| Syeikh Musthafa Husein Nasution, anak dan cucunya sebagai generasi Musthafawiyah |
Syekh Haji Musthafa Husein Nasution bin Husein Nasution bin Umar Nasution al-Mandaili (lahir di Tano Bato, Mandailing Natal, Sumatra Utara, 1886 – meninggal di Padang Sidempuan, Sumatra Utara, 16 November 1955 pada umur 69 tahun) adalah seorang Ulama terkemuka di Sumatra Utara yang meninggalkan karya bangunan keislaman monumental Madrasah di Purba Baru Mandailing Tapanuli Selatan [3], yaitu Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru.
Saat ini nama Syekh Musthafa Husein diabadikan pada salah satu gedung utama di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan yang berembiro dari Universitas Nahdlatul Ulama Sumatera Utara. Ponpes Musthafawiyah sebagai asal sejarah tumbuhnya Nahdlatul Ulama di Sumatra Utara yang dibawa oleh Syekh Musthafa Husein pada 1945 dan diresmikan pada Februari 1947 di Padangsidimpuan. Tahun 1936 pemerintah Belanda memberikan bintang jasa padanya atas usahanya dalam bidang pendidikan.
Pada masa Agresi Belanda sesudah Indonesia merdeka ia bersama ulama seperti Syekh Ja’far Abdul Kadir al-Mandily dan H. Fakhruddin Arif pernah mengeluarkan fatwa wajib (fardu’ain) bagi setiap Muslim yang mukalaf mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda.
Syekh Musthafa Husein tidak hanya seorang Ulama besar, tetapi dia juga adalah seorang wiraswasta dan sekaligus sebagai politikus dan cendikiawan yang ikut menghantarkan kemerdekaan bangsa ini dari kolonialisme Belanda dan Jepang. Dia juga adalah seorang Tokoh Pergerakan, seorang Ulama Mujahid, penggerak dan pelopor bagi persatuan dan kebangunan umat, sehingga Madrasah Musthafawiyah dapat dianggap sebagai pesantren pelopor dan perintis bagi perkembangan ilmu pengetahuan agama pada awal abad ke-20, khususnya di Tapanuli bagian Selatan, umumnya Sumatra Utara.
Madrasah yang pertama didirikan di Mandailing adalah Madrasah Islamiyah yang dibangun oleh Syekh Musthafa Husein di Tano Bato, Kayu Laut sekitar tahun 1912, kemudian beliau pindah ke desa Purba Baru pada tahun 1915, di tempat inilah dilanjutkan pendidikan Islam yang kemudian bernama Madrasah / Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru, Mandailing. Setelah berdiri lembaga pendidikan Islam di Purba Baru, kemudian berdiri pula beberapa Madrasah Islamiyah di daerah lain antara tahun 1927 sampai 1935.
Lembaga pendidikan Islam ini cukup besar peranannya dalam penyebaran dan pengembangan Islam di Mandailing. Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru, telah memiliki alumni terbesar di seluruh pelosok Nusantara, banyak alumni Musthafawiyah yang melanjutkan kuliah ke berbagai perguruan tinggi di dalam maupun luar negeri dan telah berhasil di berbagai bidang.
Di Musthafawiyah, Syekh Musthafa Husain dipanggil dengan sebutan Tuan Guru na Tobang, dan seorang menantunya yang bernama Syekh Abdul Halim Khatib sebagai Rais al-Mu‘allimin dipanggil dengan sebutan Tuan Guru na Poso. Dalam bahasa Mandailing, poso artinya muda. Karena itu, Tuan Guru na Poso berarti tuan guru yang muda. Pada satu sisi, memang usia Syekh Abdul Halim Khatib jauh lebih muda dibanding Syekh Musthafa Husain. Namun, sebutan na poso tersebut lebih dimaksudkan agar masyarakat dapat membedakan antara kedua kiai tersebut.
Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru adalah pondok klasik yang mempelajari kitab-kitab kuning, di antara kitab-kitab yang dipelajari di pesantren ini adalah Hasyiyah Al-Bajuri, Tafsir al-Jalalain, Hasyiyah Syarqawy ‘ala At-Tahrir, Bulughul Maram, Syarh Ibn A'qil, Kawakib Ad-Duriyyah, Matn Arba‘in Al-Nawawiyah, Hasyiyah Dusuki ‘ala Ummi al-Barahin dan lain-lain. K.H. Sirajuddin Abbas telah memasukkan nama Syeikh Musthafa Husein di dalam bukunya “Keagungan Mazhab Syafii” sebagai penyebar Mazhab Syafiiyyah di Indonesia.
Pada awalnya, lembaga pendidikan Islam yang dibangun Syekh Musthafa Husain disebut sekolah Arab atau maktab, Kemudian, pada tahun 1950-an, atas usul Syekh Ja’far Abdul Wahab, sebutan maktab diganti dengan Madrasah Musthafawiyah, akhirnya, pada tahun 1990-an, sebutan madrasah diganti dengan Ma‘had atau Pondok Pesantren Musthafawiyah Purbabaru.
Syarikat Islam (SI)
Pada tahun 1915, Syekh Musthafa Husein berkiprah dalam bidang pergerakan politik, dan sebagai Ketua Syarikat Islam Cabang Tano Bato. Namun pada saat itu baru beberapa tahun berjalan, telah terjadi perpecahan di kalangan masyarakat, terutama berkaitan dengan masalah khilafiyah. Selanjutnya dia berusaha ke arah Persatuan Islam, khususnya di Tapanuli.
Persatuan Muslim Tapanuli (PMT)
Pada tahun 1930, atas anjuran Syekh Musthafa Husein berdirilah Persatuan Muslim Tapanuli (PMT) yang berdomisili di Padangsidimpuan, di mana beliau menjabat sebagai Ketua Majelis Syar’iy . Selanjutnya pada tahun 1933, Syekh Musthafa Husein terpilih menjadi penasehat PMT.
Organisasi ini didirikan dengan berupa penolakan terhadap pemakaian madzhab dalam Thawalib pada tahun 1930 [56]. Syekh Musthafa Husein Purbabaru adalah pendirinya dan setelah kemerdekaan, organisasi ini bergabung dengan Nahdlatul Ulama yang menebar di Sumatra Utara.
Amanah untuk Tuan Na Poso
Sekitar tahun 1935, setelah tenaga pengajar atau tuan guru di Madrasah Musthafawiyah dirasakan telah mencukupi dan mampu memenuhi kebutuhan, Syekh Musthafa Husein memberikan semacam kepercayaan kepada Syekh Abdul Halim Khatib mengajar di kelas 7 (tujuh) Madrasah Musthafawiyah dan juga kewenangan dalam pengembangan keilmuan Islam, termasuk mangatur dan menetapkan tenaga-tenaga pengajar disetiap kelas.
Bertani, wiraswasta, organisasi sosial dan Islam
Sekitar tahun 1935 sampai dengan kemerdekaan Republik Indonesia, Syekh Musthafa Husein merasakan bahwa sistem pendidikan di Madrasah Musthafawiyah telah dapat berlangsung dengan baik, beliau mulai mengembangkan usaha dagangnya yang dimulai dari hasil perkebunan karet kepunyaannya sendiri, perkebunan yang cukup luas dan dirintisnya bersama dengan para murid-murid dengan tujuan untuk mendapatkan modal dan pengembangan biaya Madrasah Musthafawiyah.
Perkebunan karet itu ada yang berlokasi di Purba Lama dan Jembatan Merah, dan adapula perkebunan buah rambutan yang cukup luas di sekitar daerah Aek Godang. Syekh Musthafa Husein termasuk salah seorang yang pertama sekali melaksanakan praktek perkebunan secara modern di daerah Mandailing. Selain itu untuk menyatukan ummat Islam dan merealisasikan perjuangannya, Syekh Musthafa Husein mulai aktif dalam gerakan dan membangun organisasi sosial serta keagamaan Islam.
Al Jam'iyatul Washliyah
Pada tahun 1936, Syekh Musthafa Husein menghadiri kongres pertama Al Jam'iyatul Washliyah dan diangkat menjadi Penasehat Pengurus Besar Jam'iyatul Washliyah.
Al-Ittihadidul al-Islamiyyah (AII)
Pada tahun 1939, atas inisiatif dan anjuran Syekh Musthafa Husein dibentuk suatu organisasi Islam dan bersifat sosial dengan nama "Al-Ittihadidul al-Islamiyyah (AII)", yang merupakan perkumpulan bagi alumnus-alumnus pesantren Mushtafawiyah Purbabaru, dengan bertujuan untuk menyatukan pelajaran-pelajaran di semua sekolah agama dengan arti yang seluas-luasnya dan berpusat di Purba Baru Mandailing. Anggotanya terdiri dari murid-murid dan alumni Madrasah Musthafawiyah. Organisasi ini sangat cepat berkembang di daerah Mandailing, Angkola, Sipirok, Padang Lawas, dan seluruh wilayah Tapanuli Selatan.
Pada tahun 1940, diadakan kongres pertama di Purba Baru yang di hadiri 62 Cabang, dan diambil keputusan Pengurus Besar dipindahdakan dari Purba baru ke Padangsidimpuan. Organisasi "Al-Ittihadidul al-Islamiyyah (AII)" inilah yang menjadi dasar berdirinya Nahdlatul Ulama Sumatra Utara di Padangsidimpuan pada tahun 1947. Dalam perkembangannya ketika NU didirikan oleh tokoh-tokoh Musthafawiyah, al-Ittihadiyah digabungkan ke dalam NU.
Zaman Jepang
Dalam rencana revolusi pada zaman Jepang, Syekh Musthafa Husein diangkat menjadi anggota Tapanuli Syu Syangi Ko Kai dan Kookai.
Majelis Islam Tinggi (MIT)
Pada tahun 1944, didirikan organisasi islam di Padangsidimpuan dengan nama Majelis Islam Tinggi (MIT) dan Syekh Musthafa Husein diangkat menjadi ketua umum [60]. Setelah Majelis Islam Tinggi dilebur menjadi Masyarakat Umat Muslim Indonesia (Masyumi), Musthafa diangkat sebagai Penasehat Majelis Syuro Sumatra.
Komite Nasional
Pada tahun 1945, Indonesia Merdeka, Syekh Musthafa Husein diangkat menjadi anggota Komite Nasional yang berpusat di Kotanopan Mandailing, dan aktif mengikuti pertemuan-pertemuan komite nasional di tingkat Kaesidenan Tapanuli.
Tabligh Akbar Kemerdekaan
Ketika Indonesia merdeka pada 1945, alumnus-alumnus Musthafawiyah atas prakarsa Ali Nuddin Lubis berencana mengadakan tabligh akbar di Panyabungan pada tahun 1946 sebagai bentuk rasa sukur atas tercapainya kemerdekaan. Dengan legitimasi dari Syekh Mushtafa Husein dan beberapa ulama lainnya di Tapanuli, tabligh ini berhasil dilaksanakan pada 1946 di salah satu Madrasah Islamiyah Panyabungan.
Tabligh dihadiri oleh alumnus-alumnus pesantren Mustafawiyah dan ulama-ulama terkemuka di Tapanuli.Syekh Mushtafa Husein adalah seorang ulama unggul dan terkemuka pada saat itu, karena itu legitimasi dan dukungannya dapat diyakini menjadi daya tarik tersendiri bagi ulama lain dan menjadi faktor penentu suksesnya tabligh tersebut.
Dalam tabligh ini didapatkan satu kesepakatan baru para Ulama yang hadir di dalamnya untuk mengadakan Kongres Kaum Muslimin se-Tapanuli (Mandailing, Padang Lawas, Angkola, Sipirok Natal, Sibolga) yang akan diadakan tahun berikutnya di Padangsidimpuan.
Kongres kaum Muslimin se-Tapanuli
Kongres ini berlangsung pada 7-9 Februari 1947 di Madrasah Islamiyah Kampung Bukit Padangsidimpuan. Kongres ini dihadiri oleh ulama dan tokoh pemuda dari Mandailing, Padang Lawas, Angkola Siprok, Natal dan Sibolga.
Dalam kongres tersebut didapatkan kesepakatan di antara ulama dan tokoh pemuda yang berfaham Aswaja untuk mendirikan Nahdlatul Ulama di Tapanuli sebagai cabang dari Nahdlatul Ulama yang berpusat di Jawa.
Nahdlatul Ulama (NU)
Sejak saat itu NU pun berkembang di Sumatra Utara khususnya di Tapanuli Selatan. Perkembangan NU ini membawa dampak positif bagi misi mempertahankan ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah di Tapanuli Selatan. Syekh Musthafa Husein adalah simbol bagi Nahdlatul Ulama (NU) di Sumatra Utara.
Pesantren Musthafawiyah pun menancapkan namanya di bumi nusantara sebagai pusat perkembangan Nahdlatul Ulama di Sumatra Utara.
Untuk keanggotaanya sementara, al-Ittihadiyah Islamiyah Indonesia dileburkan kedalam NU sehingga seluruh anggota organisasi tersebut resmi menjadi anggota NU Tapanuli, selain al-Ittihadiyah Islamiyah Indonesia, terdapat empat cabang dari al-Washliyah di Tapanuli yang meminta untuk masuk ke dalam NU.
Kongres juga berhasil menetapkan tiga tokoh utama yang bertugas untuk menyusun kepengurusan NU selanjutnya. Mereka adalah H. Bahruddin Thalib Lubis, H. Dja’far Abdul Wahab dan Muhammad Amin Awwal. Ketiga tokoh tersebut berhasil menyusun kepengurusan, dan Syekh Musthafa Husein dipilih sebagai penasehat.
Konferensi Nahdlatul Ulama
Pada Tahun 1950, tiga tahun setelah berdiri di Tapanuli, NU mengadakan konferensi pertama pada 8-10 September 1950 di Padangsidimpuan diikuti oleh seluruh pengurus cabang NU Tapanuli dan perwakilan dari pengurus NU pusat dari Surabaya, adalah Kiai haji Masykur dan K.H. Saifuddin Zuhri. Dalam konferensi ini Syekh Musthafa Husein diangkat menjadi Ketua Majelis Syuriah NU Tapanuli.
Pada tahun 1952, Syekh Musthafa Husein terpilih menjadi utusan Ulama Sumatra Utara menghadiri konferensi Ulama-ulama se-Indonesia yang disponsori Kementerian (Departemen) Agama bertempat di Bandung. Konferensi ini adalah untuk menetapkan awal bulan Ramadhan dan hari raya idul fithri. Setelah Syekh Musthafa Husein kembali dari jawa (Jakarta) setelah mengamati situasi dan perkembangan agama selama melakukan perjalanan di Pulau Jawa, beliau melaksanakan konferensi seluruh muridnya di berbagai daerah.
Konstituante & Pemilihan Umum 1955
Pada 1953, Syekh Muthafa Husein menghadiri pertemuan ulama seluruh Indonesia yang dilaksanakan di Medan, yang mana pertemuan ini membahas tentang hukum memilih anggota konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada pemilihan umum tahun 1955 di kalangan ummat Islam.
Pada tahun 1954, Syekh Musthafa Husein menghadiri rapat syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) di Jakarta, yang mana pertemuan ini membahas tentang hukum Islam yang akan dijadikan pedoman bagi ummat Islam, khususnya warga NU pada Pemilihan Umum tahun 1955.
Pada 8 Juli 1955, Syeikh Musthafa Husein mengeluarkan seruan yang diterbitkan di media massa dan disebarkan secara massal di kalangan NU pada 22 September 1955 agar memilih tanda NU dalam Pemilu. Salah satu calon NU untuk konstituante adalah Syeikh H. Abdul Djabbar.
Pada tahun 1955, Syekh Musthafa Husein menjadi calon anggota konstituante / DPR Pusat mewakili Provinsi Sumatra Utara pada Pemilihan Umum 1955 dari Nahdlatul Ulama, namun, belum sempat dilantik, Syekh Musthafa Husein sudah terlebih dahulu berpulang kerahmatullah, dan kedudukannya digantikan oleh H. Muda Siregar.
Wafat
Pada malam rabu 5 November 1955, Syekh Musthafa Husein terkena serangan penyakit, saat itu usianya mencapai 70 tahun, hingga kemudian dibawa ke Padangsidimpuan untuk dirujuk ke rumah sakit]. Di Padangsidimpuan, sebelum dibawa ke rumah sakit, beliau dibawa ke rumah menantunya, yakni Syekh Ja’far Abdul Wahhab yang dikenal sebagai "Ayah Mesir", dalam pengawasan dokter, darah tinggi dan diabetes adalah yang menjadi penyakitnya selama sekitar 1 (satu) minggu.
Ulama bersahaja tersebut menghembuskan napas yang terakhir pada hari Rabu 16 November 1955 / 1 Rabiulawal 1375 H, Pukul 16:15 WIB, di Padangsidimpuan [15]. Jenazahnya dibawa kembali ke Purba Baru pada hari kamis esoknya, dengan iringan yang cukup ramai disertai sambutan penuh haru dan rasa pilu yang mendalam. Desa Purba Baru penuh sesak oleh ribuan orang pelayat yang datang dari berbagai daerah sebagai tanda turut berduka dan untuk memberikan penghormatan terakhir [71]. Sepeninggal Syekh Musthafa, Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru dikelola dan dipimpin oleh putra tertuanya, Haji Abdullah Musthafa Nasution.
Tulisan ini disalin dari Ustaz Olphan Hutagalung
0 comments:
Post a Comment