30 September 2014

PERKEMBANGAN METODE PENETAPAN AWAL BULAN KAMARIAH

I. Pendahuluan.

Bagi masyaarakat Islam Indonesia mungkin perbedaan pendapat tentang cara penentuan bulan kamariah yang terkait dengan pelaksanaan ibadah seperti Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah belakangan ini sering membuat bingung dan kekhawtiran. Hal ini disebabkan selalu saja ada perbedaan antara pemerintah dengan kelompok masyarakatnya. Ironisnya penetapan bulan kamariah itu kadang berbeda dengan negara lain utamanya Saudi Arabia dan itu kentara pada saat ketentuan Wukuf di Arafah dimana Umat Islam yang tidak berangkat haji disunnahkan berpuasa dan pada esoknya otomatis sebagai hari Idul Adha. Apalagi penetapan Tim Hisab Rukyat bahwa bulan hanya mungkin dilihat (imkanur rukyat) jika sudah mencapai 2 (dua) derajat di atas ufuk, merupakan konsensus yang mungkin kurang berterima di masyarakat yang berpedomankan hisab. Hal ini disebabkan rukyat yang dimaksud hisab adalah Rukyat bil ilmi atau melihat dengan ilmu pengetahuan.  Menurut mereka jika bulan sudah mencapai 0,+ (nol koma plus) di atas ufuk itu juga merupakan bulan hanya saja kadang tidak bisa dilihat langsung oleh mata kepala kecuali hanya dapat diketahui dengan memakai cara-cara astronomi. Perbedaan itu sudah timbul sejak lama dalam peradaban Islam. Dalam kaitan ini ada dua pendapat yang berbeda: 

1. pendapat yang menyatakan bahwa penentuan awal bulan kamariah untuk pelaksanaan ibadah adalah dengan cara rukyat, yaitu melihat bulan secara fisik dengan mata; tidak boleh menentukan awal bulan kamariah dengan menggunakan hisab astronomi. Pendapat ini merupakan pandangan mayoritas sejak zaman lampau hingga sekarang.

2. pendapat yang menyatakan bahwa boleh menentukan bulan kamriah, termasuk bulan-bulan ibadah yang meliputi Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah, dengan menggunakan hisab astronomi bahkan penggunaan hisab dipandang lebih utama karena lebih memberikan kepastian dibandingkan dengan rukyat yang selain sukar, sering pula tidak akurat. 
Pendukung pendapat ini merupakan minoritas kecil di zaman lampau, namun pengikutnya kian bertambah sejalan dengan kian bertambah majunya pengetahuan hisab astronomi. Pada zaman modern, pandangan ini disuarakan oleh ulama-ulama besar seperti Muhammad Rasyid Rida, Mustafa Ahamad az-Zarqa', Ahmad Syakir (ahli hadis abad ke 20), dan Yusuf al-Qardawi.


II. Argumen Pendapat yang Menggunakan Rukyat:

1. perintah berpuasa jika melihat bulan/hilal

اذا رايتموه فصوموا، واذا رايتموه فافطروا، فان غم عليكم فاقدرواله.  (رواه البخاري و مسلم)


Artinya : Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika Bulan terhalang oleh awam terhadapmu, estimasikanlah (HR al-Bukhari dan Muslim)

Hadis ini memerintahkan agar memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan dengan rukyat, dan bilamana cuaca berawan sehingga tidak dapat melihat hilal, maka hendakalah dibuat estimasi (perkiraaan/perhitungan).

2. larangan berpuasa jika belum melihat bulan/hilal

لا تصوموا حتي تروا الهلال، ولا تفطروا حتي تروه،  فان غم عليكم فاقدرواله .  (رواه البخاري و مسلم)

Artinya : Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan janganlah kamu beridulfitri sebelum melihat hilal; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah (HR al-Bukhari dan Muslim)

Hadis ini melarang memulai dan mengakhiri puasa sebelum melihat hilal. Perintah melakukan"estimasi" dalam kedua hadis di atas manakala hilal tidak dapat dirukyat karena langit berawan ditafsirkan dengan menggenapkan bilangan bulan sedang berjalan menjadi tiga puluh hari sejalan dengan hadis berikut, 

    صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته فان غبي عليكم فاكملوا عدة شعبان ثلاثين.  (رواه البخاري و مسلم)

Artinya : berpuasalah kamu karena melihat hilal dan beridulfitrilah karena melihat hilal pula; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan syakban tiga puluh hari (HR al-Bukhari dan Muslim)

3. Hadis, umat yang masih ummi


انا امة امية، لانكتب و لانحسب، الشهر هكذا و هكذا يعني مرة تسعة و عشرين ومرة ثلاثين
  (رواه البخاري و مسلم)

Artinya : Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bias menulis dan tidak bisa melakukan hisab.bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari. (HR al-Bukhari dan Muslim)

Pemahamannya; bahwa hadis ini menjadi 'illat larangan penggunaan hisab, karena umat tidak mengenal hisab. Penetapan bulan kamariah itu harus berdasarkan sarana yang mudah bagi umat, yaitu rukyat yang tidak memerlukan pengetahuan canggih dan dapat dilakukan oleh semua orang. Ibn Hajar menambahkan penggunaan rukyat terus berlangsung sekalipun pada zaman kemudian telah terdapat banyak orang yang menguasai ilmu hisab.
Cara pemahaman ini tampaknya agak kurang mengena, karena apabila 'illatnya larangan pengunaan hisab adalah keadaan umat yang ummi, maka setelah keadaan ummi itu hilang dimana telah tercapai kemajuan ilmu astronomi seperti sekarang tentu 'illat ini tidak berlaku lagi.

Yusuf Al-qardawai berpendapat bahwa seandainya apabila hadis ini melarang hisab tentu juga ia melarang baca tulis karena hadis itu menyebutkan kedua hal tersebut bergandengan. Jelas ini tidak logis dan tidak seorangpun mengatakan bahwa Nabi saw melarang baca tulis. 

4. Argumen Pemikiran, yaitu bahwa hisab merupakan spekulasi dan tidak memberikan kepastian.
Catatan : bahwa dalam hadis-hadis Nabi saw ini perintah rukyat hanya terkait dengan ramadhan dan syawal, sedang rukyat untuk bulan zulhijjah tidak disebutkan dalam hadis.


III. Argumen Pendapat yang Membolehkan Penggunaan hisab. 

1. Firman Allah dalam surat ar-Rahman ayat 5 dan surat Yunus ayat 5, 

الشمس والقمر بحسبان

Artinya; Matahari dan Bulan beredar menurut perhitungan. (Q. 55:5)

هو الذي جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عدد السنين والحساب
 ماخلق الله ذلك الا بالحق يفصل الايات لقوم يعلمون

Artinya; Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya bagi Bulan itu Manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (Q. 10:5)

Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Bulan dan Matahari beredar dalam orbitnya dengan hukum-hukum yang pasti sesuai dengan ketentuan sang Pencipta karena itu peredaran benda-benda langit tersebut dapat dihitung (dihisab) secara tepat. Penegasan bahwa peredaran matahari dan Bulan dapat dihitung bukan sekedar informasi belaka, melainkan merupakan pernyataan imperatif yang memerintahkan untuk memperhatikan dan mempelajari gerak dan peredaran benda-benda langit agar dimanfaatkan untuk penentuan bilangan tahun dan perhitungan waktu secara umum dan untuk meresapi keagungan Sang Pencipta.

2. Firman Allah dalam Surat Yasin ayat 39-40,

والقمر قدرناه منازل حتي عاد كالعرجون القديم، لاالشمس ينبغي لها ان تدرك القمر ولااليل سابق النهار
 وكل في فلك يسبحون،

Artinya; Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Q.36: 39-40)



Ayat 39 surat Yasin ini bila dihubungkan kepada ayat 5 surat Yunus menjelaskan bahwa Allah telah menetapkan manzilah-manzilah bagi perjalanan Bulan mengelilingi bumi. Ketetapan Allah itu bersifat pasti sehingga, bila dihubungkan kepada ayat 5 surat ar-Rahman, perjalanan bulan dan posisi-posisinya dapat dihitung. Ini adalah isyarat kepada penggunaan hisab.

Selain itu kedua ayat surat yasin ini memberikan pula kriteria hisab untuk menentukan awal bulan baru. Dalam ayat 39 dijelaskan bahwa Bulan dalam perjalanan kelilingnya mengelilingi  bumi menempati posisi-posisi hingga posisi terakhir di mana terjadi kelahiran Bulan baru. Secara astronomis kelahiran Bulan baru itu adalah saat ijtikmak (konjungsi), yaitu saat Bulan berada pada titik terdekat kepada garis lurus antara pusat bumi dan matahari jadi ayat ini memberi isyarat bahwa terjadinya konjungsi (ijtimak adalah salah satu Kriteria untuk menentukan bulan baru. Hanya saja kriteria ini belum memadai kerena ijtimak itu bisa terjadi kapan saja; pagi, siang, tengah malam, dini hari dan seterusnya, sementara bulan itu harus utuh bilangannya, tidak bisa 29⅜ hari misalnya.

Oleh karena itu diperlukan kriteria lain lagi sebagai tambahan,  yaitu saat pergantian hari seperti yang diisyaratkan oleh ayat 40 itu. Saat pergantian hari itu adalah saat matahari terbenam (magrib). Kemudian ayat 40 itu juga mengisyaratkan satu kriteria lagi, yaitu pada waktu terbenamnya matahari bulan harus sudah mengejar matahari, dengan kata lain Bulan berada di atas ufuk. jadi dapat disimpulkan kriteria awal bulan baru ada tiga, yaitu :

1) telah terjadi ijtimak,

2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam (sebelum magrib), dan

3) pada saat terbenamnya matahari Bulan berada di atas ufuk.

Apabila ketiga kriteria ini terpenuhi, maka malam itu dan keesokan harinya merupakan bulan baru, dan apabila salah satu dari kriteria ini tidak terpenuhi, maka malam itu dan keesokan harinya merupakan hari terakhir (hari ketiga puluh) bulan sedang berjalan, dan bulan baru dimulai lusa.

3. Hadis tentang umat yang ummi:

انا امة امية، لانكتب و لانحسب، الشهر هكذا و هكذا يعني مرة تسعة و عشرين ومرة ثلاثين
  (رواه البخاري و مسلم)

Artinya : Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bias menulis dan tidak bisa melakukan hisab.bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari. (HR al-Bukhari dan Muslim)

Berbeda dengan pendapat pertama, pendapat kedua justeru melihat bahwa hadis ini merupkan penegasan 'illat (alasan hukum) mengapa Nabi saw memerintahkan melakukan rukyat untuk memulai dan mengakhiri puasa Ramadan. 'illat perintah itu adalah mengingat keadaan umat yang masih ummi, yaitu belum mengenal secara luas baca tulis dan ilmu hisab. Oleh karena itu sarana untuk menandai masuknya bulan kamariah ditetapkan hal yang mudah dan dapat dilakukan saat itu, ialah rukyat. Ini artinya bahwa setelah ummat terbebas dari keadaan ummi dimana mereka telah mengenal baca tulis dan menguasai ilmu hisab, maka tidak lagi digunakan rukyat melainkan digunakan hisab. Hal itu karena hisab merupakan sarana yang lebih memberikan kepastian. Ini sesuai dengan kaidah fiqh yang menyatakan, 

الحكم يدور مع علته و سببه وجودا وعدما

"Hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya 'illat." 

Atas dasar itu, beberapa ulama kontemporer menegaskan bahwa pada pokoknya penetapan awal bulan itu adalah dengan mengggunakan hisab, 

الاصل في اثبات الشهر ان يكون بالحساب 

Artinya; pada asasnya penetapan bulan kamariah itu adalah dengan hisab.

4.Sabda Nabi saw, yang sudah dikuti diatas, yaitu;

           ........ فان غم عليكم فاقدرواله .  (رواه البخاري و مسلم)

...............jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Berbeda dengan pendapat pertama, pendapat kedua yang membolehkan penggunaan hisab, melihat bahwa pernyataan "estimasikanlah" dalam hadis ini diartikan perhitungankan dengan hisab astronomi. Artinya jika bulan terlindung oleh keadaan mendung sehingga tidak dapat dirukyat, maka buatlah perhitungan secara astronomi. Jika menurut perhitungan, posisinya sudah tinggi dan memungkinkan terlihat seandainya tidak ada penghalang,  maka akhirilah bulan berjalan dan mulailah bulan baru. Jadi dalam hadis ini ada isyarat penggunaan hisab.

5. Argumen pemikiran bahwa rukyat bukanlah merupakan bagian dari ibadah, melainkan hanyalah sarana untuk menentukan bulan kamariah. Oleh karena itu apabila ditemukan sarana lebih baik dan lebih memberikan kepastian, dalam hal ini hisab, maka digunakanlah sarana tersebut. 

Berlandaskan teori induksi tematis, bahwa tema umum yang dapat disimpulkan dari keselurahan hadis-hadis di atas bukan memerintahkan rukyat untuk memulai dan mengakhiri puasa Ramadan. Hal itu karena rukyat tidak selalu dapat dilakukan lantaran ada kalanya Bulan tertutup awan sehingga tidak dapat dirukyat. Sehingga Rasul menyebutkan cara lain juga, yaitu melakukan perhitungan (estimasi) atau menggenapkan bulan berjalan menjadi tiga puluh hari. Bahkan dalam praktinya Nabi saw juga mendasarkan kepada kesaksian para saksi. Jadi jelas di sini bukan rukyat yang menjadi tema dalam keseluruhan hadis mengenai masalah ini. Yang menjadi tema dalam keseluruhan hadis-hadis bersangkutan adalah pemastian bahwa bulan baru telah mulai. Cara untuk memastikan bahwa bulan baru telah mulai adalah dengan beberapa cara: rukyat, estimasi / penggenapan bulan berjalan 30 hari, dan kesaksian para saksi. Cara-cara ini adalah sarana yang tersedia pada zaman Nabi saw. Oleh karena itu bila pada zaman kita sekarang dikembangkan cara yang lebih akurat, dalam hal ini hisab astronomi, maka cara yang lebih akurat itulah yang digunakan.

IV. Penegasan Para Ulama Dalam Hisab

Perlu diketahui bahwa pendapat yang membenarkan penggunaan hisab bukanlah suatu hal baru, melainkan telah merupakan pandangan yang cukup tua dalam sejarah Islam, walaupun pada mulanya hisab hanya digunakan pada saat cuaca mendung. Orang pertama tercatat membolehkan penggunaan hisab adalah Mutarrif  Ibn 'Abdillah ibn as-Syakhkhair, seorang ulama Tabiin Besar, kemudian Imam Syaf'i (w.204/820) dan Ibn Suraij, seorang ulama Syafiiah abad ke 3 H. Dalam kaitan ini Ibn Rusyd Sang Cucu (w.595/1199) menegaskan,

"Diriwayatkan dari beberapa ulama salaf bahwa apabila bulan tertutup awan, maka dipegangi hisab dengan memperhitungkan perjalanan Bulan dan matahari. Ini adalah mazhab Mutarrif Ibn asy-Syakhkhair, seorang ulama Tabiin Besar". 

Ibn Suraij meriwayatkan dari Imam asy-safi'i bahwa beliau mengatakan: 
"Barang siapa mazhabnya adalah memegangi hisab perbintangan dan posisi-posisi Bulan kemudian melalui pembuktian dengan hisab itu ternyata Bulan seharusnya dapat dilihat seandainya tidak ada awan, maka dia boleh berpuasa dan puasanya itu sah"

Dalam al-Muhazzab, Imam asy-Syirazi (w.476/1083) menulis,
"Apabila hilal tertutup awan dan ada orang yang mengetahui hisab dan manzilah-manzilah bulan dan dengan hisab itu ia mengetahui bahwa bulan Ramadan telah masuk, maka orang itu wajib puasa karena telah mengetahui masuknya bulan dengan suatu dalil sehingga sama dengan kesaksian (rukyat)..."

Ulama-ulama lain yang memegangi hisab adalah Muhammad Ibn Muqatil ar-Razi, murid dari Muhmmad Ibn al-Hasan sahabat Abu Hanifah, Ibn Qutaibah (w.276/889), Muhyiddin Ibn 'Arabi (w. 637/1240), Ibn Daqiq al-'id (w. 702/1302)

Muhammad Rasyd Rida; 

"Tujuan Pembuat Syari'ah... bukan untuk menjadikan rukyat hilal sebagai ibadah itu sendiri. Pengaitan penetapan awal bulan dengan rukyat hilal atau menggenapkan bilangannya 30 hari apabila hilal tidak terlihat, illatnya adalah karena keadaan umat pada waktu itu yang masih ummi"

Mustafa Ahmad az-Zarqa; 

"Saya yakin benar bahwa para ulama salaf kita itu, yang menolak penggunaan hisab, seandainya mereka hidup di zaman sekarang dan menyaksikan kemajuan mengagumkan yang dicapai astronomi (ilmu falak) pastilah mereka akan mengubah pendapatnya".

Yusuf al-Qardawi; 

"Apabila terdapat sarana lain yang lebih mampu mewujudkan tujuan hadis dan lebih terhindar dari kemungkinan keliru, kesalahan dan kebohongan mengenai masuknya bulan baru, ....yakni setelah di kalangan mereka terdapat sarjana-sarjana dan ahli-ahli astronomi, .... maka mengapa kita masih tetap jumud dalam soal sarana yang tidak mjenjadi tujuan pada dirinya?"

Syamsul Anwar;

"Satu hal yang perlu dicamkan betul bahwa umat Islam tidak akan pernah mungkin bisa membuat suatu sistem kalender qamariah internasional terpadu tanpa sepenuhnya memegangi hisab".

V. Penutup
Dengan kemajuan ilmu astronomi pada zaman modern sekarang banyak hal mengenai perilaku peredaran Bulan dan penampakannya di bumi dapat diketahui, yang pada zaman lampau tidak diketahui. Pada zaman para imam mujtahidin, orang belum mengetahui bahwa bumi ini bulat dan berputar pada sumbunya, yang oleh karena itu untuk pembuatan penanggalan harus ditetapkan sebuah garis dimuka bumi ini untuk menentukan kapan dan dimana hari dimulai dan diakhiri dan itulah yang disebut Garis Tanggal Internasional. Orang saat itu juga belum mengetahui bahwa penampakan hilal di muka bumi pada waktu visibilitas pertama adalah terbatas dan membentuk garis parabolik, dan bahwa kawasan yang terletak disebelah utara Garis Lintang Utara 60° dan di sebelah selatan Garis Lintang Selatan 60° tidak pernah dapat melihat hilal. Pada zaman itu orang juga belum mengetahui bahwa semakin ke timur posisi pengamat di muka bumi semakin kecil peluang untuk melihat hilal.

Zulkarnain Nasution

Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir

28 September 2014

MAZHAB WAHABI DALAM SOROTAN


I. Pendahuluan.

Mazhab adalah pendapat, kelompok, aliran, yang bermula dari pemikiran atau ijtihad seorang imam dalam memahami sesuatu, baik filsafat, hukum (Fikih), teologi, politik dan lain sebagainya. Pemikiran ini kemudian diikuti oleh kelompok atau pengikut dan dikembangkan menjadi suatu aliran, sekte, atau ajaran.

Pada dasarnya, mazhab-mazhab itu timbul antara lain karena perbedaan dalam memahami ajaran yang terdapat dalam Al-Qur'an dan sunnah yang tidak bersifat absolut. Perbedaan pendapat mengenai maksud ayat-ayat yang zanni ad-dalalah (ayat-ayat yang pengertiannya masih dapat ditafsirkan) adalah salah satu sebab bagi timbulnya mazhab-mazhab dalam aliran-aliran dalam Islam. Jadi pada hakikatnya mazhab adalah suatu aliran pemahaman tertentu, hasil dari interpretasi terhadap Al-Qur’an dan sunah yang sifatnya tidak mengikat.

Adapun sebab-sebab munculnya perbedaan pendapat yang menimbulkan lahirnya mazhab-mazhab bisa disebabkan :

  • Perbedaan pemikiran. 
  • Ketidak jelasan masalah yang menjadi tema pembicaraan. 
  • Perbedaan kesenangan dan kecendrungan.
  • Perbedaan cara pandang. 
  • Karena mengikut (taklid) pendahulunya. 
  • Perbedaan kemampuan. 
  • Masalah kepemimpinan dan cinta kepada penguasa. 
  • Fanatisme kelompok yang berlebihan.

Faktor dominan timbulnya sebuah mazhab atau aliran biasanya terbentuk karena berbeda persepsi dalam penafsiran tentang ayat-ayat Zhanniyat, bukan mengenai prinsip dan nilai dasar Islam, maka perbedaan mazhab itu dapat diterima sebagai alternatif dalam Islam, meskipun kadang-kadang perbedaan antara mazhab satu dan lainnya cukup besar atau bahkan bertentangan.

Dari sekian banyak mazhab yang telah terbangun didalam sejarah Islam satu diantaranya adalah mazhab wahabi. Mazhab ini adalah tergolong muda diantara mazhab-mazhab lainnya. Pada sebagian kalangan, wahabi dianggap sebagai mazhab salaf  dan juga mazhab kontroversial.

II. Biografi Wahabi.

Perintis dari mazhab wahabi adalah seorang tokoh yang mempunyai pengaruh dalam pembaharuan Islam pada abad ke-19, kelahiran Nejd (Arab Saudi) suatu negeri yang masih murni keislamannya di jantung padang pasir arab saudi. Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid at-Tamimi. (1115 H / 1703 - 1201 H / 1787 M ).

Anak seorang kadi ini semula memperoleh pengetahuan dibidang fikih dan ilmu agama lainnya dari ayahnya. Untuk menambah ilmunya, ia kemudian merantau ke Hedjaz dan disini ia memperoleh pengetahuan agama dari ulama-ulama Mekah dan Madinah. Selanjutnya ia berpetualang selama 4 tahun dikota Basra. Setelah itu ia pindah ke Baghdad dan disini ia menikah dengan seorang wanita kaya. Lima tahun kemudian setelah istrinya meninggal dunia ia pun pindah ke Kurdistan (Irak utara), kemudian ke Hamadan dan Esfahan (kini di Iran). Di kota terakhir ini ia sempat mempelajari filsafat dan tasawuf. Setelah bertahun-tahun merantau, ia akhirnya kembali ketempat kelahirannya di Nejd. Di negeri asalnya itu, ia masih sempat mempelajari Tafsir Al-qur’an dan Syarh as-Sunnah, dan kitab-kitab lain mengenai ilmu-ilmu keislaman, seperti kitab karangan Ibnu Taimiyah dan, dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah (dua ulama yang merupakan murid atau penerus dan pemuka mazhab Imam Hanbali).

Dari silsilah seperti itu, diketahui bahwa sebenarnya pendapat ataupun kalau boleh disebut ajaran Wahabi itu sebenarnya bersumber dari mazhab Hanbali. Imam Ahmad bin Hanbal terkenal sebagai Imam mazhab yang cukup ketat berpegang pada nash. Jarang sekali ia memainkan unsur logika dalam membahas suatu nash.Tak heran banyak kalangan yang mempersoalkan posisi Imam Ahmad. Beliau dianggap bukan ahli fiqih. Beliau hanya menyusun kitab hadis yang sistematika bab-nya disusun menurut bab dalam ilmu fiqh. Kalaupun ia dianggap ahli hadis, ternyata kitab Musnad-nya tidaklah termasuk dalam "kutubus sittah" (enam kitab hadis terkemuka). Jadi, sebagai ahli fiqih ia diragukan, dan sebagai ahli hadis pun juga layak dipertanyakan.

Akan tetapi, terlepas dari kontroversi akan ketokohan Imam ahmad, yang jelas dari sisi penganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah beliau berjasa besar dalam mempertahankan aqidah islamiyah. Imam Ahmad dalam perspektif ilmu kalam, dikelompokkan sebagai penganut paham salafiyah; sebuah paham yang sebenarnya banyak berbeda dengan paham Asy'ariyah (yang diikuti di Indonesia).

Dari sini kita sudah bisa menangkap bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri Wahabi itu, sudah punya beban sejarah yang kontroversial, karena guru dari gurunya sendiri juga dianggap kontroversial.

Muhammad bin Abdul Wahab dapat digolongkan sebagai ulama yang produktif. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kitab yang dikarangnya, yang mencapai puluhan judul. Kitab-kitabnya itu antara lain kitab at-Tauhid yang isinya antara lain ajaran tetang pemberantasan bid’ah dan khurafat yang terdapat dikalangan masyarakat dan ajakan untuk kembali kepada tauhid yang murni. Kitab-kitab lainnya adalah Tafsir Surat al-Fatihah, Mukhtasar sahih al-Bukhori, Mukhtasar as-Sirah Nabawiyah, Nasihah al-Mudlimin dan bi Ahadis Khatam an-Nabiyyin, Usul al-Imam, Kitab ak-Kabair, Kasyaf asy-Syubuhat, Salasa al-Usul, Adab al-Masi ila as-Salah, Ahadis al-Fitah, Mukhtasar Zad al-Ma’ad, dan al-Masail al-Lati Khalafa Fiha Rasulullah ahlal-Jahiliyah.

III. Perkembangan Mazhab Wahabi

Muhammad bin Abdul wahab sebagai tokoh penggagas mazhabnya, namanya tidak dapat dipisahkan dari gerakan wahabi, karena dialah yang membangun gerakan tersebut. Namun demikian, nama gerakan itu tidak berasal dari Abdul Wahhab sendiri, melainkan dari golongan lain yang menjadi lawannya. Para pengikut Abdul Wahhab sendiri menamakan kelompoknya al-Muwahhidun atau al-Muslimun, yaitu kelompok yang berusaha mengesakan tuhan semurni-murninya. Selain itu mereka menamakan dirinya sebagai kaum Suni pengikut mazhab Hanbali, seperti yang dianut oleh Ibn Taimiyah.

Perjalanannya kebeberapa negeri sangat mempengaruhi beliau dalam mendirikan gerakan tersebut. Ketika itu disetiap negeri Islam yang dikunjunginya, ia melihat kuburan-kuburan syekh tarekat bertebaran. Tiap kota, bahkan juga kampung-kampung, mempunyai kuburan syekh atau wali masing-masing. Ke kuburan-kuburan itulah ummat Islam pergi naik haji dan meminta pertolongan dari syekh atau wali yang dikuburkan di situ untuk menyelesaikan masalah hidup mereka sehari-hari. Ada yang meminta supaya diberi anak, jodoh, kesembuhan dari penyakit, atau kekayaan. Maka beliau melihat bahwa kemurnian tauhid telah dirusak oleh khurafat yang masih mempengaruhi keyakinan ummat Islam

Pemikiran yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul wahhab untuk memperbaiki kedudukan ummat Islam timbul sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat dikalangan umat Islam waktu itu. Wahhab dengan gerakannya itu didorong oleh keinginan untuk memurnikan ajaran Islam, khususnya dibidang tauhid, yang merupakan ajaran pokok dalam Islam. Ia tidak berhasrat untuk mengubah ajaran Islam atau mengadakan penafsiran baru tentang wahyu, melainkan membawa misi pemberantasan unsur-unsur luar (bidah dan khurafat) yang masuk kedalam ajaran Islam yang murni.

Sejalan dengan misi yang dibawanya, ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab hampir seluruhnya bertemakan tauhid. Sehingga karya-karyanya yang kita sebutkan diatas hanya digunakan sebagai alat untuk memurnikan tauhid. Artinya, ia mencoba menelusuri berbagai bidang ilmu tersebut, hanya untuk mencari apakah di dalam ilmu-ilmu tersebut terdapat unsur bidah atau tidak.

Inti dari ajaran tauhid wahabi itu antara lain,

  • Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah, dan orang yang menyembah selain Allah telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh. 
  • Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan dari Allah, melainkan dari syekh atau wali dan kekuatan gaib, dan orang islam yang demikian juga telah menjadi musyrik. 
  • Menyebut nama nabi, malaikat, atau syekh sebagai pengantara do’a juga merupakan syirik. 
  • Meminta syafaat selain kepada Allah adalah juga syirik. 
  • Bernazar selain kepada Allah juga syirik. 
  • Memperoleh pengetahuan selain dari al-Qur’an dan hadis merupakan kekufuran. 
  • Tidak percaya kepada kada dan kadar Allah juga merupakan kekufuran. 
  • Demikian pula menafsirkan Al-Qur’an dengan takwil adalah kafir.

Tauhid dalam persepsi Muhammad bin Abdul Wahhab ialah al-Ibadah atau pengabdian kepada Tuhan, selanjutnya ia membagi tauhid dalam hubungannya dengan ibadah atas empat bagian :

  1. Tauhid Uluhiyyah : tauhid terhadap Allah SWT sebagai Yang Disembah.
  2. Tauhid Rububiyah : tauhid terhadap Allah SWT sebagai Pencipta segala sesuatu.
  3. Tauhid Asmaa’ dan Sifat :  tauhid yang berhubungan dengan nama dan sifat Allah.
  4. Tauhid al-Af’al : tauhid yang berhubungan dengan perbuatan Allah.

Menurutnya kebanyakan manusia dimuka bumi ini hanya memiliki salah satu dari tiga bentuk tauhid yang disebutkan terakhir sedang tauhid Uluhiyyah ditolak oleh banyak orang.
Untuk mengimplementasikan ajaranya, Muhammad bin Abdul Wahhab bukan hanya seorang teokretikus melainkan juga seorang pemimpin yang aktif berusaha mewujudkan pemikirannya. Dalam mewujudkan pemikirannya ia mendapat sokongan dari kerajaan Arab Saudi. Paham ini juga menyebar keberbagai negara, seperti India, Sudan, Libya, dan Indonesia. Di Indonesia ajaran ini masuk melalui kaum paderi di Minangkabau.

VI. Mazhab Wahabi dan Politik Arab Saudi

Arab Saudi memiliki tempat yang sangat signifikan di dunia Arab dan Islam. Ini disebabkan statusnya sebagai negara terbesar di semenanjung jazirah arab, kepemimpinannya di Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), dan negara penghasil serta pemilik cadangan minyak terbesar. Lebih dari itu Arab Saudi juga tempat beradanya dua tanah suci, yakni kota Mekkah Al Mukarramah dan Madinah Al Munawwarah, serta Ka’bah di Masjid Al Haram yang menjadi kiblat shalat umat Islam seluruh dunia. Arab Saudi juga dikenal sebagai negara yang menganut sistem monarki mutlak dengan diperintah oleh keluarga Al Saud yang berpijak pada ideologi mazhab Wahabi. Maka, mazhab Wahabi menjadi dasar legitimasi kekuasaan dan pengembangan pengaruh pemerintah keluarga Al Saud di Semenanjung Jazirah Arab. Akan tetapi sejak lahirnya mazhab Wahabi itu sendiri, telah timbul reaksi oposisi dari dalam terhadap mazhab itu lantaran doktrin mazhab Wahabi yang mengkafirkan mereka yang menolak ajarannya. Doktrin itu ternyata menjadi khazanah yang dianut sebagian segmen masyarakat di Arab Saudi dan Semenanjung Jazirah Arab hingga saat ini.

Arab Saudi pun dikenal sebagai negara Islam konservatif lantaran sandaran ideologi Wahabinya itu dan dukungannya terhadap lembaga-lembaga Islam. Label Islam konservatif pada negara Arab Saudi itu tercipta pada tahun 1745 menyusul koalisi antara Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri mazhab Wahabi) dan keluarga Al Saud dan terus berlanjut hingga sekarang. Islam tercantum sebagai agama negara dan sumber hukum. Ajaran Islam versi mazhab Wahabi itulah yang merajut aktivitas pendidikan, hukum, dan dasar etika masyarakat di Arab Saudi. Menurut Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab, para ulama bertanggung jawab memperkenalkan dan mensosialisasikan ajaran Islam. Kerja sama ulama dan pemerintah (umara) disebutkan merupakan kewajiban. Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan ajaran agama seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Adapun ulama membantu pemerintah memberi petunjuk bagi pelaksanaan ajaran agama itu.

Hubungan keluarga Al Saud dan para ulama pada abad ke-18 merupakan hubungan kemitraan yang sangat strategis sesuai dengan teori politik Islam tradisional dan prinsip-prinsip yang diletakkan Muhammad bin Abdul Wahab. Hubungan kemitraan yang harmonis antara agama dan negara pada era negara Arab Saudi pertama itu barangkali disebabkan adanya kesamaan tujuan saat itu. Kemitraan strategis itu membuka peluang bagi Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab memiliki kekuatan politik untuk penerapan mazhab Wahabi di Arab Saudi. Dalam waktu yang sama, mazhab Wahabi memberi legitimasi agama pada kekuasaan keluarga Al Saud. Mazhab Wahabi memberi doktrin bahwa patuh pada pemerintah merupakan kewajiban agama selama pemerintah itu melindungi syariat agama dan membangkang pemerintah adalah khianat.

Arab Saudi di Semenanjung Arab sejak berdirinya tahun 1932 sesungguhnya diwarnai banyak aksi oposisi terhadap sistem negara dan hegemoni keluarga Al Saud. Kebijakan reformasi pemerintah keluarga Al Saud dan dalam waktu yang sama tetap memegang teguh mazhab Wahabi, mengundang reaksi oposan dari dua kubu sekaligus, yakni kubu sekuler dan konservatif. Dua kubu tersebut sama-sama menuntut dibubarkannya pemerintahan monarki di Arab Saudi.
Meskipun Islam menjadi alat legitimasi kekuasaan keluarga Al Saud, kelompok oposisi Islam muncul pula beberapa tahun terakhir ini. Ada dua kelompok oposisi Islam utama, yaitu organisasi revolusi Islam dan organisasi Ikhwan baru. Mereka sama-sama menuntut berdirinya negara Islam hakiki di Arab Saudi.

Organisasi revolusi Islam didirikan pada akhir tahun 1970-an dan didukung Iran dengan beranggotakan kaum Syiah Arab Saudi. Organisasi tersebut mengadopsi pandangan Imam Khomeini dalam pemerintahan Islam. Anggota organisasi itu sempat menyebarkan pamflet yang bertuliskan "suara rakyat" pada musim haji tahun 1981 di Kota Mekkah.

Adapun organisasi Ikhwan baru telah melancarkan aksinya yang terkenal, yaitu penyerangan ke Masjid Al Haram pada 20 November 1979. Mereka mengutuk Pemerintah Arab Saudi. Peristiwa penyerangan Masjid Al Haram itu mengungkap tiga problem menyangkut hubungan agama dan negara di Arab Saudi.
Pertama, bagaimana cara mengompromikan modernisasi dan kenikmatan ekonomi yang begitu cepat di satu pihak dan komitmen dengan mazhab Wahabi di pihak lain. Kedua, sistem pemerintahan Arab Saudi tidak selalu sesuai dengan aspirasi kelompok radikal Islam. Ketiga, keluarga dinasti Al Saud ternyata mendapat tantangan dari kelompok Islam radikal.

V. Penutup.

Dengan banyaknya aliran mazhab dalam Islam bukan berarti hal itu merupakan bentuk dari kesempitan ajarannya atau bentuk keputus-asaan para tokoh dalam menjawab tantangan hidup melalui teks-teks islam tapi lebih ditekankan kepada kebesaran dan keluasan Islam dan kemampuan para tokoh-tokoh Islam itu sendiri dalam menginterpretasi teks-teks dan mengembangkannya menjadi sebuah pengetahuan baru.

Zulkarnain Nasution
Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir

26 September 2014

KEHARUSAN MORAL untuk MENGAKTUALISASIKAN PANCASILA


Aktualisasi Pancasila adalah menerapkan pengamalan nilai-nilai tersebut dalam hidup keseharian. Dan kita akan terus menjadikan Pancasila sebagai pedoman berbangsa --bangsa Indonesia. Dan Pancasila akan selalu bertahan dan dipakai dalam setiap pengambilan keputusan. Ruang lingkup untuk penerapan aktualisasi pancasila dan UUD 45 anatara lain ruang politik, ekonomi, sosial budaya,  dan hukum di negara Indonesia. 

Dalam kehidupan berpolitik saat ini belum mencerminkan aktualisasi Pancasila dengan benar. Partai politik sering mengabaikan kepentingan rakyat dan mengutamakan kepentingan partai atau golongannya. Nilai-nilai dalam Pancasila menegaskan bahwa politik yang dilandasi kedaulatan rakyat sesuai dengan hak asasi manusia. Karena itu harus diupayakan menjaga system politik yang berkedaulatan rakyat dan demokrasi ini. Selain itu partai politik harus mandiri dalam memperjuangkan kepentingan rakyat serta terus melakukan pendidikan politik dan membangun budaya politik yang demokratis. 

Dalam bidang ekonomi saat ini, terlihat kurang terwujudnya perkembangan ekonomi di Indonesia dikarenakan kurang adanya mekanisme perjuangan pemerintah untuk menyamaratakan derajat pendidikan yang menjadi kendala utama yaitu masalah ekonomi. Biaya yang mahal dan sebagainya. Juga banyaknya kesenjangan sosial dalam masyarakat, baik antara sesama pengusaha atau-pun dengan rakyat biasa. Ekonomi menurut pancasila adalah berdasarkan asas kebersamaan, kekeluargaan artinya walaupun terjadi persaingan namun tetap dalam kerangka tujuan bersama untuk memajukan bangsa Indonesia. Jadi walaupun kita menjalankan persaingan bebas dibidang pemasaran dengan menerapkan aktualisasi Pancasila tersebut kita dapat mengatur sendiri bagaimana arti sebenarnya persaingan yang bebas itu tapi tetap dapat mewujudkan bersama cita – cita bangsa. Pengalaman ekonomi haruslah didasarkan dengan azas kekeluargan dan gotong royong. Sehingga interaksi antar pelaku ekonomi sama-sama menguntungkan dan tidak saling menjatuhkan. Aktualisasi Pancasila dalam bidang ekonomi menekankan pada pengembangan kemampuan dasar yang harus berkembang, penggunaan ilmu dan teknologi untuk mengelola sumber daya alam demi kesejateraan rakyat. Dan membangun etos rasa profesionalisme yang tinggi dan pertanggung jawaban terhadap pekerjaannya.

Dalam bidang sosial budaya : aktualisasi Budaya Demokrasi, Budaya Politik dan Budaya Pers mempunyai kendala atau faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaannya, hal ini sangat terasa yang mana penggunaan Sistem Demokrasi,Politik dan Pers yang baik masih sebatas pada teori. Masih banyaknya rakyat Indonesia yang primitif dan kurangnya rasa toleransi terhadap satu unsur budaya denagn budaya lain adalah salah satu pemicu terjadinya kekacauan antar satu-suku dengan suku lain. Dari sini sangatlah di perlukan pengaktualisasi pancasila dan UUD'45 sebagai dasar pedoman pemersatu bangsa.kita janganlah hanya melihat dari sebelah sisi saja terhadap suku budaya lain. Karena dari sana akan terwujud persatuan dari banyaknya perbedaan dibangsa ini.Karena itu aktualisasi pancasila harus bisa mengangkat nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia seperti menghormati martabatnya sebagai manusia, memperlakukan secara manusiawi dan adil sebagaimana tertuang dalam pancasila, sila ke 5 yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, memberi kesejahteraan yang layak bagi manusia dan mempunyai jiwa solidaritas terhadap sesama.

Dalam bidang hukum akhir akhir ini terjadi ekskalasi banyaknya penyalahgunaan kekuasaan, dan tindakan main hakim sendiri diberbagai daerah. Korupsi terjadi dalam segala aspek kehidupan. Karena itu pegembangan hukum haruslah diperuntukan demi terwujudnya keadilan dalam hidup bermasyarakat. Agar benar-benar Negara meletakan pada fungsi yang sebenarnya sebagai suatu negara hukum dan bukannya suatu negara yang berdasarkan kekuasaan. Untuk itu pertahanan dan keamanan harus dikembangkan sesuai dengan nilai-nilai pancasila


Kesenjangan, korupsi yang “membudaya” dan penggelapan keuangan yang terjadi disetiap lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif adalah hari dimana akan lahir sejarah ketidak-percayaan pada ideologi Pancasila. 

Ketaatan Moral Melaksanakan Pancasila

Rasa wajib untuk melaksanakan Pancasila  belum tertanam di dalam diri manusia Indonesia dan belum meresap dalam hati sanubari sebagai sebuah kesadaran, sehingga setiap insan manusia Indonesia belum bersedia melaksanakan Pancasila. Keadaan ini berakar dari belum adanya sumber-sumber yang menunjukkan keadilan secara hakiki dalam realitas hubungan antara masyarakat dan masyarakat dengan negara. Masyarakat melihat contoh-contoh dalam kehidupan nyata mereka bahwa belum ada keadilan buat mereka khususnya bagi masyarakat yang dikelompokkan dalam kelas bawah atau tingkat ekonomi rendah. Mereka inilah yang paling banyak merasakan ketidakadilan baik dalam ekonomi, hukum dan kehidupan sosial lainnya. Bilamana keadilan belum tercipta niscaya sulit untuk meresapi nilai-nilai mulia dalam Pancasila.

Setiap nilai-nilai filosofis dan aktualisasi Pancasila harus dikonkretkan dalam bidang politik, ekonomi, budaya, dan hukum. Memerlukan cara radikal dan keseriusan untuk tidak hanya menjadikan Pancasila sekedar “slogan”, lambang, dan “simbol mati” untuk diparaktikan dalam tatanan politik, ekonomi, budaya, dan hukum. Kesenjangan, korupsi yang “membudaya” dan penggelapan keuangan yang terjadi disetiap lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif adalah hari dimana akan lahir sejarah ketidak-percayaan pada ideologi Pancasila. Ketidakadilan sosial akan terus menggerogoti dan menggerus nilai-nilai Pancasila dari hati sanubari insan Indonesia. Karena itu pendekatan yang dilakukan adalah menjadikan pemerintah menjadi contoh yang bersih untuk melaksanakan amanat rakyat dan terus menunjukkan upaya membangun kesejahteraan masyarakat. Pemerintah harus mampuh melakukan dialogue yang efektif dengan rakyat, membangun kepercayaan dan terus meyakinkan masyarakat tentang nilai-nilai luhur Pancasila sebagai sumber hukum dan tatatertib negara dan bangsa


Implementasi Nilai-Nilai Pancasila

Bobroknya moral dan tatanan bangsa ini sudah demikian luas dan merata di seluruh penjuru tanah air. Dasar dan filosofi pandangan hidup bangsa (welstanschaung) Pancasila, hanyalah sebagai kedok belaka. Sumpah jabatan para aparat negara hanyalah ritual semu dan palsu belaka. Sehingga tak mengherankan kalau korupsi di Indonesia ini 'mustahil' diberantas. Dari tingkat kelurahan hingga Istana Negara telah terjadi kesamaan pola perilaku berkorupsi. Terjadi degradasi dan antitesis dari nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila. Orang suka jadi beringas, anti sosial, anarkhis dan destruktif. Anasir-anasir yang telah berubah didalam implementasi nilai-nilai ke lima sila sedemikian parah, sehingga kini telah menjadi antitesis dari nilai-nilai Pancasila yang sejati --sebut saja Pancasial. Realita yang ada menunujukkan :
  1. Keuanganlah yang Maha Kuasa 
  2. Kemanusiaan yang Jahil dan Biadab 
  3. Perseteruan bangsa Indonesia 
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Kemunafikan dan Keculasan dalam Permusyawaratan / Perwakilan 
  5. Kebangkrutan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
  • Proses Pembentukan Kepribadian Pancasila ( Hery Nugroho algama, rimanews, 25/12/2011). 
Gejala-gejala diatas bersumber pada kegagalan pendekatan pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi semata. Pemerintah terlihat lebih focus terhadap angka-angka pertumbuhan, indikator ekonomi makro dan mikro tetapi melupakan aspek sosial apalagi kemanusiaan. Sudah terbukti dalam banyak kasus pendekatan pembangunan di belahan bumi manapun yang mengabaikan aspek mental dan spiritual menciptakan manusia-manusia ekonomikus yang mengutamakan mencari keuntungan ekonomi. Karena itu Pancasila harus dijadikan sebagai kurikulum dan silabus wajib pada seluruh sistem pendidikan nasional, dari jenjang PAUD hingga pascasarjana. Pancasila juga harus dijadikan way of life dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan benegara melalui pemulihan persaudaraan sejati sebagai cerminan Bhinneka Tunggal Ika yang dipelopori kaum cendikiawan, rohaniawan, dan budayawan.


Kesadaran untuk melaksanakan Pancasila

Untuk membentuk ketaatan dan keharusan melaksanakan Pancasila dibutuhkan kesadaran dalam melaksanakan dan mengamalkan Pancasila. Kesadaran ini dibentuk melalui proses bertahap sehingga semakin lama semakin melekat dalam pribadi insan Indonesia. Kesadaran ini berupa pengetahuan tentang sifat-sifat dalam diri manusia. Menurut Kant, pada setiap diri manusia ada kecenderungan berbuat baik dan melaksanakan kewajibannya. Ini yang disebut Kant sebagai humum moral yang datang dari diri sendiri, dari hakikat manusia yang paling dalam. Titik pusat dari teori moral Kant ini adalah kehendak baik. Manusia harus mengiginkan yang baik, yang timbul karena merasa baik. Apabila seseorang bertindak dengan didasari motivasi baik, hasil tindakannya tentu baik tanpa melihat hasil dan konsekuensi yang timbul. Disisi lain menurut Kant, manusia bebas menentukan kehendaknya sekaligus moral mengikat manusia. Namun moral tidak bersifat memaksa. Manusia bebas menerima ataupun menolaknya. Kant menyebukan kekebasan ini sebagai otonomi atau kemandirian manusia. Seseorang dikatakan otonom atau mandiri apabila melakukan sesuatu yang baik demi kebaikannya sendiri. Moral Pancasila disebut otonom karena nilai-nilainya datang dari akal budi manusia Indonesia yang ingin berkehendak baik. 
Krisis pemahaman terhadap Pancasila yang sekarang melanda bangsa Indonesia adalah cermin dari kegagalan atau keterlambatan bangsa Indonesia memahami hakekat globalisasi sebagai bentuk baru dari perkembangan idiologi besar dunia yang merembes kedalam tatanan hidup masyarakat kita yang sangat terbuka.

Kesadaran untuk Melaksanakan Pancasila

Sebagaimana kita ketahui bahwa Pancasila bersifat abstrak umum universal yang membutuhkan penjabaran kedalam norma-norma kenegaraan dan norma-norma moral yang mengatur prilaku warga negara. Dengan demikian norma-norma tersebut dapat diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kondisi paradoks pada berbagai aras kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai akibat derasnya globalisasi, telah menjadikan kurangnya wacana tentang Pancasila baik pada aras politik, budaya dan akademis. keadaan tersebut disebabkan oleh adanya kekacauan epistemologis dalam pemahaman tentang Pancasila. Tawaran yang diajukan untuk me-revitalisasi nilai-nilai Pancasila adalah dengan mengembangkan nilai-nilai Pancasila melalui pengembangan Pancasila sebagai kerangka dasar pengembangan dasar epistemis ilmu; Pancasila sebagai landasan etis bagi pengembangan ilmu; Pancasila sebagai landasan filosofis pengembangan pendidikan yang berkepribadian Indonesia; dan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber nilai dalam realisasi normatif dan praksis kehidupan bernegara dan berbangsa. Dengan demikian Pancasila sebagai sebuah system nilai semakin dapat di-elaborasi lebih jauh. Krisis pemahaman terhadap Pancasila yang sekarang melanda bangsa Indonesia adalah cermin dari kegagalan atau keterlambatan bangsa Indonesia memahami hakekat globalisasi sebagai bentuk baru dari perkembangan idiologi besar dunia yang merembes kedalam tatanan hidup masyarakat kita yang sangat terbuka.

Dalam aktualisasi Pancasila dibutuhkan suatu kondisi yang dapat menunjang terlaksananya pengaktualisasian Pancasila, seperti kondisi yang berkaitan dengan sikap warganegara Indonesia dan wujud realisasi nilai-nilai Pancasila. Karena itu perlu disadari bahwa setiap warganegara memiliki kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sekaligus sebagai makhluk sosial. 


Sumber Bacaan 
Abdulkadir Besar. 1994. Pancasila dan Alam Pikiran Integralistik (Kedudukan dan Peranannya dalam Era Globalisasi). Yogyakarta: Panitia Seminar “Globalisasi Kebudayaan dan Ketahanan Ideologi” 16-17 November 1994 di UGM.
Bertens. Kess. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.
Hardono Hadi, P. 1994. Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Kaelan, 2002, Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Penerbit Paradigma
M. Nasruddin Anshoriy Ch, Dekonstruksi Kekuasaan: Konsolidasi Semangat Kebangsaan, 2008, Jakarta: Penerbit Pt.LKIS Pelangi Aksara

Zulkarnain Nasution
Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir

23 September 2014

BIAS PERNYATAAN PEJABAT PUBLIK Terkait Etika Berbusana Kaum Perempuan



Pernyataan beberapa  pejabat publik , tentang etika berbusana kaum wanita, di media masa televisi dan cetak menjadi sorotan masyarakat luas.  Misalnya terkait dengan banyaknya kasus pelecehan seksual di angkutan umum, pada detik.com  tanggal 16 September 2011 yang berjudul: Foke sentil perempuan pakai rok mini di angkot, dalam berita tersebut Fauzi Bowo atau yang biasa dipanggil Foke, menyatakan “Tetapi bayangkan juga kalau orang naik mikrolet, duduk di depan tetapi pakai rok mini, kan agak gerah juga”. Lalu Marjuki Ali, ketua DPR RI, menyatakan pelarangan penggunaan rok mini bagi staf menjadi bagian tugas kesekjenan. Namun, ia berpandangan bahwa pakaian perempuan yang tidak pantas menjadi salah satu pendorong kaum laki-laki untuk melakukan tindakan asusila hingga pemerkosaan. "DPR ini nggak urusi rok mini. Tetapi, kita tahu, banyak sekali terjadinya perkosaan, kasus-kasus asusila, karena perempuannya tidak berpakaian yang pantas sehingga membuat hasrat laki-laki itu menjadi berubah. Itu yang harus dihindari. Namanya laki-laki, ada pakaian yang tidak pantas, itu yang menarik laki-laki itu akhirnya berbuat sesuatu,"

Pernyataan publik yang disampaikan oleh beberapa pejabat ternyata bias gender. Karena itu menuai kritik pedas dari masyarakat, terutama oleh kaum wanita yang merasa dilecehkan. Publik menganggap pejabat negara kita masih dikuasai oleh orang-orang yang berpikir dalam kerangka patriarchy yaitu ideology gender yang menempatkan kaum wanita di bawah kaum pria, dan kaum pria menguasai wanita. Pertanyaan kemudian mucul “Bagaimana bentuk konstruksi sosial budaya ideologi gender ini? Dan mengapa masih terekspresikan oleh pejabat negara yang dianggap memiliki kapasitas intelektual yang cukup untuk menyadari diskursus gender sebagai ideologi yang mendeskriminasikan kaum wanita?”


Patriarchy sebagai Idiology Gender


Sebuah ideologi merupakan sebuah pandangan hidup yang dikembangkan secara sengaja untuk kepentingan golongan atau kelas sosial tertentu. Ideologi menjadi sesuatu yang dihayati dan menjadi keyakinan. Magnis Suseno berpendapat bahwa ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut.

Patriarchy adalah sebuah ideologi gender yang mengatur relasi hubungan pria dan wanita dalam masyarakat. Ideologi ini dibuat dengan cara pandang kaum pria yang merasa berkuasa dan perlu mempertahankan status quo ini (Machiavelli). Karl Marx (1845) mengunggapkan ideologi patriarchy sebagai berikut: 
“We do not set out from what men say, imagine, conceive nor from men as narrated, thought of, imagined, conceived, in order to arrive at men in the flesh. We set out from real, active men, and on the basis of their real life process we demonstrate the development of the ideological reflexes and echoes of this life process. Morality, religion, metaphysics, all the rest of ideology and their corresponding forms of consciousness, thus no longer retain the semblance of independence. They have no history, no development: but men, developing their material production and their material intercourse alter, along with their real existence, their thinking and the products of their thinking. Life is not determined by consciousness, but consciousness by life.”

Feminis Roberta Hamilton mengatakan bahwa analisis feminis yang memfokuskan diri ada ideologi patriarchy yang menggunakan perbedaan sex yang merupakan produk sejarah secara alamiah sebagai upaya melegitimasi dominasi pria dan subordinasi wanita dalam masyarakat. Menurut Halley bentuk-bentuk dominasi pria dalam budaya patriarchy tercermin pula dalam stereotype terhadap tubuh perempuan.  Perempuan harus tunduk dan patuh dengan konsep-konsep kecantikan yang merupakan produk budaya pria. Ini sering terjadi dalam keluarga dan masyarakat. Banyak wanita tidak menyadari, dan akhirnya ikut berlomba-lomba merawat dan mempercantik dirinya untuk menyenangkan kaum pria.

Sementara itu Rosalind Miles berpendapat, pria tidak hanya tidak memerintah ataupun mengeksploitasi perempuan, “mereka memiliki sedikit atau sama sekali tidak memiliki kendali atas tubuh perempuan maupun anak-anak mereka, sehingga tidak ada yang namanya penyakralan akan suatu keperawanan atau kesucian, dan (kaum lelaki) tidak menuntut apapun dari eksklusivitas aktivitas seksual perempuan. Simone de Beauvoir (1947) mengatakan perempuan hanyalah makhluk kedua yang tercipta secara kebetulan setelah laki-laki dan dirinya harus dapat menyenangkan hati suaminya agar selamat di kemudian hari dengan berdandan secantik mungkin. Ketika perempuan tidak berhasil mendapatkan kecantikan yang diinginkan maka dirinya tidak dicintai oleh laki-laki khususnya, dan masyarakat pada umumnya.

Dalam pandangan Connel Dzuhayatin idiologi kultural semacam ini adalah ciptaan kelompok dominan yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu (self-interest) untuk melanggengkan hegemoninya terhadap kedudukan perempuan. Hegemoni menjadi penting untuk melanggengkan stabilitas. Dari sini, faham deterministik tumbuh subur. Perempuan dituntut secara tak sadar untuk hanya pasrah menerima nasibnya. Seolah keterbatasan mereka adalah sabda dari langit yang tak terbantahkan. Sikap pasrah melumpuhkan nalar kritis. Ketiadaan nalar kritis berujung pada langgengnya hegemoni. Langgengnya hegemoni hanya kata lain dari pelestarian struktur sosial yang tak adil.


Budaya Patriarchy yang Tertanam Kuat dalam Masyarakat.


Kontraversi pernyataan publik, pejabat pemerintah terkait etika busana wanita memperlihatkan masih banyak tokoh-tokoh masyarakat kita yang masih berkutat dalam pemikiran yang diskriminatif terhadap wanita. Tidak saja Fauzi Bowo atau Marzuki Ali, beberapa lainnya seperti Bambang Susatyo, bendahara Umum Golkar mengatakan:”Banyak di antara anggota DPR berlatar belakang artis masih bergaya selebritis. Berpakaian dengan warna mentereng dan tampil sensual. Belum bisa membedakan mana ke DPR mana acara keartisannya. masih tampak seksi. Bisa saja seksi di mata dia, tapi tampak biasa di mata orang lain. Batasan seksi memang relatif penilaian masing-masing. Pakaian seksi tidak diukur dengan rok mini tapi blus ketat, kancing dibuka dua ke bawah. Sikap genit dan lain lain," Kemudian Pramono Anum, Wakil Ketua DPR: “Kategori berpakaian tertutup, tidak menimbulkan interpretasi macam-macam bagi kaum lelaki, juga bagi perempuan,". "Ya disamping itu mencegah sesuatu yang tidak diinginkan.” Kemudian ada lagi pernyataan Ramli Mansyur, Bupati Aceh Barat, “perempuan yang tidak berpakaian sesuai syariah seperti minta diperkosa.”

Pernyataan-pernyataan pejabat diatas bukan tanpa akar. Mereka mewakili alam pemikiran banyak kaum pria di Indonesia dan diseluruh dunia, dan ini sudah dibangun sekian lamanya sepanjang peradaban manusia.  Pada dasarnya, peradaban, merupakan sejarah dominasi terhadap alam dan perempuan. Patriarki berarti penguasaan terhadap perempuan dan alam.

Pada masa berburuh, perempuan kemudian di tempatkan pada urusan-urusan domestik. Pendomestikan perempuan ini kemudian menjadi suatu budaya yang mengakar kuat dalam masyarakat sampai sekarang. Perempuan dan laki-laki kemudian dikonstruksikan secara sosial untuk menjadi seseorang seperti yang telah menjadi 'kesepakatan' bersama. ini yang disebut oleh Gramcsi sebagai kekuatan Hegemoni. Misalnya anggapan yang sudah berterima dalam masyarakat seperti sifat-sifat yang di sebelah kiri dikonstruksikan untuk menjadi sifat-sifat perempuan sedangkan yang sebelah kanan adalah milik laki-laki. Perempuan dikategorikan sebagai mahluk yang lemah, yang emosional sehingga dalam tugas dan tanggungjawabnya, tempat perempuan adalah dalam ruang-ruang privat (dalam rumah). Sifatnya yang emosional, subjektif menyebabkan perempuan tidak mampu untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan logika, akal sehat dan keobjektifan. Sementara laki-laki adalah sosok yang mampu berpikir, mampu mengolah alam menjadi sebuah kebudayaan, mampu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sulit yang memerlukan keobjektifan, logika dan akal sehat. Perempuan adalah sosok pengabdi, penurut, pihak yang dipimpin, sementara laki-laki adalah sosok pengambil keputusan, sang pemimpin. Itulah gambaran yang diberikan untuk laki-laki dan perempuan.

Konstruksi ini telah dibentuk dan dilestarikan selama berabad-abad oleh umat manusia dan menjadikannya seolah-olah sesuatu yang alamiah, yang biasa, dan kelompok-kelompok yang mencoba untuk menentangnya kemudian dianggap aneh. Begitu mengakarnya konstruksi sosial yang telah dianggap sebagai sesuatu yang alamiah, yang kodrati, menyebabkan pelestari perlakuan ini termasuk juga perempuan. Konstruksi ini bahkan sudah dimulai dari unit masyarakat terkecil, yaitu keluarga, sehingga ideologi ini sangat tertanam kuat. Menurut Ollenburger (1996) Patriarchy dimulai dari dalam hubungan-hubungan antara suami isteri, bapak-ibu dan anak-anak dalam keluarga. Lembaga keluarga dipandang sebagai institusi otoritas sang “Bapak”, dimana pembagian kerja berdasarakan gender dan opresi terhadap perempuan disosialisasikan dan diproduksi. Keluarga sarat dengan muatan-muatan ideologis dan kepentingan kelas yang berkuasa, yaitu laki-laki. Contohnya adalah perlakuan berbeda kepada anak perempuan dan laki-laki, dalam setiap kesempatan anak-anak laki-laki didoktrinasi sebagai calon pemimpin keluarga yang harus melindungi perempuan yang lemah. Anak laki-laki bekerja di ladang sedangkan anak perempuan didapur. Hal-hal seperti ini diulang-ulang, menjadi rutinitas dan akhirnya menjadi norma.

Dalam struktur budaya kita, terdapat prasangka laten yang memojokkan perempuan atas dasar sebab alami (nature) dan kepantasan adat (culture). Dua hal itu dijadikan dalih untuk memasung eksistensi perempuan. Padahal, pada diri perempuan terdapat potensi agent of change. Hanya saja, hal itu tak bisa menjadi fakta umum karena pada praktiknya, perempuan selalu dihadang pada dua prasangka sekaligus. Pertama, menjadi agen domestik yang hanya bertugas menjadi khadim (pelayan) bagi laki-laki. Kedua, keterbatasan peran di sektor publik. Yakni, ketiadaan hak untuk berkiprah secara sosial, karena ruang itu telah dimonopoli secara mutlak oleh laki-laki.

Beberapa contoh budaya patriarchy tercerminkan dalam adat istiadat suku-suku di nusantara misalanya pemisahan maskulin dan feminim pada suku Bimin-Kushumin Papua Nugini sebagai sesuatu yang mendasar dan menegaskan. ”Esensi” maskulin, yang diistilahkan sebagai finiik, tidak hanya melambangkan kualitas-kualitas kekuatan ala ksatria perang, tapi juga berhubungan dengan ritual dan kontrol. ”Esensi” feminim, atau khaapkhabuurien, adalah sesuatu yang liar, impulsif, sensual, dan acuh. Dalam masyarakat Jawa terdapat anggapan "anak lanang mikul dhuwurmendhemjero" berdampak pada peran anak laki-laki dan perempuan. Kata lanang dengan kata wadon pada kalimat lanang iku tegese alaa menang' laki-laki itu meskipun jeiek tetap menang' dan cdh lanang kuwi kudu bandel "anak laki-laki itu harus pemberani dan tahan banting". Dan kata: wong wadon iku swarga nunut neraka kulut 'wanita itu surga numpang suami dan jika suami ke neraka terbawa.

Selain itu dogma agama yang chauvinis terhadap maskulinitas merupakan sumber pijakaan yang fundamental yang mengarahkan opresi terhadap kaum perempuan. Dalam Islam misalnya dinyatakan bahwa Arrijalu qawwamun ngalannisak" diterjemahakan: para lelaki adalah qawwamun atas para, wanita. Kata qawwamun  diterjemahkan dengan pemimpin.dalam kutipan Quran misalnya: Qur’an dapat dilihat pada ayat tentang wudlu sebagai berikut: 
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (al-Maidah/5:6)
Ayat tersebut sangat jelas sedang berbicara hanya pada laki-laki karena ayat tersebut secara jelas pula menyebutkan menyentuh perempuan (dengan segala konotasinya) sebagai hal yang menyebabkan batalnya “kesucian” laki-laki. Dalam agama Nasrani misalnya (Kej 1:26-28) menegaskan bahwa hanya laki-laki yang diciptakan segambar dengan Allah, sedangkan perempuan berstatus secondary degree.


Kesimpulan


Pernyataan pejabat di depan publik terkait etika busana wanita menuai banyak kecaman karena dianggap melecehkan kaum wanita. Pernyataan mereka bias dan diskriminatif terhadap kaum perempuan yang acapkali menjadi korban terhadap arogansi pria. Pernyataan para pejabat ini bisa meyimpulkan masih kuatnya budaya patriarchy menguasai realita dan dunia gagasan di Indonesia.

Budaya patriarchy adalah sebuah ideologi yang dibuat untuk melanggengkan kekuasaan kaum pria dan wanita. Posisi wanita dikonstruksikan sebagai pihak yang lemah secara alamiah dianggap sebagai sebuah kewajaran hukum alam yang tidak bisa ditolak. Peradaban manusia dimulai dari rumah sampai pada masyarakat telah membentuk nilai-nilai yang mengecilkan peranan wanita bila dibandingkan dengan pria. Diskrimnasi sangat jelas terlihat dalam filsafat dan praksis setiap budaya di Indonesia. Dalam hal ini agama yang kawin campur dengan budaya turut andil melecehkan kaum wanita dengan memberikan pijakan moral melalui dogmanya yang bias gender.

Langkah-langkah strategis perlu dilakukan untuk mengangkat harkat kaum wanita yang secara idiologis dilecehkan. Salah satunya adalah dengan cara mengembangkan wacana tandingan yang menentang diskriminasi terhadap kaum wanita. Kehadiran kaum feminis adalah sebuah berkah dimana teori-teori yang dibuat dapat digunakan untuk membuka kedok idiologis budaya patriarchy dalam aspek-aspek kehidupan. Pendidikan terhadap kaum perempuan harus terus dilakukan untuk membentuk kemandirian yang menjadi modal utama mencapai kesetaraan gender.


Daftar Pustaka
Faisal, Abdullah, 2002. " Konsep Wawwam di Dalam Alquran (Sebuah Pendekatan Teori Medan Makna). Dalam Relasi Jender dalam Islam. Surakarta: Pusat Studi Wanita STAIN Surakarta.
Fakih. Mansoer,1996. Analisis Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta ,Pustaka Pelajar.
Hardiman.F.Budi, 2009, Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan kepentingan Bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta, Kanisius. 
Hollow Joanne, 2000, Feminisme, Feminitas,dan Budaya Populer, Yogyakarta, Jalasutra 
Roberta Hamilton, 1978, The Liberation of Women, London.
Romany Sihite, 2007, Perempuan, Kesetaraan dan Keadilan: Suatu Tinjauan berwawasan Gender, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Rosalind Miles, 1986, The Women’s History of the World, London, Michael Jhonson 
Supatra, Hendarto dan Mujid F, Amin, 1996, Analisis Kontrastif Kata Lanang dan Wadon: Suatu Kajian Sosiosemantik untuk Mengungkap Status Wanita Jawa, Dalam Lembaran Sastra. No. 20 tahun 1996.

Zulkarnain Nasution

Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir

MENCARI MAKNA SYARIAH SECARA HAKIKI

Saat ini, tengah marak pemikiran sampai kepada memberlakuan Syariah di masyarakat. Fakta bahwa masih adanya perbedaan pandangan sampai kepada kekhawatiran perihal penerapan sistem Syariah itu sendiri masih menjadi pembahasan hangat. Untuk meng-eliminir perbedaan pendapat, perlu dicari arti penting dari syariah itu sendiri. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa Syariah merupakan ruang ekspresi agama yang paling penting bagi kaum muslimin dan merupakan obyek refleksi utama mengenai Al-Qur’an serta keteladan Nabi Muhamad SAW (as-Sunnah). Apalagi, Indonesia merupakan pemeluk Islam terbesar di dunia.

Ibn Alqayyim menegaskan, sendi dan pondasi syariah adalah hikmah kebijaksanaan dan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Syariah secara keseluruhan adalah keadilan, kemaslahatan dan kebijaksanaan. Oleh karena itu segala sesuatu yang menyimpang dari keadilan kepada ketidak adilan, dari kasih sayang kepada sebaliknya, dari kemaslahatan kepada kerusakan, dan dari hikmah kebijaksanaan kepada nihilisme, maka itu bukan bagian dari syariah, sekalipun dipaksakan masuk ke dalamnya dengan di-takwil-takwil.

Syariah adalah keadilan Ilahi kepada segenap hamba-Nya, rahmat Allah kepada sekalian makhluk
ciptaan-Nya, perlindu-ngan-Nya di atas bumi serta kebijaksanaan-Nya yang menunjukkan secara
sempurna dan tepat kepada eksistensi diri-Nya dan kebenaran rasul-Nya. Syariah adalah sinar Illahi yang menerangi manusia sehingga bisa melihat petunjuk yang dipedomani dan obat penyembuh yang membasmi segala penyakit dan jalan lurus yang apabila seseorang menepatinya ia akan senantiasa berada pada jalan yang benar. Syariah adalah cindera mata, kehidupan hati, dan kelezatan jiwa. Syariah adalah sumber kehidupan, nutrisi, obat, cahaya, penyembuh, perlindungan dan sumber kebaikan di dalam seluruh eksistensi. Syariah yang menjadi misi Rasulullah diutus adalah sendi alam semesta, kutub kemenangan dan kebahagian di dunia dan akhirat. Para orientalis juga mengakui arti penting syari'ah dalam pandangan umat Islam.

Anderson mendiskripsikan syariah sebagai kedudukan tertinggi dalam peradaban dan struktur dunia Islam. Dan memperoleh prestise yang tidak pemah ada bandingannya dalam sejarah. Alasan mengenai ini sederhana. Tuhan, sebagai diyakini umat Islam, tidak mewahyukan diri-Nya, melainkan kalam-Nya yang berisi perintah-perintah-Nya untuk dilaksanakan oleh manusia sebagai hamba-Nya.

Sejak terjadinya kontak antara peradaban Islam dan peradaban Barat selama periode kolonial dan pasca kolonial serta lebih khusus lagi dalam era globalisasi, yang ditandai dengan keungguian ilmu, teknologi dan politik pihak kedua, berbagai macam pemikiran dan ideologi baru dalam memandang Islam dan syariahnya melanda umat Islam. Sistem pengetahuan Islam, di Barat dipandang sebagai sistem pengetahuan tradisional dengan segala citra negatif yang melekat pada kata tersebut, dan sistem pengetahuan seperti itu hanya layak untuk hidup di pinggir peradaban.

Pandangan Barat mengenai Islam dan syariahnya sangat banyak mempengaruhi diskursus orang
Muslim, bahkan yang berpredikat sarjana. Yang paling moderat dari pandangan sarjana yang sangat dipengaruhi diskursus Barat adalah pendapat yang menyatakan bahwa pemecahan masalah-masalah kontemporer seperti isu-isu global mengenai HAM, gender dan lain sebagainya jangan ditanyakan kepada fiqh. la sudah tidak mampu lagi merespon hal-hal semacam ini.


artikel dicetak pada tabloid SPEKTRUM Mei 2007
Bahwa benar, fiqh terkadang tidak mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer, keadaan
demikian bukan hanya ciri spesifik fiqh. Banyak cabang pengetahuan terkini sekalipun, yang telah mencapai kemajuan spektakuler tidak mampu menjawab berbagai masalah secara sendiri. la selalu membutuhkan bantuan cabang pengetahuan lain. Ilmu kedokteran, misalnya, tidak mampu menjawab persoalan yang diciptakannya sendiri seperti apakah euthanasia dapat dilaksanakan atau tidak.

Pernyataan yang lebih ekstrim lagi adalah, Islam atau syari’ah-nya tidak akan mampu mengelola pemerintahan secara baik. Bahkan dinyatakan "kemustahilan penerapan syariah melalui hukum
positif”.

Para ahli sesungguhnya mengakui bahwa tidak ada struktur pemerintahan terbaik yang dapat di-identifikasi dengan jelas untuk digunakan sebagai sebuah model universal bagi negaranegara
berkembang. Akan tetapi setidaknya diakui bahwa tata kelola pemerintahan merupakan suatu kondisi dalam mewujudkan hubungan tiga unsur, yaitu pemerintah, rakyat atau masyarakat sipil dan dunia usaha yang berada di sektor swasta yang sejajar, berkesamaan dan berkesinambungan di dalam peran yang saling mengontrol.

Bila kita kaitkan dengan syariah, tidak ada suatu rumusan jadi dan baku. Namun banyak pernyataan terpencar di dalam berbagai sumber syariah kita dapat mengkonstruksi suatu pengertian tata kelola pemerintahan menurut pandangan syariah. Untuk itu kita dapat membaca ayat al-Quran seperti Q.11:61 

وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمۡ صَٰلِحٗاۚ قَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِ وَٱسۡتَعۡمَرَكُمۡ فِيهَا فَٱسۡتَغۡفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓاْ إِلَيۡهِۚ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٞ مُّجِيبٞ ٦١ 

Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)" - Al-Hud.61

dan Q.22:41. 

ٱلَّذِينَ إِن مَّكَّنَّٰهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ أَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَمَرُواْ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَنَهَوۡاْ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۗ وَلِلَّهِ عَٰقِبَةُ ٱلۡأُمُورِ ٤١ 

(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma´ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. AI-Haj:41.

Dengan menangkap dalalah at-isyarah ar-ramziyyah dari kedua ayat ini kita dapat melihat bahwa tata kelola pemerintahan dalam perspektif syariah adalah suatu penggunaan otoritas kekuasaan untuk mengelola pembangunan yang berorientasi pada:

  1. Penciptaan suasana kondusif bagi masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan spiritual dan rohaniahnya (spiritual governance) sebagaimana disimbolkan oleh penegakan sholat.
  2. Penciptaan kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi (economic governance) sebagaimana dilambangkan oleh tindakan membayar zakat.
  3. Penciptaan stabititas politik dan keamanan (political governance) sebagaimana diilhamkan oleh tindakan amar makruf nahi mungkar.

Asumsi yang mengatakan, dengan menerapkan sistem Syariah seakan membelokkan bangsa Indonesia yang sarat kemajemukan (Bhinneka Tungal Ika-red) kearah Islamisasi Negara Republik Indonesia. Sangat tidak beralasan alias jauh dari nalar sehat. Ironis, bila segelintir pendapat bernada kontra-kondusif tentang Syariah yang dicetuskan itu datangnya justru dari kalangan Islam sendiri. Untuk itu, dibutuhkan persamaan persepsi, pemikiran dari para cendikiawan Islam untuk menghilangkan rasa kekhawatiran yang terlalu berlebihan tersebut. Contoh soal, Nanggroe Aceh Darrussalam (NAD) saja telah menerapkan sistem pemerintahan berbasis Syariah Islam. Kenyataan sendi-sendi kehidupan yang didominasi oleh pemeluk Islam dengan Agama lainnya tidak menjadi sebuah perbedaan atau konflik. Yang terpenting digaris-bawahi ialah bagaimana peranan pemimpin Islam di daerah mayoritas Muslim untuk memberikan pemahaman tentang makna Syariah itu sendiri. Sementara, pemeluk Agama lainnya tetap dapat menjalankan peribadatan tanpa harus merasa terganggu dan terkucil sebagai minoritas.



  • SPEKTRUM | 01 | i | Rabiul Akhir 1428 H. | Mei 2007 |
H. Zulkarnain Nasution Lc,
Penulis seorang Dosen STIT dan Redaktur Pelaksana
tabloid Spektrum.

22 September 2014

IMAN TERHEMPAS BADAI SYAWALI

Betapa senang dan bahagianya bagi seorang muslim yang telah menjalani puasa Ramadhan dengan sempurna dan dilanjutkan dengan hari kemenangan Idul Fitri. Syawal sebagai bulan sitaruhami sebagai muara dari diterimanya amal seseorang secara utuh karena pada saat itu setiap insan diharapkan memintak dan memberi maaf atas kesalahan, kekhilafan, dan kealpaan dalam berinteraksi kepada sesama manusia setelah sebulan penuh melakukan permohon ampun dan pendekatan kepada Sang Pencipta. Seorang mukmin berusaha dekat dengan Allah, hal ini bisa dilihat dari tempat-tempat ibadah yang ramai dengan aktifitas di bulan ramadhan, suara tadarus al-Quran terus bergema disetiap  malam setelah taraweh, makanan ta'jil tak habis-habisnya terus mengalir dari setiap dermawan, para ibu-ibu terus bersemangat tanpa mengeluh melayani suami dan anak-anaknya dalam bersahur dan berbuka, suami dan anak-anaknya selalu mendendangkan gema alQuran dari bibirnya seraya menunggu bedug maghrib, anak-anak berlari-lari, berkejar-kejaran, berteriak dengan asiknya dipelataran masjid sambil menunggu orang tuanya bertaraweh dan bertadarus, bahkan beberapa orang mencoba untuk tidur di mesjid karena ingin subuhnya tidak terlewat satu kalipun di bulan suci  dan banyak kebaikan-kebaikan lain yang menghiasi ramadhan. Sungguh luar biasa, keadaan seperti ini sungguh mungkin ditemukan di bulan Ramadhan dan aktifitas itu akan mulai terkikis hanyut dibawa arus mudik bulan syawal terhempas tsunami kegembiraan berlebaran. Berat tubuh yang menurun meningkat kembali, perhatian kepada yang miskin tak terindahkan lagi, pengorbanan harta dan fisik tak termotivasikan lagi, lantunan gema alQuran tak terdengar dari rumah dan mesjid lagi, semua itu tersapu badai syawali kegembiraan berlebaran.

Badai Topan Syawali lebih dahsyat dari sepuluh badai yang ditakuti di dunia seperti badai Topan Cimaron, Andrew, Nina, Saomai, Megi, Ida, Kenna, Katrina, Cora, dan Topan Tip karena badai Topan Syawali mampu menghancurkan bangunan iman yang telah kokoh dibangun saat Ramadhan, hancur tak bersisa karena disaat yang sama para iblis dan syeithan turut menghanyutkan puing-puing kehancurannya. Syeitan dan Iblis sangatlah gembira selain bahwa borgol rantai yang menjeratnya di bulan Ramadhan telah terlepas bersama dimulainya  gema takbir Syawal dan mereka juga akan menari-nari berpesta menyaksikan kembali kehancuran dan keruntuhan gedung imani. Sungguh mengerikan, karena badai topan Syawali ini sangat berbeda dengan badai-badai lainnya karena bukan saja menghancurkan yang terlihat tetapi juga dapat menghancurkan jiwa, memecah teropong keyakinan bahwa ada Allah yang mengawasi dan membalas semua kejahatan. maka  nilai-nilai tatanan masyarakat yang terbentuk di Ramadhan surut melahirkan kesenjangan sosial jauh dari harapan. perhatian kepada fakir miskin sebagai esensi nilai sosial runtuh kedasar kesombongan sehingga mengakibatkan lahirlah kejahatan-kejahatan akibat luapan kesenjangan sosial. Bangunan Imani yang direnovasi dan dirawat di Ramadhan seketika runtuh kembali di terpa badai Syawali, sesuai dengan pernyataan Nabi SAW bahwa iman itu dapat naik dan menurun. tetapi yang menjadi kehawatiran adalah tatkala iman tiba dipuncaknya menggelinding turun dengan waktu yang cukup lama sebelas bulan dan naik kembali sampai saatnya nanti ramadhan berikutnya. Jika ini yang terjadi, kejahatan, kerusakan, kebohongan, dan kegaduhan akan sangat lama dirasakan berbanding satu bulan kebaikan, kemaslahatan, kejujuran dan ketenangan. situasi seperti itu mengakibatkan keberkahan menjauh dari lingkungan manusia karena keberkahan itu akan di buka Allah jika penduduk sebuah kampung beriman dan bertakwa sesuai kehendak Ramadhan dan akan tersempurnakan di Syawal dengan saling menghalalkan interaksi yang menyakitkan kehidupan sebelumnya. 

Harapan bahwa Syawal sebagai penyempurna dari bangunan iman justru sebagai awal permulaan seseorang kehilangan iman dan ketakwaan melahirkan degradasi moral selama sebelas bulan. Mungkin karena itu pula beberapa riwayat hadis menganjurkan enam hari berpuasa di bulan syawal sebagai benteng dalam menghadapi topan Syawali. Kegembiraan Idul Fitri yang dipenuhi dengan kelezatan hidangan dan masakan akan membuat seseorang overload sehingga akan bermalas-malasan dan menutup mata imannya. Maka jika imannya tertutup akan berganti dengan syahwat yang mencengkram kesempatan dosa, dan itu sangat mudah dilakukan karena di bulan syawal seterusnya, dosa-dosa itu dibuka dan sangat dekat dengan keluarga melalui penanyangan televisi dan media lainnya, pintu-pintu tempat kemaksiaatan terbuka lebar menggantikan pintu-pintu tempat ibadah.

Zulkarnain Nasution

Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir
  • SAROHA EDISI RE-BORN - I/03/07-2014

IDEOLOGI IMAN DALAM PUASA

Semua orang menginginkan hidup sehat dalam menjalani kehidupannya dan untuk mendapatkan itu berbagai macam cara dilakukan. Apalagi bagi orang-orang yang terlanjur overweigth pasti sangat mendambakan tubuhnya kembali ideal sehingga moment puasa Ramadhan ini dianggap satu dari alternatif untuk mencapai tubuh yang ideal. Memang pada kenyataannya berpuasa yang tidak direspon berlebihan ketika melakukan berbuka dapat memberikan harapan tersebut. Namun juga harus dimengerti bahwa puasa bukan sekedar memberikan kesehatan fisik saja tetapi lebih dari itu puasa dapat memberikan kesehatan jiwa (spritual) selama seseorang menjalaninya sesuai dengan perintah syariah maka puasa akan menghantarkan seseorang lebih sensitif dalam membangun hubungan vertikal kepada sang Pencipta begitupun hubungan horizontol dengan nilai-nilai kemanusian.

Hubungan vertikal dimulai dari keyakinan bahwa ada kekuatan besar dalam bentuk supranatural di atas dimensi kekuatan manusia dan alam seluruhnya, dimana kekuatan itu dapat merubah, mengatur, memberi, dan menciptakan manusia dan seluruh alam semesta serta menentukan kebaikan dan keburukan untuk manusia dan alam.  Untuk mengetahui dan bertemu dengan kekuatan besar itu semua orang akan memberikan interpretasinya  terhadap wujud Tuhan dan hasilnya akan berbeda sesuai frekuensi kedalaman tingkat rasional dan spiritual masing-masing orang. Untuk itu agar pencarian itu tidak keliru maka Allah mengirimkan Rasul sebagai penyampai wahyu agar kekokohan aqidah benar-benar terarah kepada sang Pencipta yang sebernarnya. Pendalaman aqidah agar manusia itu benar-benar mentauhidkan Allah tanpa ada serikat lain yang ditempelkan kepada Allah. salah satu cara yang menarik dan pembelajaran istimewa yang Allah berikan kepada manusia dalam merasakan bahwa ada sang Kuasa yang menguasai dirinya adalah dengan wahyu berpuasa. 

Seruan Puasa dengan mengajak orang-orang beriman untuk berpuasa merupakan seruan mengajak kepada Tauhid sempurna dimana puasa yang akan dilaksanakan setiap orang beriman itu hanya dapat dikerjakan jika keimanannya benar-benar meyakini bahwa hanya Allah Tuhan yang menguasai dirinya sehingga melahirkan spirit bahwa puasa hanya untuk dan karena Allah. karena puasa merupakan ibadah yang hanya dapat dirasakan secara personal maka hanya subyektifitas seseorang saja yang dapat mengerti kesungguhan puasanya dan hanya Allah pula yang dapat mengawasi secara langsung sesuai konsep hadis qudsi "Puasa itu hanya untuk-Ku dan Aku yang akan langsung mengganjarNya".

Seruan beriman mengarahkan pula kepada prilaku horizontal yang akan dimuncukkan dari kata Iman itu sendiri, sebagai harapan jika seseorang mampu menghantarkan kedalam jiwanya kehadiran Allah sebagai ke Esaan Tuhan maka akan lahir pula prilaku sempurna selaku hamba yang menjalani proses kehidupan dengan sesamanya dan makhluk lainnya dialam dunia. Dimana tuntutan dari kata iman itu mempunyai multi makna diantaranya adalah iman adalah percaya, aman, dan amanah, diambil dari pecahan kata amana menjadi imanan/amanan/amanatan. Dapat dipahami bahwa seseorang yang mengaku dirinya orang yang beriman harus benar-benar mempercayai hanya Allah Tuhan semesta Alam tetapi juga melekat pada dirinya bahwa kepribadian seorang mukmin pun harus dapat dipercaya dalam segala urusan dunia, jujur perkataan dan perbuatan. Selanjutnya bahwa seorang mukmin kehadirannya dimuka bumi bukanlah sebagai perusak tetapi sebagai pemberi kenyamanan, ketentraman, dan keamanan untuk berkesinambungannya nilai-nilai kemanusian dengan membentuk peradaban luhur bagi generasi manusia. Berikutnya adalah seorang yang beriman mampu menjalani dan menerima amanah sebagai wujud interaksi sosial yang dibangun atas dasar tugas kemanusian sebagai khalifah dan pemakmur bumi. Maka ketika seruan iman itu dijadikan sebagai penghayatan dan dapat diaplikasikan dalam dimensi kehidupan sudah tentu akan memberikan dua dampak perhatian serius pertama, keberlanjutan Tauhid sebagai dakwah dan kedua, nilai-nilai sosial sebagai keberlanjutan keturunan manusia sebagai pembawa risalah.      

Zulkarnain Nasution
Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir
  • Buletin SAROHA EDISI RE-BORN - I/03/07-2014