melihat-lihat gedung sekolah kami pun mundur kebelakang tepatnya banjar manggis saat itu.

Aku turun dari Becak motor dan melihat-lihat gubuk kosong menambah decak kagumku..


Dan Tak kusangka di akhir susunan deretan gubuk-gubuk itu  terdapat air yg sungguh jernih mengalir di sela-sela bebatuan yg berwarna-warni, aduhaiii kata hatikuu..


Aku pun langsung berlari menginjakkan kakiku di bebatuan sungai sambil mengayun-ayunkan kakiku ke air, aduhaiiii kata hatiku lagi


Aku pun terduduk di bebatuan sambil mengibas-ngibaskan air singolot dengan kaki dan tanganku, aduhaiiii bisik hatiku


Ayahku hanya memandangiku sambil tersenyum, dan mungkin berdoa agar aku mau menetap menjadi santri disini.


Kuteruskan bermain di singolot membasuh mukaku dan sejuk nyaman menyentuh wajahku Tapi capot menyentuh bibirku, aduhaiiii jerit hatiku… 


Singolot meyakinkanku agar aku menjadi santri di pondok ini.


Singolot menghabiskan waktu kecilku dengan riang gembira mandi seharian tanpa kenal waktu.


Singolot menjadikanku orang yang berkepribadian tangguh, mandi, membasuh pinggan bersamaan orang lain bersenang-senang di sebelahku.


Singolot membentuk ketangguhan fisikku menyatu dengan alam, perubahan siklus air terkadang bersih dan menjijikkan tak kuhiraukan demi bersenang-senang mandi bersama teman-temanku..


Sungguh mengagumkan Singolotkuuu.. 



Banjar Manggis 1992

Banjar Ayahanda 1987





Sebuah karya puisi dari seorang santri 

H. Zulkarnain Nasution 

15 January 2022

SEJARAH PENDIRI NAHDHATUL ULAMA DI PULAU SUMATERA

Syeikh Musthafa Husein Nasution, anak dan cucunya sebagai generasi Musthafawiyah

Syekh Haji Musthafa Husein Nasution bin Husein Nasution bin Umar Nasution al-Mandaili (lahir di Tano Bato, Mandailing Natal, Sumatra Utara, 1886 – meninggal di Padang Sidempuan, Sumatra Utara, 16 November 1955 pada umur 69 tahun) adalah seorang Ulama terkemuka di Sumatra Utara yang meninggalkan karya bangunan keislaman monumental Madrasah di Purba Baru Mandailing Tapanuli Selatan [3], yaitu Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru.

Saat ini nama Syekh Musthafa Husein diabadikan pada salah satu gedung utama di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan yang berembiro dari Universitas Nahdlatul Ulama Sumatera Utara. Ponpes Musthafawiyah sebagai asal sejarah tumbuhnya Nahdlatul Ulama di Sumatra Utara yang dibawa oleh Syekh Musthafa Husein pada 1945 dan diresmikan pada Februari 1947 di Padangsidimpuan. Tahun 1936 pemerintah Belanda memberikan bintang jasa padanya atas usahanya dalam bidang pendidikan.

Pada masa Agresi Belanda sesudah Indonesia merdeka ia bersama ulama seperti Syekh Ja’far Abdul Kadir al-Mandily dan H. Fakhruddin Arif pernah mengeluarkan fatwa wajib (fardu’ain) bagi setiap Muslim yang mukalaf mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda.


Syekh Musthafa Husein tidak hanya seorang Ulama besar, tetapi dia juga adalah seorang wiraswasta dan sekaligus sebagai politikus dan cendikiawan yang ikut menghantarkan kemerdekaan bangsa ini dari kolonialisme Belanda dan Jepang. Dia juga adalah seorang Tokoh Pergerakan, seorang Ulama Mujahid, penggerak dan pelopor bagi persatuan dan kebangunan umat, sehingga Madrasah Musthafawiyah dapat dianggap sebagai pesantren pelopor dan perintis bagi perkembangan ilmu pengetahuan agama pada awal abad ke-20, khususnya di Tapanuli bagian Selatan, umumnya Sumatra Utara.


Madrasah yang pertama didirikan di Mandailing adalah Madrasah Islamiyah yang dibangun oleh Syekh Musthafa Husein di Tano Bato, Kayu Laut sekitar tahun 1912, kemudian beliau pindah ke desa Purba Baru pada tahun 1915, di tempat inilah dilanjutkan pendidikan Islam yang kemudian bernama Madrasah / Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru, Mandailing. Setelah berdiri lembaga pendidikan Islam di Purba Baru, kemudian berdiri pula beberapa Madrasah Islamiyah di daerah lain antara tahun 1927 sampai 1935.

Lembaga pendidikan Islam ini cukup besar peranannya dalam penyebaran dan pengembangan Islam di Mandailing. Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru, telah memiliki alumni terbesar di seluruh pelosok Nusantara, banyak alumni Musthafawiyah yang melanjutkan kuliah ke berbagai perguruan tinggi di dalam maupun luar negeri dan telah berhasil di berbagai bidang.


Di Musthafawiyah, Syekh Musthafa Husain dipanggil dengan sebutan Tuan Guru na Tobang, dan seorang menantunya yang bernama Syekh Abdul Halim Khatib sebagai Rais al-Mu‘allimin dipanggil dengan sebutan Tuan Guru na Poso. Dalam bahasa Mandailing, poso artinya muda. Karena itu, Tuan Guru na Poso berarti tuan guru yang muda. Pada satu sisi, memang usia Syekh Abdul Halim Khatib jauh lebih muda dibanding Syekh Musthafa Husain. Namun, sebutan na poso tersebut lebih dimaksudkan agar masyarakat dapat membedakan antara kedua kiai tersebut.


Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru adalah pondok klasik yang mempelajari kitab-kitab kuning, di antara kitab-kitab yang dipelajari di pesantren ini adalah Hasyiyah Al-Bajuri, Tafsir al-Jalalain, Hasyiyah Syarqawy ‘ala At-Tahrir, Bulughul Maram, Syarh Ibn A'qil, Kawakib Ad-Duriyyah, Matn Arba‘in Al-Nawawiyah, Hasyiyah Dusuki ‘ala Ummi al-Barahin dan lain-lain. K.H. Sirajuddin Abbas telah memasukkan nama Syeikh Musthafa Husein di dalam bukunya “Keagungan Mazhab Syafii” sebagai penyebar Mazhab Syafiiyyah di Indonesia.


Pada awalnya, lembaga pendidikan Islam yang dibangun Syekh Musthafa Husain disebut sekolah Arab atau maktab, Kemudian, pada tahun 1950-an, atas usul Syekh Ja’far Abdul Wahab, sebutan maktab diganti dengan Madrasah Musthafawiyah, akhirnya, pada tahun 1990-an, sebutan madrasah diganti dengan Ma‘had atau Pondok Pesantren Musthafawiyah Purbabaru.


Syarikat Islam (SI)

Pada tahun 1915, Syekh Musthafa Husein berkiprah dalam bidang pergerakan politik, dan sebagai Ketua Syarikat Islam Cabang Tano Bato. Namun pada saat itu baru beberapa tahun berjalan, telah terjadi perpecahan di kalangan masyarakat, terutama berkaitan dengan masalah khilafiyah. Selanjutnya dia berusaha ke arah Persatuan Islam, khususnya di Tapanuli.


Persatuan Muslim Tapanuli (PMT)

Pada tahun 1930, atas anjuran Syekh Musthafa Husein berdirilah Persatuan Muslim Tapanuli (PMT) yang berdomisili di Padangsidimpuan, di mana beliau menjabat sebagai Ketua Majelis Syar’iy . Selanjutnya pada tahun 1933, Syekh Musthafa Husein terpilih menjadi penasehat PMT.


Organisasi ini didirikan dengan berupa penolakan terhadap pemakaian madzhab dalam Thawalib pada tahun 1930 [56]. Syekh Musthafa Husein Purbabaru adalah pendirinya dan setelah kemerdekaan, organisasi ini bergabung dengan Nahdlatul Ulama yang menebar di Sumatra Utara.


Amanah untuk Tuan Na Poso

Sekitar tahun 1935, setelah tenaga pengajar atau tuan guru di Madrasah Musthafawiyah dirasakan telah mencukupi dan mampu memenuhi kebutuhan, Syekh Musthafa Husein memberikan semacam kepercayaan kepada Syekh Abdul Halim Khatib mengajar di kelas 7 (tujuh) Madrasah Musthafawiyah dan juga kewenangan dalam pengembangan keilmuan Islam, termasuk mangatur dan menetapkan tenaga-tenaga pengajar disetiap kelas.


Bertani, wiraswasta, organisasi sosial dan Islam

Sekitar tahun 1935 sampai dengan kemerdekaan Republik Indonesia, Syekh Musthafa Husein merasakan bahwa sistem pendidikan di Madrasah Musthafawiyah telah dapat berlangsung dengan baik, beliau mulai mengembangkan usaha dagangnya yang dimulai dari hasil perkebunan karet kepunyaannya sendiri, perkebunan yang cukup luas dan dirintisnya bersama dengan para murid-murid dengan tujuan untuk mendapatkan modal dan pengembangan biaya Madrasah Musthafawiyah.

Perkebunan karet itu ada yang berlokasi di Purba Lama dan Jembatan Merah, dan adapula perkebunan buah rambutan yang cukup luas di sekitar daerah Aek Godang. Syekh Musthafa Husein termasuk salah seorang yang pertama sekali melaksanakan praktek perkebunan secara modern di daerah Mandailing. Selain itu untuk menyatukan ummat Islam dan merealisasikan perjuangannya, Syekh Musthafa Husein mulai aktif dalam gerakan dan membangun organisasi sosial serta keagamaan Islam.


Al Jam'iyatul Washliyah

Pada tahun 1936, Syekh Musthafa Husein menghadiri kongres pertama Al Jam'iyatul Washliyah dan diangkat menjadi Penasehat Pengurus Besar Jam'iyatul Washliyah.


Al-Ittihadidul al-Islamiyyah (AII)

Pada tahun 1939, atas inisiatif dan anjuran Syekh Musthafa Husein dibentuk suatu organisasi Islam dan bersifat sosial dengan nama "Al-Ittihadidul al-Islamiyyah (AII)", yang merupakan perkumpulan bagi alumnus-alumnus pesantren Mushtafawiyah Purbabaru, dengan bertujuan untuk menyatukan pelajaran-pelajaran di semua sekolah agama dengan arti yang seluas-luasnya dan berpusat di Purba Baru Mandailing. Anggotanya terdiri dari murid-murid dan alumni Madrasah Musthafawiyah. Organisasi ini sangat cepat berkembang di daerah Mandailing, Angkola, Sipirok, Padang Lawas, dan seluruh wilayah Tapanuli Selatan.


Pada tahun 1940, diadakan kongres pertama di Purba Baru yang di hadiri 62 Cabang, dan diambil keputusan Pengurus Besar dipindahdakan dari Purba baru ke Padangsidimpuan. Organisasi "Al-Ittihadidul al-Islamiyyah (AII)" inilah yang menjadi dasar berdirinya Nahdlatul Ulama Sumatra Utara di Padangsidimpuan pada tahun 1947. Dalam perkembangannya ketika NU didirikan oleh tokoh-tokoh Musthafawiyah, al-Ittihadiyah digabungkan ke dalam NU.


Zaman Jepang

Dalam rencana revolusi pada zaman Jepang, Syekh Musthafa Husein diangkat menjadi anggota Tapanuli Syu Syangi Ko Kai dan Kookai.


Majelis Islam Tinggi (MIT)

Pada tahun 1944, didirikan organisasi islam di Padangsidimpuan dengan nama Majelis Islam Tinggi (MIT) dan Syekh Musthafa Husein diangkat menjadi ketua umum [60]. Setelah Majelis Islam Tinggi dilebur menjadi Masyarakat Umat Muslim Indonesia (Masyumi), Musthafa diangkat sebagai Penasehat Majelis Syuro Sumatra.


Komite Nasional

Pada tahun 1945, Indonesia Merdeka, Syekh Musthafa Husein diangkat menjadi anggota Komite Nasional yang berpusat di Kotanopan Mandailing, dan aktif mengikuti pertemuan-pertemuan komite nasional di tingkat Kaesidenan Tapanuli.


Tabligh Akbar Kemerdekaan

Ketika Indonesia merdeka pada 1945, alumnus-alumnus Musthafawiyah atas prakarsa Ali Nuddin Lubis berencana mengadakan tabligh akbar di Panyabungan pada tahun 1946 sebagai bentuk rasa sukur atas tercapainya kemerdekaan. Dengan legitimasi dari Syekh Mushtafa Husein dan beberapa ulama lainnya di Tapanuli, tabligh ini berhasil dilaksanakan pada 1946 di salah satu Madrasah Islamiyah Panyabungan.

Tabligh dihadiri oleh alumnus-alumnus pesantren Mustafawiyah dan ulama-ulama terkemuka di Tapanuli.Syekh Mushtafa Husein adalah seorang ulama unggul dan terkemuka pada saat itu, karena itu legitimasi dan dukungannya dapat diyakini menjadi daya tarik tersendiri bagi ulama lain dan menjadi faktor penentu suksesnya tabligh tersebut.

Dalam tabligh ini didapatkan satu kesepakatan baru para Ulama yang hadir di dalamnya untuk mengadakan Kongres Kaum Muslimin se-Tapanuli (Mandailing, Padang Lawas, Angkola, Sipirok Natal, Sibolga) yang akan diadakan tahun berikutnya di Padangsidimpuan.


Kongres kaum Muslimin se-Tapanuli

Kongres ini berlangsung pada 7-9 Februari 1947 di Madrasah Islamiyah Kampung Bukit Padangsidimpuan. Kongres ini dihadiri oleh ulama dan tokoh pemuda dari Mandailing, Padang Lawas, Angkola Siprok, Natal dan Sibolga.

Dalam kongres tersebut didapatkan kesepakatan di antara ulama dan tokoh pemuda yang berfaham Aswaja untuk mendirikan Nahdlatul Ulama di Tapanuli sebagai cabang dari Nahdlatul Ulama yang berpusat di Jawa.


Nahdlatul Ulama (NU)

Sejak saat itu NU pun berkembang di Sumatra Utara khususnya di Tapanuli Selatan. Perkembangan NU ini membawa dampak positif bagi misi mempertahankan ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah di Tapanuli Selatan. Syekh Musthafa Husein adalah simbol bagi Nahdlatul Ulama (NU) di Sumatra Utara. 

Pesantren Musthafawiyah pun menancapkan namanya di bumi nusantara sebagai pusat perkembangan Nahdlatul Ulama di Sumatra Utara.


Untuk keanggotaanya sementara, al-Ittihadiyah Islamiyah Indonesia dileburkan kedalam NU sehingga seluruh anggota organisasi tersebut resmi menjadi anggota NU Tapanuli, selain al-Ittihadiyah Islamiyah Indonesia, terdapat empat cabang dari al-Washliyah di Tapanuli yang meminta untuk masuk ke dalam NU.


Kongres juga berhasil menetapkan tiga tokoh utama yang bertugas untuk menyusun kepengurusan NU selanjutnya. Mereka adalah H. Bahruddin Thalib Lubis, H. Dja’far Abdul Wahab dan Muhammad Amin Awwal. Ketiga tokoh tersebut berhasil menyusun kepengurusan, dan Syekh Musthafa Husein dipilih sebagai penasehat.


Konferensi Nahdlatul Ulama

Pada Tahun 1950, tiga tahun setelah berdiri di Tapanuli, NU mengadakan konferensi pertama pada 8-10 September 1950 di Padangsidimpuan diikuti oleh seluruh pengurus cabang NU Tapanuli dan perwakilan dari pengurus NU pusat dari Surabaya, adalah Kiai haji Masykur dan K.H. Saifuddin Zuhri. Dalam konferensi ini Syekh Musthafa Husein diangkat menjadi Ketua Majelis Syuriah NU Tapanuli.


Pada tahun 1952, Syekh Musthafa Husein terpilih menjadi utusan Ulama Sumatra Utara menghadiri konferensi Ulama-ulama se-Indonesia yang disponsori Kementerian (Departemen) Agama bertempat di Bandung. Konferensi ini adalah untuk menetapkan awal bulan Ramadhan dan hari raya idul fithri. Setelah Syekh Musthafa Husein kembali dari jawa (Jakarta) setelah mengamati situasi dan perkembangan agama selama melakukan perjalanan di Pulau Jawa, beliau melaksanakan konferensi seluruh muridnya di berbagai daerah.


Konstituante & Pemilihan Umum 1955

Pada 1953, Syekh Muthafa Husein menghadiri pertemuan ulama seluruh Indonesia yang dilaksanakan di Medan, yang mana pertemuan ini membahas tentang hukum memilih anggota konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada pemilihan umum tahun 1955 di kalangan ummat Islam.


Pada tahun 1954, Syekh Musthafa Husein menghadiri rapat syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) di Jakarta, yang mana pertemuan ini membahas tentang hukum Islam yang akan dijadikan pedoman bagi ummat Islam, khususnya warga NU pada Pemilihan Umum tahun 1955.


Pada 8 Juli 1955, Syeikh Musthafa Husein mengeluarkan seruan yang diterbitkan di media massa dan disebarkan secara massal di kalangan NU pada 22 September 1955 agar memilih tanda NU dalam Pemilu. Salah satu calon NU untuk konstituante adalah Syeikh H. Abdul Djabbar.


Pada tahun 1955, Syekh Musthafa Husein menjadi calon anggota konstituante / DPR Pusat mewakili Provinsi Sumatra Utara pada Pemilihan Umum 1955 dari Nahdlatul Ulama, namun, belum sempat dilantik, Syekh Musthafa Husein sudah terlebih dahulu berpulang kerahmatullah, dan kedudukannya digantikan oleh H. Muda Siregar.


Wafat

Pada malam rabu 5 November 1955, Syekh Musthafa Husein terkena serangan penyakit, saat itu usianya mencapai 70 tahun, hingga kemudian dibawa ke Padangsidimpuan untuk dirujuk ke rumah sakit]. Di Padangsidimpuan, sebelum dibawa ke rumah sakit, beliau dibawa ke rumah menantunya, yakni Syekh Ja’far Abdul Wahhab yang dikenal sebagai "Ayah Mesir", dalam pengawasan dokter, darah tinggi dan diabetes adalah yang menjadi penyakitnya selama sekitar 1 (satu) minggu.

Ulama bersahaja tersebut menghembuskan napas yang terakhir pada hari Rabu 16 November 1955 / 1 Rabiulawal 1375 H, Pukul 16:15 WIB, di Padangsidimpuan [15]. Jenazahnya dibawa kembali ke Purba Baru pada hari kamis esoknya, dengan iringan yang cukup ramai disertai sambutan penuh haru dan rasa pilu yang mendalam. Desa Purba Baru penuh sesak oleh ribuan orang pelayat yang datang dari berbagai daerah sebagai tanda turut berduka dan untuk memberikan penghormatan terakhir [71]. Sepeninggal Syekh Musthafa, Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru dikelola dan dipimpin oleh putra tertuanya, Haji Abdullah Musthafa Nasution.



TUAN GURU SYEIKH HAJI MUSTOFA HUSEIN NASUTION AL MANDILI

Syekh musthafa husein al mandili.jpg

Pendiri Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru

Nama dan Gelar

Semua Gelar

Gelar (Islam)

Syekh Haji

Gelar lainnya

Tuan Guru,Tuan Na Tobang, Tuan Purba

Nama

Nama

Musthafa Husein

Nisbah

al-Mandaili

Kelahirannya

Tahun lahir (H)

1303

Tahun lahir (M)

1886

Tempat lahir

Tano Bato

Negara lahir
(penguasa wilayah)

Tano BatoMandailingKaresidenan TapanuliHindia Belanda Bendera Hindia Belanda (sekarang Kabupaten Mandailing NatalSumatra Utara)

Nama ayah

Haji Husein bin Umar Nasution

Nama ibu

Hajjah Halimah

Nama lahir

Muhammad Yatim Nasution

Hari lahir

Senin

Agama, Identitas, Kebangsaan

Agama Islam

Etnis (Suku bangsa)

Marga

Nasution

Etnis
(Suku bangsa)

Mandailing

Kewarganegaraan

Kewarganegaraan

Indonesia Bendera Indonesia



H

UM ±

UH ±

Catatan


1886


0

0

Kelahiran


1897


11

?

Belajar kepada Syaikh Abdul Hamid Lubis sekiar tiga tahun (1897 M - 1900 M)


1901


15

?

Merantau ke Makkah


1901


15

?

Menunaikan ibadah haji pertama


1914


28

?

Tiba di Mandailing dari Makkah


1914


28

?

Pernikahan


1915


29

?

Banjir di Tanobato


1915


29

?

Hijrah ke Purba Baru


1915


29

?

Menjadi Ketua Syarikat Islam Cabang Tano Bato


1921


35

?

Menempati rumah baru


1927


41

?

Mendirikan satu unit gedung di samping rumahnya


1930


44

?

Berdirinya Persatuan Muslim Tapanuli (PMT)


1931


45

?

Bangunan permanen telah selesai dibangun dan mulai dipergunakan


1936


50

?

Menghadiri kongres pertama Al Jam'iyatul Washliyah


1940


54

?

Kongres pertama AII di Purba Baru


1945


59

?

Menjadi anggota Komite Nasional


1947


61

?

Kongres kaum Muslimin se-Tapanuli


1947


61

?

Nahdlatul Ulama di Tapanuli sebagai cabang dari Nahdlatul Ulama yang berpusat di Jawa


1950


64

?

Konferensi NU pertama pada 8-10 September 1950 di Padangsidimpuan


1952


66

?

menjadi utusan Ulama Sumatra Utara menghadiri konferensi Ulama-ulama se-Indonesia


1952


66

?

Konferensi besar murid dan lulusan Madrasah Musthafawiyah


1953


67

?

Menghadiri pertemuan ulama seluruh Indonesia yang dilaksanakan di Medan


1954


68

?

Menghadiri rapat syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) di Jakarta


1955


69

?

Mengeluarkan seruan yang diterbitkan di media massa dan disebarkan secara massa


1955


69

?

Menjadi calon anggota konstituante / DPR Pusat mewakili Provinsi Sumatra Utara


1955


69

?

Berpulang ke Rahmatullah


Tulisan ini disalin dari Ustaz Olphan Hutagalung