Belakangan ini lahir ditengah-tengah masyarakat fenomena pertentangan kelas antara Habib berjubah dan Habib ala Barat.
Kalau kita rancang bangun melalui teori kelas Marxisme, pertentangan kedua kelas ini hanya seperti pertentangan buruh dan pemilik modal. Masing-masing pihak mengambil sikap yang berbeda terhadap perubahan sosial saat ini.
Habib berjubah "proletariat" cenderung bersikap revolusioner, sesegera mungkin untuk melakukan perubahan, melawan dan menggulingkan status quo. Sedangkan habib ala Barat "borjuis" bersikap konservatif, sebisa mungkin mempertahankan status quo dalam mempertahankan kekuasaannya.
Pertentangan dua kelompok yang sama-sama mengaku "habib" ini selalu berhadap-hadapan dalam memperjuangkan ide-ide keberpihakannya. Sehingga sering terlihat di media sosial life style mereka dan wacana-wacana yang dikembangkan bersifat ambigu.
Kenapa ambigu, Pakaian "Jubah" misalnya, adalah pakaian yang sangat sakral di kultur masyarakat Islam Indonesia. Karena Jubah di Indonesia dipakai oleh orang-orang berkharismatik para alim ulama, yang tentu aqidahnya lurus dan ibadahnya sesuai manhaj kenabian dan ahlu sunnah waljamaah. Tetapi saat ini dijumpai Habib "proletariat" tampil memakai jubah dengan gaya hidup yg glamour justru diluar batas-batas kesakralannya.
Dengan memakai jubah seseorang harus menampilkan wajah Islami yang selalu mengedepankan akhlaqul karimah. Bersikap penuh dengan kelembutan, ramah, mengayomi, dan selalu tersenyum jauh dari kemarahan. Apalagi kata-kata yang tak layak diucapkan, memaki-maki, mengumpat, menghina dan menggertak-gertak atas nama Tuhan, itu tidak boleh dilakukan.
Karena itu pula di beberapa daerah di Indonesia, bila jemaah haji pulang dari tanah suci mereka harus memakai jubah sebagai simbol kemabruran haji dan sekaligus jubah dianggap simbol perubahan cara pandang, prilaku dan kesempurnaan beragama. Dikarenakan beratnya tanggungjawab berjubah ini maka tidak semua jemaah haji berani memakai jubah sekembalinya dari tanah suci.
Sedangkan habib "borjuis", statemennya selalu mengedepankan bahwa Islam harus ditampilkan dengan wajah ramah, penuh kasih sayang, menggembirakan dan toleran pada perbedaan dan sebagainya. Tetapi gaya yang ditampilkan tidak mencerminkan seperti apa yang diucapkan. Cacii maki, kemarahan dan menghina sesama anak bangsa, dan yang memalukan lagi justru menghina Bangsa Arab asal sukunya sendiri. Dengan mengaku bukan habib lagi lantaran sudah menjadi orang Melayu, Statement kontrversialnya mengatakan "Arab itu kalau tidak ada Kakbah tidak punya kehormatan" "Bangsa yang tidak punya budaya" "Bangsa yang tidak melahirkan intelektual". Sungguh betul-betul ambigu dan membingungkan.
Adalah Umar bin Abdul Rahman Al-Atthas (Alatas) Ba'lawi wafat tahun 1072 Hijriyah. Seorang tokoh dari Arab Yaman, orang yang pertama sekali diberi gelar habib. Pemberian gelar habib di Hadrmaut Yaman adalah sebagai bukti kecintaannya pada Islam melalui jalur keluarga Nabi. Dan hanya diberikan bagi orang-orang yang Aqidahnya lurus dan komitmen dalam beragama. Bagi Arab Yaman yang berasal dari Hadrmaut gelar Habib lebih tinggi dari gelar Syekh. Dimana pemberian gelar Syekh terhadap seseorang dalam tradisi Arab bukanlah untuk orang sembarangan. Karena seseorang yang bergelar Syekh tentu sudah mumpuni dalam beragama dan tinggi tingkat keilmuan dan wawasannya.
Menurut Tiar Anwar Bachtiar di Indonesia, utamanya keturunan dari Hadrmaut ini, terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Alawiyin dan non-Alawiyin. Keturunan Arab non-Alawiyin di Indonesia, khususnya yang menyebarkan agama Islam mendapat sebutan "Syaikh" / "Syekh" atau "Syaikhah" bagi yang perempuan. Namun umumnya hanya Alawiyin yang dikenal sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Husein bin Ali. Biasanya keturunan Alawiyin inilah yang disebut sebagai "habib". Habib itu sebenarnya sebutan. Kalau sebutan atau gelar resminya adalah "Sayyid" perempuannya adalah "Sayyidah".
Pertentangan kelas antara Alawiyin dan non-Alawiyin ini, atau siapa di antara mereka yang mendapat pengakuan menjadi keturunan Rasul penyebab perpecahan organisasi Jami'at Khair sebagai wadah perkumpulan Arab Indonesia. Maka Syekh Ahmad Surkati asal Arab Sudan memutuskan keluar dari Jami'at Khair akibat perbedaan pandangan mengenai "Kafaah" persamaan derajat. Dan Beliau memprakarsai wadah perkumpulan baru bagi Arab Indonesia yaitu Al-Irsyad Al-Islamiyah pada 1914.
Ajaran Islam yang turun di Arab melalui Rasul Muhammad SAW bukanlah untuk mengkultuskan dirinya dan keturunannya. Dalam hadis diceritakan beberapa dari sahabat ada yang suka memberi pujian dengan memberi gelar kepada Rasulullah semisal "Engkau adalah "Sayyid" Penghulu Quraish". Di hadis lain " ya Khairana" Wahai Kebajikan Kami dan sebagai pujian lainnya. Rasul dengan kerendahan hatinya menjawab: wahai para manusia perkuatlah ketakwaan kalian, jangan biarkan para setan memperdaya kalian, Saya Muhammad bin Abdullah, Seorang Hamba Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah Aku tidak suka kalian memganggkatku melampaui tempatku yang Allah telah menempatkanku.
Para ulama bersepakat bahwa memberi pujian kepada seseorang itu dibenarkan dalam agama selama dapat diyakini tidak menjadi fitnah bagi yang di puji dan juga tidak berlebih-lebihan dalam memuji.
Sebagaimana riwayat hadis diatas bahwa Rasul khawatir pujian-pujian itu merupakan bagian dari tipu daya setan bagi pemuji dan yang dipuji. Di banyak hadis Rasul sendiri pun sering memuji para sahabatnya seperti ketika Rasul memuji kecepatan jalan Umar, Ia mengatakan "sampai-sampai Setan tidak mampu mengikuti jalanmu yang begitu cepat".
Pujian menurut Imam Ghazali juga merupakan media setan untuk menghancurkan kebaikan seseorang setelah lebih dulu melarangnya dari berbuat kebaikan. Semisal setan akan terlebih dahulu mengajak seseorang untuk meninggalkan shalat. Akan tetapi bila seseorang itu akan tetap mengerjakan shalat. Maka langkah setan berikutnya adalah membisikkan kepada manusia untuk tetap mengerjakan shalat. Selanjutnya setan akan membisikkan agar shalatnya dikerjakan ke mesjid saja. Supaya terlihat manusia, hingga akhirnya akan mendapat pujian dari manusia atas kesalehannya. Dan para sahabat dan Salap apabila mendapat pujian mereka lantas berdoa:
"اللهم اغفر لي ما لا يعلمون، ولا تؤاخذني بما يقولون، واجعلني خيرًا مما يظنون"
"Ya Allah, ampunilah aku atas apa yang tidak mereka ketahui, dan jangan salahkan aku atas apa yang mereka katakan, dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka pikirkan".
"اللهم إنَّ هؤلاء لا يعرفوني، وأنت تعرفني".
“Ya Allah, orang-orang ini tidak mengenal saya, dan Engkau mengenal saya.”
Berlebih-lebihan dalam memuji dan menempatkan kedudukan seseorang di atas fitrahnya bisa menjerumuskan seseorang kepada riya, bangga diri, sombong dan berpotensi merendahkan derajat orang lain sebagaimana kekhawatiran Rasulullah. Kekhawatiran Rasul itu ditegaskan kembali oleh Rasul dalam sebuah hadis seperti anjuran berikut ini: "Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji 'Isa putra Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya maka katakanlah 'Abdullah Wa Rasuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya). HR.An Nasa'i.
Islam datang di Arab membawa pesan persaudaraan, persamaan derajat dan keadilan. Membebaskan jiwa dari kemusyrikan, membebaskan diri dari perbudakan, dan melepaskan pikiran dari kenistaan, kehinaan dan ketakutan. Membentuk mindset insani bahwa keagungan dan kemuliaan manusia hanya pada siapa yang paling bertaqwa.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَا رَفُوْا ۗ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَ تْقٰٮكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti."
(QS. Al-Hujurat 49: Ayat 13)
Pemberian gelar habib, sayyid, syekh, dan kiyai merupakan sebutan kepada orang-orang yang dianggap ketaqwaannnya melampaui batas manusia pada umumnya. Mereka memiliki wawasan beragama yang sangat luas dan menguasai ilmu-ilmu ke-Islaman yang dapat mencerahkan. Mereka membumi bersama masyarakat tanpa sekat-sekat status sosial. Penghormatan masyarakat atas kebaikan-kebaikan yang telah mereka berikan termanifestasikan dengan pemberian gelar-gelar kemulian itu.
Para "habaib" apa pun itu kelasnya seharusnya berdakwah dengan kelembutan, kebersahajaan, dan membumi tanpa melukai hati adalah prinsip dakwah bil hikmah yang dianjurkan Allah kepada setiap Muslim. Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِا لْحِكْمَةِ وَا لْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَا دِلْهُمْ بِا لَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ ۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِا لْمُهْتَدِيْنَ
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk."
(QS. An-Nahl 16: Ayat 125)
Dakwah yang menyentuh hati, apalagi dibalur dengan perilaku herois dalam keberpihakannya kepada kaum yatim dan fakir miskin tentu akan mendapat tempat dihati masyarakat. Pembangunan ekonomi masyarakat perlu juga menjadi perhatian prioritas dakwah para habaib. Mengingat kekayaan materi juga bagian penting dalam dakwah. Bukan malah menngkapitalisasi dakwah untuk menumpuk harta kekayaan. Hujarat Arab (nenek moyang Arab Indonesia) adalah para pedagang kaya raya yang datang ke Indonesia bersama misi dakwah yang melekat pada diri mereka. Simpati masyarakat mengalir ketika bersinggungan dengan Akhlaq mulia mereka. Teraktualisasi dari kesungguhan mereka dalam mengorbankan harta dan diri mereka untuk kemaslahatan manusia dan kemenangan agama.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَ هَا جَرُوْا وَجَاهَدُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ بِاَ مْوَا لِهِمْ وَاَ نْفُسِهِمْ ۙ اَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللّٰهِ ۗ وَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الْفَآئِزُوْنَ
"Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan."
(QS. At-Taubah 9: Ayat 20)
Bagaimana bisa seseorang dapat berterima dakwahnya bila para pendengarnya sedang dalam masalah ekonomi. Ranah dakwah ekonomi harus menjadi prioritas para habib. Agar masyarakat terlepas dari jaring laba-laba hutang dan riba. Membentuk lembaga-lembaga keuangan, membangun properti murah dan layak, menguasai pasar dan menciptakan lapangan pekerjaan. Para habib seharusnya Ikut serta dalam pembangunan ekonomi nasional. Terlibat langsung dalam pengambil keputusan pembangunan nasional. Mengawal bangsa ini dari dalam kekuasaan demi menjaga kemaslahatan dan rasa berkeadilan. Karena tidak semua harus pergi berperang. Apalagi ribu-ribut bertengkar dalam pertempuran.
Dakwah harus lebih serius mengarah kepada penguasaan ekonomi. Jauh sebelum kedatangan VOC Belanda, nenek moyang habaib Arab Indonesia sudah menguasai jalur perdagangan di Indonesia. Mereka menguasai dan menjadi syahbandar di pelabuhan-pelabuhan pesisir pantai Indonesia. Eksistensi itu harus tetap dipertahankan agar mampu memberi pengaruh kepada kepentingan sosial dan politik. Sebagai sohibul mal atau konglomerat pada saat itu memudahkan bagi para habaib mempengaruhi masyarakat untuk masuk Islam. Tanpa harus berteriak-teriak menjelaskan Islam dengan lisannya, hanya dengan sikap dan prilaku akhlaqul karimah yang terpuji, telah mampu merubah bumi nusantara menjadi bumi Islami. Kembali menguasai pasar menjadi domain terpenting bagi bangsa Arab sejak dulu, sesuai penjelasan Al-Qurân:
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
لِاِ يْلٰفِ قُرَيْشٍ
"Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,"
اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَآءِ وَا لصَّيْفِ
"(yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas."
(QS. Quraisy 106: Ayat 1-2)
Bepergian dimaksud dalam ayat adalah berniaga dan berdagang. Mekkah secara geografis adalah jalur strategis perdagangan ketika itu. Pertukaran komoditas antara Timur dan Barat harus melalui jalur Mekkah. Bila musim dingin tiba arus perdagangan ke arah timur yaitu yaman terus ke Asia bawah. Dan bila saat musim panas maka para pengusaha Mekkah membawa komoditas pula ke arah Barat menuju Syam, Palestina terus naik ke Eropa.
Menguasai pasar dengan prilaku mulia, seperti suka menyapa adalah hal sederhana dalam dakwah ketika berinteraksi sosial kemasyarakatan. Rasul menganjurkan untuk "ifsyus salam" menyebarkan salam dengan ucapan Assalamu alaikum warahmatullahi wa barakatuh. Menunjukkan betapa Islam sangat mencintai perdamaian (Assalaam), saling memberi dan menyayangi (Rahmat) dan saling mendapat kebahagian dsn kesuksesan (barakat). Anjuran berikutnya adalah sensitivitas sosial harus terbangun dalam diri manusia "it'amut tha'am" yaitu memberi makan orang yg membutuhkan. Dan "imathatul aza anitthariq" membuang penghalang/rintangan di jalanan yang dapat membahayakan orang lain. Bukankah prilaku-prilaku yang di anjurkan Rasul di atas bagian dari prilaku pengusaha sukses saat ini.
Kesemua prilaku itu harus dengan kesadaran bahwa kita sebagai Makhluk Allah yang diberi tugas sebagai penyampai risalah kenabian dengan cara menjelaskan, mengajak, dan menyampaikan kabar berita tentang nilai-nilai kebaikan dan kebajikan. Bukan sebaliknya bahwa kita memposisikan diri seperti Tuhan, yakni Allah yang memberi ketetapan dan ketentuan akan keadaan makhluk dan seisi alam semesta. Dimana seseorang itu dalam kesesatan atau petunjuk Islam.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَمَاۤ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا بِلِسَا نِ قَوْمِهٖ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۗ فَيُضِلُّ اللّٰهُ مَنْ يَّشَآءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَآءُ ۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana."
(QS. Ibrahim 14: Ayat 4)





