I. Pendahuluan.
Bagi masyaarakat Islam Indonesia mungkin perbedaan pendapat tentang cara penentuan bulan kamariah yang terkait dengan pelaksanaan ibadah seperti Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah belakangan ini sering membuat bingung dan kekhawtiran. Hal ini disebabkan selalu saja ada perbedaan antara pemerintah dengan kelompok masyarakatnya. Ironisnya penetapan bulan kamariah itu kadang berbeda dengan negara lain utamanya Saudi Arabia dan itu kentara pada saat ketentuan Wukuf di Arafah dimana Umat Islam yang tidak berangkat haji disunnahkan berpuasa dan pada esoknya otomatis sebagai hari Idul Adha. Apalagi penetapan Tim Hisab Rukyat bahwa bulan hanya mungkin dilihat (imkanur rukyat) jika sudah mencapai 2 (dua) derajat di atas ufuk, merupakan konsensus yang mungkin kurang berterima di masyarakat yang berpedomankan hisab. Hal ini disebabkan rukyat yang dimaksud hisab adalah Rukyat bil ilmi atau melihat dengan ilmu pengetahuan. Menurut mereka jika bulan sudah mencapai 0,+ (nol koma plus) di atas ufuk itu juga merupakan bulan hanya saja kadang tidak bisa dilihat langsung oleh mata kepala kecuali hanya dapat diketahui dengan memakai cara-cara astronomi. Perbedaan itu sudah timbul sejak lama dalam peradaban Islam. Dalam kaitan ini ada dua pendapat yang berbeda:
1. pendapat yang menyatakan bahwa penentuan awal bulan kamariah untuk pelaksanaan ibadah adalah dengan cara rukyat, yaitu melihat bulan secara fisik dengan mata; tidak boleh menentukan awal bulan kamariah dengan menggunakan hisab astronomi. Pendapat ini merupakan pandangan mayoritas sejak zaman lampau hingga sekarang.
2. pendapat yang menyatakan bahwa boleh menentukan bulan kamriah, termasuk bulan-bulan ibadah yang meliputi Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah, dengan menggunakan hisab astronomi bahkan penggunaan hisab dipandang lebih utama karena lebih memberikan kepastian dibandingkan dengan rukyat yang selain sukar, sering pula tidak akurat.
Pendukung pendapat ini merupakan minoritas kecil di zaman lampau, namun pengikutnya kian bertambah sejalan dengan kian bertambah majunya pengetahuan hisab astronomi. Pada zaman modern, pandangan ini disuarakan oleh ulama-ulama besar seperti Muhammad Rasyid Rida, Mustafa Ahamad az-Zarqa', Ahmad Syakir (ahli hadis abad ke 20), dan Yusuf al-Qardawi.
II. Argumen Pendapat yang Menggunakan Rukyat:
1. perintah berpuasa jika melihat bulan/hilal
اذا رايتموه فصوموا، واذا رايتموه فافطروا، فان غم عليكم فاقدرواله. (رواه البخاري و مسلم)
Artinya : Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika Bulan terhalang oleh awam terhadapmu, estimasikanlah (HR al-Bukhari dan Muslim)
Hadis ini memerintahkan agar memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan dengan rukyat, dan bilamana cuaca berawan sehingga tidak dapat melihat hilal, maka hendakalah dibuat estimasi (perkiraaan/perhitungan).
2. larangan berpuasa jika belum melihat bulan/hilal
لا تصوموا حتي تروا الهلال، ولا تفطروا حتي تروه، فان غم عليكم فاقدرواله . (رواه البخاري و مسلم)
Artinya : Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan janganlah kamu beridulfitri sebelum melihat hilal; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah (HR al-Bukhari dan Muslim)
Hadis ini melarang memulai dan mengakhiri puasa sebelum melihat hilal. Perintah melakukan"estimasi" dalam kedua hadis di atas manakala hilal tidak dapat dirukyat karena langit berawan ditafsirkan dengan menggenapkan bilangan bulan sedang berjalan menjadi tiga puluh hari sejalan dengan hadis berikut,
صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته فان غبي عليكم فاكملوا عدة شعبان ثلاثين. (رواه البخاري و مسلم)
Artinya : berpuasalah kamu karena melihat hilal dan beridulfitrilah karena melihat hilal pula; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan syakban tiga puluh hari (HR al-Bukhari dan Muslim)
3. Hadis, umat yang masih ummi
انا امة امية، لانكتب و لانحسب، الشهر هكذا و هكذا يعني مرة تسعة و عشرين ومرة ثلاثين
(رواه البخاري و مسلم)
Artinya : Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bias menulis dan tidak bisa melakukan hisab.bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari. (HR al-Bukhari dan Muslim)
Pemahamannya; bahwa hadis ini menjadi 'illat larangan penggunaan hisab, karena umat tidak mengenal hisab. Penetapan bulan kamariah itu harus berdasarkan sarana yang mudah bagi umat, yaitu rukyat yang tidak memerlukan pengetahuan canggih dan dapat dilakukan oleh semua orang. Ibn Hajar menambahkan penggunaan rukyat terus berlangsung sekalipun pada zaman kemudian telah terdapat banyak orang yang menguasai ilmu hisab.
Cara pemahaman ini tampaknya agak kurang mengena, karena apabila 'illatnya larangan pengunaan hisab adalah keadaan umat yang ummi, maka setelah keadaan ummi itu hilang dimana telah tercapai kemajuan ilmu astronomi seperti sekarang tentu 'illat ini tidak berlaku lagi.
Yusuf Al-qardawai berpendapat bahwa seandainya apabila hadis ini melarang hisab tentu juga ia melarang baca tulis karena hadis itu menyebutkan kedua hal tersebut bergandengan. Jelas ini tidak logis dan tidak seorangpun mengatakan bahwa Nabi saw melarang baca tulis.
4. Argumen Pemikiran, yaitu bahwa hisab merupakan spekulasi dan tidak memberikan kepastian.
Catatan : bahwa dalam hadis-hadis Nabi saw ini perintah rukyat hanya terkait dengan ramadhan dan syawal, sedang rukyat untuk bulan zulhijjah tidak disebutkan dalam hadis.
III. Argumen Pendapat yang Membolehkan Penggunaan hisab.
1. Firman Allah dalam surat ar-Rahman ayat 5 dan surat Yunus ayat 5,
الشمس والقمر بحسبان
Artinya; Matahari dan Bulan beredar menurut perhitungan. (Q. 55:5)
هو الذي جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عدد السنين والحساب
ماخلق الله ذلك الا بالحق يفصل الايات لقوم يعلمون
Artinya; Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya bagi Bulan itu Manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (Q. 10:5)
Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Bulan dan Matahari beredar dalam orbitnya dengan hukum-hukum yang pasti sesuai dengan ketentuan sang Pencipta karena itu peredaran benda-benda langit tersebut dapat dihitung (dihisab) secara tepat. Penegasan bahwa peredaran matahari dan Bulan dapat dihitung bukan sekedar informasi belaka, melainkan merupakan pernyataan imperatif yang memerintahkan untuk memperhatikan dan mempelajari gerak dan peredaran benda-benda langit agar dimanfaatkan untuk penentuan bilangan tahun dan perhitungan waktu secara umum dan untuk meresapi keagungan Sang Pencipta.
2. Firman Allah dalam Surat Yasin ayat 39-40,
والقمر قدرناه منازل حتي عاد كالعرجون القديم، لاالشمس ينبغي لها ان تدرك القمر ولااليل سابق النهار
وكل في فلك يسبحون،
Artinya; Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Q.36: 39-40)
Ayat 39 surat Yasin ini bila dihubungkan kepada ayat 5 surat Yunus menjelaskan bahwa Allah telah menetapkan manzilah-manzilah bagi perjalanan Bulan mengelilingi bumi. Ketetapan Allah itu bersifat pasti sehingga, bila dihubungkan kepada ayat 5 surat ar-Rahman, perjalanan bulan dan posisi-posisinya dapat dihitung. Ini adalah isyarat kepada penggunaan hisab.
Selain itu kedua ayat surat yasin ini memberikan pula kriteria hisab untuk menentukan awal bulan baru. Dalam ayat 39 dijelaskan bahwa Bulan dalam perjalanan kelilingnya mengelilingi bumi menempati posisi-posisi hingga posisi terakhir di mana terjadi kelahiran Bulan baru. Secara astronomis kelahiran Bulan baru itu adalah saat ijtikmak (konjungsi), yaitu saat Bulan berada pada titik terdekat kepada garis lurus antara pusat bumi dan matahari jadi ayat ini memberi isyarat bahwa terjadinya konjungsi (ijtimak adalah salah satu Kriteria untuk menentukan bulan baru. Hanya saja kriteria ini belum memadai kerena ijtimak itu bisa terjadi kapan saja; pagi, siang, tengah malam, dini hari dan seterusnya, sementara bulan itu harus utuh bilangannya, tidak bisa 29⅜ hari misalnya.
Oleh karena itu diperlukan kriteria lain lagi sebagai tambahan, yaitu saat pergantian hari seperti yang diisyaratkan oleh ayat 40 itu. Saat pergantian hari itu adalah saat matahari terbenam (magrib). Kemudian ayat 40 itu juga mengisyaratkan satu kriteria lagi, yaitu pada waktu terbenamnya matahari bulan harus sudah mengejar matahari, dengan kata lain Bulan berada di atas ufuk. jadi dapat disimpulkan kriteria awal bulan baru ada tiga, yaitu :
1) telah terjadi ijtimak,
2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam (sebelum magrib), dan
3) pada saat terbenamnya matahari Bulan berada di atas ufuk.
Apabila ketiga kriteria ini terpenuhi, maka malam itu dan keesokan harinya merupakan bulan baru, dan apabila salah satu dari kriteria ini tidak terpenuhi, maka malam itu dan keesokan harinya merupakan hari terakhir (hari ketiga puluh) bulan sedang berjalan, dan bulan baru dimulai lusa.
3. Hadis tentang umat yang ummi:
انا امة امية، لانكتب و لانحسب، الشهر هكذا و هكذا يعني مرة تسعة و عشرين ومرة ثلاثين
(رواه البخاري و مسلم)
Artinya : Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bias menulis dan tidak bisa melakukan hisab.bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari. (HR al-Bukhari dan Muslim)
Berbeda dengan pendapat pertama, pendapat kedua justeru melihat bahwa hadis ini merupkan penegasan 'illat (alasan hukum) mengapa Nabi saw memerintahkan melakukan rukyat untuk memulai dan mengakhiri puasa Ramadan. 'illat perintah itu adalah mengingat keadaan umat yang masih ummi, yaitu belum mengenal secara luas baca tulis dan ilmu hisab. Oleh karena itu sarana untuk menandai masuknya bulan kamariah ditetapkan hal yang mudah dan dapat dilakukan saat itu, ialah rukyat. Ini artinya bahwa setelah ummat terbebas dari keadaan ummi dimana mereka telah mengenal baca tulis dan menguasai ilmu hisab, maka tidak lagi digunakan rukyat melainkan digunakan hisab. Hal itu karena hisab merupakan sarana yang lebih memberikan kepastian. Ini sesuai dengan kaidah fiqh yang menyatakan,
الحكم يدور مع علته و سببه وجودا وعدما
"Hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya 'illat."
Atas dasar itu, beberapa ulama kontemporer menegaskan bahwa pada pokoknya penetapan awal bulan itu adalah dengan mengggunakan hisab,
الاصل في اثبات الشهر ان يكون بالحساب
Artinya; pada asasnya penetapan bulan kamariah itu adalah dengan hisab.
4.Sabda Nabi saw, yang sudah dikuti diatas, yaitu;
........ فان غم عليكم فاقدرواله . (رواه البخاري و مسلم)
...............jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Berbeda dengan pendapat pertama, pendapat kedua yang membolehkan penggunaan hisab, melihat bahwa pernyataan "estimasikanlah" dalam hadis ini diartikan perhitungankan dengan hisab astronomi. Artinya jika bulan terlindung oleh keadaan mendung sehingga tidak dapat dirukyat, maka buatlah perhitungan secara astronomi. Jika menurut perhitungan, posisinya sudah tinggi dan memungkinkan terlihat seandainya tidak ada penghalang, maka akhirilah bulan berjalan dan mulailah bulan baru. Jadi dalam hadis ini ada isyarat penggunaan hisab.
5. Argumen pemikiran bahwa rukyat bukanlah merupakan bagian dari ibadah, melainkan hanyalah sarana untuk menentukan bulan kamariah. Oleh karena itu apabila ditemukan sarana lebih baik dan lebih memberikan kepastian, dalam hal ini hisab, maka digunakanlah sarana tersebut.
Berlandaskan teori induksi tematis, bahwa tema umum yang dapat disimpulkan dari keselurahan hadis-hadis di atas bukan memerintahkan rukyat untuk memulai dan mengakhiri puasa Ramadan. Hal itu karena rukyat tidak selalu dapat dilakukan lantaran ada kalanya Bulan tertutup awan sehingga tidak dapat dirukyat. Sehingga Rasul menyebutkan cara lain juga, yaitu melakukan perhitungan (estimasi) atau menggenapkan bulan berjalan menjadi tiga puluh hari. Bahkan dalam praktinya Nabi saw juga mendasarkan kepada kesaksian para saksi. Jadi jelas di sini bukan rukyat yang menjadi tema dalam keseluruhan hadis mengenai masalah ini. Yang menjadi tema dalam keseluruhan hadis-hadis bersangkutan adalah pemastian bahwa bulan baru telah mulai. Cara untuk memastikan bahwa bulan baru telah mulai adalah dengan beberapa cara: rukyat, estimasi / penggenapan bulan berjalan 30 hari, dan kesaksian para saksi. Cara-cara ini adalah sarana yang tersedia pada zaman Nabi saw. Oleh karena itu bila pada zaman kita sekarang dikembangkan cara yang lebih akurat, dalam hal ini hisab astronomi, maka cara yang lebih akurat itulah yang digunakan.
IV. Penegasan Para Ulama Dalam Hisab
Perlu diketahui bahwa pendapat yang membenarkan penggunaan hisab bukanlah suatu hal baru, melainkan telah merupakan pandangan yang cukup tua dalam sejarah Islam, walaupun pada mulanya hisab hanya digunakan pada saat cuaca mendung. Orang pertama tercatat membolehkan penggunaan hisab adalah Mutarrif Ibn 'Abdillah ibn as-Syakhkhair, seorang ulama Tabiin Besar, kemudian Imam Syaf'i (w.204/820) dan Ibn Suraij, seorang ulama Syafiiah abad ke 3 H. Dalam kaitan ini Ibn Rusyd Sang Cucu (w.595/1199) menegaskan,
"Diriwayatkan dari beberapa ulama salaf bahwa apabila bulan tertutup awan, maka dipegangi hisab dengan memperhitungkan perjalanan Bulan dan matahari. Ini adalah mazhab Mutarrif Ibn asy-Syakhkhair, seorang ulama Tabiin Besar".
Ibn Suraij meriwayatkan dari Imam asy-safi'i bahwa beliau mengatakan:
"Barang siapa mazhabnya adalah memegangi hisab perbintangan dan posisi-posisi Bulan kemudian melalui pembuktian dengan hisab itu ternyata Bulan seharusnya dapat dilihat seandainya tidak ada awan, maka dia boleh berpuasa dan puasanya itu sah"
Dalam al-Muhazzab, Imam asy-Syirazi (w.476/1083) menulis,
"Apabila hilal tertutup awan dan ada orang yang mengetahui hisab dan manzilah-manzilah bulan dan dengan hisab itu ia mengetahui bahwa bulan Ramadan telah masuk, maka orang itu wajib puasa karena telah mengetahui masuknya bulan dengan suatu dalil sehingga sama dengan kesaksian (rukyat)..."
Ulama-ulama lain yang memegangi hisab adalah Muhammad Ibn Muqatil ar-Razi, murid dari Muhmmad Ibn al-Hasan sahabat Abu Hanifah, Ibn Qutaibah (w.276/889), Muhyiddin Ibn 'Arabi (w. 637/1240), Ibn Daqiq al-'id (w. 702/1302)
Muhammad Rasyd Rida;
"Tujuan Pembuat Syari'ah... bukan untuk menjadikan rukyat hilal sebagai ibadah itu sendiri. Pengaitan penetapan awal bulan dengan rukyat hilal atau menggenapkan bilangannya 30 hari apabila hilal tidak terlihat, illatnya adalah karena keadaan umat pada waktu itu yang masih ummi"
Mustafa Ahmad az-Zarqa;
"Saya yakin benar bahwa para ulama salaf kita itu, yang menolak penggunaan hisab, seandainya mereka hidup di zaman sekarang dan menyaksikan kemajuan mengagumkan yang dicapai astronomi (ilmu falak) pastilah mereka akan mengubah pendapatnya".
Yusuf al-Qardawi;
"Apabila terdapat sarana lain yang lebih mampu mewujudkan tujuan hadis dan lebih terhindar dari kemungkinan keliru, kesalahan dan kebohongan mengenai masuknya bulan baru, ....yakni setelah di kalangan mereka terdapat sarjana-sarjana dan ahli-ahli astronomi, .... maka mengapa kita masih tetap jumud dalam soal sarana yang tidak mjenjadi tujuan pada dirinya?"
Syamsul Anwar;
"Satu hal yang perlu dicamkan betul bahwa umat Islam tidak akan pernah mungkin bisa membuat suatu sistem kalender qamariah internasional terpadu tanpa sepenuhnya memegangi hisab".
V. Penutup
Dengan kemajuan ilmu astronomi pada zaman modern sekarang banyak hal mengenai perilaku peredaran Bulan dan penampakannya di bumi dapat diketahui, yang pada zaman lampau tidak diketahui. Pada zaman para imam mujtahidin, orang belum mengetahui bahwa bumi ini bulat dan berputar pada sumbunya, yang oleh karena itu untuk pembuatan penanggalan harus ditetapkan sebuah garis dimuka bumi ini untuk menentukan kapan dan dimana hari dimulai dan diakhiri dan itulah yang disebut Garis Tanggal Internasional. Orang saat itu juga belum mengetahui bahwa penampakan hilal di muka bumi pada waktu visibilitas pertama adalah terbatas dan membentuk garis parabolik, dan bahwa kawasan yang terletak disebelah utara Garis Lintang Utara 60° dan di sebelah selatan Garis Lintang Selatan 60° tidak pernah dapat melihat hilal. Pada zaman itu orang juga belum mengetahui bahwa semakin ke timur posisi pengamat di muka bumi semakin kecil peluang untuk melihat hilal.
Zulkarnain Nasution
Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir
Bagi masyaarakat Islam Indonesia mungkin perbedaan pendapat tentang cara penentuan bulan kamariah yang terkait dengan pelaksanaan ibadah seperti Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah belakangan ini sering membuat bingung dan kekhawtiran. Hal ini disebabkan selalu saja ada perbedaan antara pemerintah dengan kelompok masyarakatnya. Ironisnya penetapan bulan kamariah itu kadang berbeda dengan negara lain utamanya Saudi Arabia dan itu kentara pada saat ketentuan Wukuf di Arafah dimana Umat Islam yang tidak berangkat haji disunnahkan berpuasa dan pada esoknya otomatis sebagai hari Idul Adha. Apalagi penetapan Tim Hisab Rukyat bahwa bulan hanya mungkin dilihat (imkanur rukyat) jika sudah mencapai 2 (dua) derajat di atas ufuk, merupakan konsensus yang mungkin kurang berterima di masyarakat yang berpedomankan hisab. Hal ini disebabkan rukyat yang dimaksud hisab adalah Rukyat bil ilmi atau melihat dengan ilmu pengetahuan. Menurut mereka jika bulan sudah mencapai 0,+ (nol koma plus) di atas ufuk itu juga merupakan bulan hanya saja kadang tidak bisa dilihat langsung oleh mata kepala kecuali hanya dapat diketahui dengan memakai cara-cara astronomi. Perbedaan itu sudah timbul sejak lama dalam peradaban Islam. Dalam kaitan ini ada dua pendapat yang berbeda:
1. pendapat yang menyatakan bahwa penentuan awal bulan kamariah untuk pelaksanaan ibadah adalah dengan cara rukyat, yaitu melihat bulan secara fisik dengan mata; tidak boleh menentukan awal bulan kamariah dengan menggunakan hisab astronomi. Pendapat ini merupakan pandangan mayoritas sejak zaman lampau hingga sekarang.
2. pendapat yang menyatakan bahwa boleh menentukan bulan kamriah, termasuk bulan-bulan ibadah yang meliputi Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah, dengan menggunakan hisab astronomi bahkan penggunaan hisab dipandang lebih utama karena lebih memberikan kepastian dibandingkan dengan rukyat yang selain sukar, sering pula tidak akurat.
Pendukung pendapat ini merupakan minoritas kecil di zaman lampau, namun pengikutnya kian bertambah sejalan dengan kian bertambah majunya pengetahuan hisab astronomi. Pada zaman modern, pandangan ini disuarakan oleh ulama-ulama besar seperti Muhammad Rasyid Rida, Mustafa Ahamad az-Zarqa', Ahmad Syakir (ahli hadis abad ke 20), dan Yusuf al-Qardawi.
II. Argumen Pendapat yang Menggunakan Rukyat:
1. perintah berpuasa jika melihat bulan/hilal
اذا رايتموه فصوموا، واذا رايتموه فافطروا، فان غم عليكم فاقدرواله. (رواه البخاري و مسلم)
Artinya : Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika Bulan terhalang oleh awam terhadapmu, estimasikanlah (HR al-Bukhari dan Muslim)
Hadis ini memerintahkan agar memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan dengan rukyat, dan bilamana cuaca berawan sehingga tidak dapat melihat hilal, maka hendakalah dibuat estimasi (perkiraaan/perhitungan).
2. larangan berpuasa jika belum melihat bulan/hilal
لا تصوموا حتي تروا الهلال، ولا تفطروا حتي تروه، فان غم عليكم فاقدرواله . (رواه البخاري و مسلم)
Artinya : Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan janganlah kamu beridulfitri sebelum melihat hilal; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah (HR al-Bukhari dan Muslim)
Hadis ini melarang memulai dan mengakhiri puasa sebelum melihat hilal. Perintah melakukan"estimasi" dalam kedua hadis di atas manakala hilal tidak dapat dirukyat karena langit berawan ditafsirkan dengan menggenapkan bilangan bulan sedang berjalan menjadi tiga puluh hari sejalan dengan hadis berikut,
صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته فان غبي عليكم فاكملوا عدة شعبان ثلاثين. (رواه البخاري و مسلم)
Artinya : berpuasalah kamu karena melihat hilal dan beridulfitrilah karena melihat hilal pula; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan syakban tiga puluh hari (HR al-Bukhari dan Muslim)
3. Hadis, umat yang masih ummi
انا امة امية، لانكتب و لانحسب، الشهر هكذا و هكذا يعني مرة تسعة و عشرين ومرة ثلاثين
(رواه البخاري و مسلم)
Artinya : Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bias menulis dan tidak bisa melakukan hisab.bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari. (HR al-Bukhari dan Muslim)
Pemahamannya; bahwa hadis ini menjadi 'illat larangan penggunaan hisab, karena umat tidak mengenal hisab. Penetapan bulan kamariah itu harus berdasarkan sarana yang mudah bagi umat, yaitu rukyat yang tidak memerlukan pengetahuan canggih dan dapat dilakukan oleh semua orang. Ibn Hajar menambahkan penggunaan rukyat terus berlangsung sekalipun pada zaman kemudian telah terdapat banyak orang yang menguasai ilmu hisab.
Cara pemahaman ini tampaknya agak kurang mengena, karena apabila 'illatnya larangan pengunaan hisab adalah keadaan umat yang ummi, maka setelah keadaan ummi itu hilang dimana telah tercapai kemajuan ilmu astronomi seperti sekarang tentu 'illat ini tidak berlaku lagi.
Yusuf Al-qardawai berpendapat bahwa seandainya apabila hadis ini melarang hisab tentu juga ia melarang baca tulis karena hadis itu menyebutkan kedua hal tersebut bergandengan. Jelas ini tidak logis dan tidak seorangpun mengatakan bahwa Nabi saw melarang baca tulis.
4. Argumen Pemikiran, yaitu bahwa hisab merupakan spekulasi dan tidak memberikan kepastian.
Catatan : bahwa dalam hadis-hadis Nabi saw ini perintah rukyat hanya terkait dengan ramadhan dan syawal, sedang rukyat untuk bulan zulhijjah tidak disebutkan dalam hadis.
III. Argumen Pendapat yang Membolehkan Penggunaan hisab.
1. Firman Allah dalam surat ar-Rahman ayat 5 dan surat Yunus ayat 5,
الشمس والقمر بحسبان
Artinya; Matahari dan Bulan beredar menurut perhitungan. (Q. 55:5)
هو الذي جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عدد السنين والحساب
ماخلق الله ذلك الا بالحق يفصل الايات لقوم يعلمون
Artinya; Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya bagi Bulan itu Manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (Q. 10:5)
Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Bulan dan Matahari beredar dalam orbitnya dengan hukum-hukum yang pasti sesuai dengan ketentuan sang Pencipta karena itu peredaran benda-benda langit tersebut dapat dihitung (dihisab) secara tepat. Penegasan bahwa peredaran matahari dan Bulan dapat dihitung bukan sekedar informasi belaka, melainkan merupakan pernyataan imperatif yang memerintahkan untuk memperhatikan dan mempelajari gerak dan peredaran benda-benda langit agar dimanfaatkan untuk penentuan bilangan tahun dan perhitungan waktu secara umum dan untuk meresapi keagungan Sang Pencipta.
2. Firman Allah dalam Surat Yasin ayat 39-40,
والقمر قدرناه منازل حتي عاد كالعرجون القديم، لاالشمس ينبغي لها ان تدرك القمر ولااليل سابق النهار
وكل في فلك يسبحون،
Artinya; Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Q.36: 39-40)
Ayat 39 surat Yasin ini bila dihubungkan kepada ayat 5 surat Yunus menjelaskan bahwa Allah telah menetapkan manzilah-manzilah bagi perjalanan Bulan mengelilingi bumi. Ketetapan Allah itu bersifat pasti sehingga, bila dihubungkan kepada ayat 5 surat ar-Rahman, perjalanan bulan dan posisi-posisinya dapat dihitung. Ini adalah isyarat kepada penggunaan hisab.
Selain itu kedua ayat surat yasin ini memberikan pula kriteria hisab untuk menentukan awal bulan baru. Dalam ayat 39 dijelaskan bahwa Bulan dalam perjalanan kelilingnya mengelilingi bumi menempati posisi-posisi hingga posisi terakhir di mana terjadi kelahiran Bulan baru. Secara astronomis kelahiran Bulan baru itu adalah saat ijtikmak (konjungsi), yaitu saat Bulan berada pada titik terdekat kepada garis lurus antara pusat bumi dan matahari jadi ayat ini memberi isyarat bahwa terjadinya konjungsi (ijtimak adalah salah satu Kriteria untuk menentukan bulan baru. Hanya saja kriteria ini belum memadai kerena ijtimak itu bisa terjadi kapan saja; pagi, siang, tengah malam, dini hari dan seterusnya, sementara bulan itu harus utuh bilangannya, tidak bisa 29⅜ hari misalnya.
Oleh karena itu diperlukan kriteria lain lagi sebagai tambahan, yaitu saat pergantian hari seperti yang diisyaratkan oleh ayat 40 itu. Saat pergantian hari itu adalah saat matahari terbenam (magrib). Kemudian ayat 40 itu juga mengisyaratkan satu kriteria lagi, yaitu pada waktu terbenamnya matahari bulan harus sudah mengejar matahari, dengan kata lain Bulan berada di atas ufuk. jadi dapat disimpulkan kriteria awal bulan baru ada tiga, yaitu :
1) telah terjadi ijtimak,
2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam (sebelum magrib), dan
3) pada saat terbenamnya matahari Bulan berada di atas ufuk.
Apabila ketiga kriteria ini terpenuhi, maka malam itu dan keesokan harinya merupakan bulan baru, dan apabila salah satu dari kriteria ini tidak terpenuhi, maka malam itu dan keesokan harinya merupakan hari terakhir (hari ketiga puluh) bulan sedang berjalan, dan bulan baru dimulai lusa.
3. Hadis tentang umat yang ummi:
انا امة امية، لانكتب و لانحسب، الشهر هكذا و هكذا يعني مرة تسعة و عشرين ومرة ثلاثين
(رواه البخاري و مسلم)
Artinya : Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bias menulis dan tidak bisa melakukan hisab.bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari. (HR al-Bukhari dan Muslim)
Berbeda dengan pendapat pertama, pendapat kedua justeru melihat bahwa hadis ini merupkan penegasan 'illat (alasan hukum) mengapa Nabi saw memerintahkan melakukan rukyat untuk memulai dan mengakhiri puasa Ramadan. 'illat perintah itu adalah mengingat keadaan umat yang masih ummi, yaitu belum mengenal secara luas baca tulis dan ilmu hisab. Oleh karena itu sarana untuk menandai masuknya bulan kamariah ditetapkan hal yang mudah dan dapat dilakukan saat itu, ialah rukyat. Ini artinya bahwa setelah ummat terbebas dari keadaan ummi dimana mereka telah mengenal baca tulis dan menguasai ilmu hisab, maka tidak lagi digunakan rukyat melainkan digunakan hisab. Hal itu karena hisab merupakan sarana yang lebih memberikan kepastian. Ini sesuai dengan kaidah fiqh yang menyatakan,
الحكم يدور مع علته و سببه وجودا وعدما
"Hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya 'illat."
Atas dasar itu, beberapa ulama kontemporer menegaskan bahwa pada pokoknya penetapan awal bulan itu adalah dengan mengggunakan hisab,
الاصل في اثبات الشهر ان يكون بالحساب
Artinya; pada asasnya penetapan bulan kamariah itu adalah dengan hisab.
4.Sabda Nabi saw, yang sudah dikuti diatas, yaitu;
........ فان غم عليكم فاقدرواله . (رواه البخاري و مسلم)
...............jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Berbeda dengan pendapat pertama, pendapat kedua yang membolehkan penggunaan hisab, melihat bahwa pernyataan "estimasikanlah" dalam hadis ini diartikan perhitungankan dengan hisab astronomi. Artinya jika bulan terlindung oleh keadaan mendung sehingga tidak dapat dirukyat, maka buatlah perhitungan secara astronomi. Jika menurut perhitungan, posisinya sudah tinggi dan memungkinkan terlihat seandainya tidak ada penghalang, maka akhirilah bulan berjalan dan mulailah bulan baru. Jadi dalam hadis ini ada isyarat penggunaan hisab.
5. Argumen pemikiran bahwa rukyat bukanlah merupakan bagian dari ibadah, melainkan hanyalah sarana untuk menentukan bulan kamariah. Oleh karena itu apabila ditemukan sarana lebih baik dan lebih memberikan kepastian, dalam hal ini hisab, maka digunakanlah sarana tersebut.
Berlandaskan teori induksi tematis, bahwa tema umum yang dapat disimpulkan dari keselurahan hadis-hadis di atas bukan memerintahkan rukyat untuk memulai dan mengakhiri puasa Ramadan. Hal itu karena rukyat tidak selalu dapat dilakukan lantaran ada kalanya Bulan tertutup awan sehingga tidak dapat dirukyat. Sehingga Rasul menyebutkan cara lain juga, yaitu melakukan perhitungan (estimasi) atau menggenapkan bulan berjalan menjadi tiga puluh hari. Bahkan dalam praktinya Nabi saw juga mendasarkan kepada kesaksian para saksi. Jadi jelas di sini bukan rukyat yang menjadi tema dalam keseluruhan hadis mengenai masalah ini. Yang menjadi tema dalam keseluruhan hadis-hadis bersangkutan adalah pemastian bahwa bulan baru telah mulai. Cara untuk memastikan bahwa bulan baru telah mulai adalah dengan beberapa cara: rukyat, estimasi / penggenapan bulan berjalan 30 hari, dan kesaksian para saksi. Cara-cara ini adalah sarana yang tersedia pada zaman Nabi saw. Oleh karena itu bila pada zaman kita sekarang dikembangkan cara yang lebih akurat, dalam hal ini hisab astronomi, maka cara yang lebih akurat itulah yang digunakan.
IV. Penegasan Para Ulama Dalam Hisab
Perlu diketahui bahwa pendapat yang membenarkan penggunaan hisab bukanlah suatu hal baru, melainkan telah merupakan pandangan yang cukup tua dalam sejarah Islam, walaupun pada mulanya hisab hanya digunakan pada saat cuaca mendung. Orang pertama tercatat membolehkan penggunaan hisab adalah Mutarrif Ibn 'Abdillah ibn as-Syakhkhair, seorang ulama Tabiin Besar, kemudian Imam Syaf'i (w.204/820) dan Ibn Suraij, seorang ulama Syafiiah abad ke 3 H. Dalam kaitan ini Ibn Rusyd Sang Cucu (w.595/1199) menegaskan,
"Diriwayatkan dari beberapa ulama salaf bahwa apabila bulan tertutup awan, maka dipegangi hisab dengan memperhitungkan perjalanan Bulan dan matahari. Ini adalah mazhab Mutarrif Ibn asy-Syakhkhair, seorang ulama Tabiin Besar".
Ibn Suraij meriwayatkan dari Imam asy-safi'i bahwa beliau mengatakan:
"Barang siapa mazhabnya adalah memegangi hisab perbintangan dan posisi-posisi Bulan kemudian melalui pembuktian dengan hisab itu ternyata Bulan seharusnya dapat dilihat seandainya tidak ada awan, maka dia boleh berpuasa dan puasanya itu sah"
Dalam al-Muhazzab, Imam asy-Syirazi (w.476/1083) menulis,
"Apabila hilal tertutup awan dan ada orang yang mengetahui hisab dan manzilah-manzilah bulan dan dengan hisab itu ia mengetahui bahwa bulan Ramadan telah masuk, maka orang itu wajib puasa karena telah mengetahui masuknya bulan dengan suatu dalil sehingga sama dengan kesaksian (rukyat)..."
Ulama-ulama lain yang memegangi hisab adalah Muhammad Ibn Muqatil ar-Razi, murid dari Muhmmad Ibn al-Hasan sahabat Abu Hanifah, Ibn Qutaibah (w.276/889), Muhyiddin Ibn 'Arabi (w. 637/1240), Ibn Daqiq al-'id (w. 702/1302)
Muhammad Rasyd Rida;
"Tujuan Pembuat Syari'ah... bukan untuk menjadikan rukyat hilal sebagai ibadah itu sendiri. Pengaitan penetapan awal bulan dengan rukyat hilal atau menggenapkan bilangannya 30 hari apabila hilal tidak terlihat, illatnya adalah karena keadaan umat pada waktu itu yang masih ummi"
Mustafa Ahmad az-Zarqa;
"Saya yakin benar bahwa para ulama salaf kita itu, yang menolak penggunaan hisab, seandainya mereka hidup di zaman sekarang dan menyaksikan kemajuan mengagumkan yang dicapai astronomi (ilmu falak) pastilah mereka akan mengubah pendapatnya".
Yusuf al-Qardawi;
"Apabila terdapat sarana lain yang lebih mampu mewujudkan tujuan hadis dan lebih terhindar dari kemungkinan keliru, kesalahan dan kebohongan mengenai masuknya bulan baru, ....yakni setelah di kalangan mereka terdapat sarjana-sarjana dan ahli-ahli astronomi, .... maka mengapa kita masih tetap jumud dalam soal sarana yang tidak mjenjadi tujuan pada dirinya?"
Syamsul Anwar;
"Satu hal yang perlu dicamkan betul bahwa umat Islam tidak akan pernah mungkin bisa membuat suatu sistem kalender qamariah internasional terpadu tanpa sepenuhnya memegangi hisab".
V. Penutup
Dengan kemajuan ilmu astronomi pada zaman modern sekarang banyak hal mengenai perilaku peredaran Bulan dan penampakannya di bumi dapat diketahui, yang pada zaman lampau tidak diketahui. Pada zaman para imam mujtahidin, orang belum mengetahui bahwa bumi ini bulat dan berputar pada sumbunya, yang oleh karena itu untuk pembuatan penanggalan harus ditetapkan sebuah garis dimuka bumi ini untuk menentukan kapan dan dimana hari dimulai dan diakhiri dan itulah yang disebut Garis Tanggal Internasional. Orang saat itu juga belum mengetahui bahwa penampakan hilal di muka bumi pada waktu visibilitas pertama adalah terbatas dan membentuk garis parabolik, dan bahwa kawasan yang terletak disebelah utara Garis Lintang Utara 60° dan di sebelah selatan Garis Lintang Selatan 60° tidak pernah dapat melihat hilal. Pada zaman itu orang juga belum mengetahui bahwa semakin ke timur posisi pengamat di muka bumi semakin kecil peluang untuk melihat hilal.
Zulkarnain Nasution
Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir















