
Pernyataan beberapa pejabat publik , tentang etika berbusana kaum wanita, di media masa televisi dan cetak menjadi sorotan masyarakat luas. Misalnya terkait dengan banyaknya kasus pelecehan seksual di angkutan umum, pada detik.com tanggal 16 September 2011 yang berjudul: Foke sentil perempuan pakai rok mini di angkot, dalam berita tersebut Fauzi Bowo atau yang biasa dipanggil Foke, menyatakan “Tetapi bayangkan juga kalau orang naik mikrolet, duduk di depan tetapi pakai rok mini, kan agak gerah juga”. Lalu Marjuki Ali, ketua DPR RI, menyatakan pelarangan penggunaan rok mini bagi staf menjadi bagian tugas kesekjenan. Namun, ia berpandangan bahwa pakaian perempuan yang tidak pantas menjadi salah satu pendorong kaum laki-laki untuk melakukan tindakan asusila hingga pemerkosaan. "DPR ini nggak urusi rok mini. Tetapi, kita tahu, banyak sekali terjadinya perkosaan, kasus-kasus asusila, karena perempuannya tidak berpakaian yang pantas sehingga membuat hasrat laki-laki itu menjadi berubah. Itu yang harus dihindari. Namanya laki-laki, ada pakaian yang tidak pantas, itu yang menarik laki-laki itu akhirnya berbuat sesuatu,"
Pernyataan publik yang disampaikan oleh beberapa pejabat ternyata bias gender. Karena itu menuai kritik pedas dari masyarakat, terutama oleh kaum wanita yang merasa dilecehkan. Publik menganggap pejabat negara kita masih dikuasai oleh orang-orang yang berpikir dalam kerangka patriarchy yaitu ideology gender yang menempatkan kaum wanita di bawah kaum pria, dan kaum pria menguasai wanita. Pertanyaan kemudian mucul “Bagaimana bentuk konstruksi sosial budaya ideologi gender ini? Dan mengapa masih terekspresikan oleh pejabat negara yang dianggap memiliki kapasitas intelektual yang cukup untuk menyadari diskursus gender sebagai ideologi yang mendeskriminasikan kaum wanita?”
Patriarchy sebagai Idiology Gender
Sebuah ideologi merupakan sebuah pandangan hidup yang dikembangkan secara sengaja untuk kepentingan golongan atau kelas sosial tertentu. Ideologi menjadi sesuatu yang dihayati dan menjadi keyakinan. Magnis Suseno berpendapat bahwa ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut.
Patriarchy adalah sebuah ideologi gender yang mengatur relasi hubungan pria dan wanita dalam masyarakat. Ideologi ini dibuat dengan cara pandang kaum pria yang merasa berkuasa dan perlu mempertahankan status quo ini (Machiavelli). Karl Marx (1845) mengunggapkan ideologi patriarchy sebagai berikut:
“We do not set out from what men say, imagine, conceive nor from men as narrated, thought of, imagined, conceived, in order to arrive at men in the flesh. We set out from real, active men, and on the basis of their real life process we demonstrate the development of the ideological reflexes and echoes of this life process. Morality, religion, metaphysics, all the rest of ideology and their corresponding forms of consciousness, thus no longer retain the semblance of independence. They have no history, no development: but men, developing their material production and their material intercourse alter, along with their real existence, their thinking and the products of their thinking. Life is not determined by consciousness, but consciousness by life.”
Feminis Roberta Hamilton mengatakan bahwa analisis feminis yang memfokuskan diri ada ideologi patriarchy yang menggunakan perbedaan sex yang merupakan produk sejarah secara alamiah sebagai upaya melegitimasi dominasi pria dan subordinasi wanita dalam masyarakat. Menurut Halley bentuk-bentuk dominasi pria dalam budaya patriarchy tercermin pula dalam stereotype terhadap tubuh perempuan. Perempuan harus tunduk dan patuh dengan konsep-konsep kecantikan yang merupakan produk budaya pria. Ini sering terjadi dalam keluarga dan masyarakat. Banyak wanita tidak menyadari, dan akhirnya ikut berlomba-lomba merawat dan mempercantik dirinya untuk menyenangkan kaum pria.
Sementara itu Rosalind Miles berpendapat, pria tidak hanya tidak memerintah ataupun mengeksploitasi perempuan, “mereka memiliki sedikit atau sama sekali tidak memiliki kendali atas tubuh perempuan maupun anak-anak mereka, sehingga tidak ada yang namanya penyakralan akan suatu keperawanan atau kesucian, dan (kaum lelaki) tidak menuntut apapun dari eksklusivitas aktivitas seksual perempuan. Simone de Beauvoir (1947) mengatakan perempuan hanyalah makhluk kedua yang tercipta secara kebetulan setelah laki-laki dan dirinya harus dapat menyenangkan hati suaminya agar selamat di kemudian hari dengan berdandan secantik mungkin. Ketika perempuan tidak berhasil mendapatkan kecantikan yang diinginkan maka dirinya tidak dicintai oleh laki-laki khususnya, dan masyarakat pada umumnya.
Dalam pandangan Connel Dzuhayatin idiologi kultural semacam ini adalah ciptaan kelompok dominan yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu (self-interest) untuk melanggengkan hegemoninya terhadap kedudukan perempuan. Hegemoni menjadi penting untuk melanggengkan stabilitas. Dari sini, faham deterministik tumbuh subur. Perempuan dituntut secara tak sadar untuk hanya pasrah menerima nasibnya. Seolah keterbatasan mereka adalah sabda dari langit yang tak terbantahkan. Sikap pasrah melumpuhkan nalar kritis. Ketiadaan nalar kritis berujung pada langgengnya hegemoni. Langgengnya hegemoni hanya kata lain dari pelestarian struktur sosial yang tak adil.
Budaya Patriarchy yang Tertanam Kuat dalam Masyarakat.
Kontraversi pernyataan publik, pejabat pemerintah terkait etika busana wanita memperlihatkan masih banyak tokoh-tokoh masyarakat kita yang masih berkutat dalam pemikiran yang diskriminatif terhadap wanita. Tidak saja Fauzi Bowo atau Marzuki Ali, beberapa lainnya seperti Bambang Susatyo, bendahara Umum Golkar mengatakan:”Banyak di antara anggota DPR berlatar belakang artis masih bergaya selebritis. Berpakaian dengan warna mentereng dan tampil sensual. Belum bisa membedakan mana ke DPR mana acara keartisannya. masih tampak seksi. Bisa saja seksi di mata dia, tapi tampak biasa di mata orang lain. Batasan seksi memang relatif penilaian masing-masing. Pakaian seksi tidak diukur dengan rok mini tapi blus ketat, kancing dibuka dua ke bawah. Sikap genit dan lain lain," Kemudian Pramono Anum, Wakil Ketua DPR: “Kategori berpakaian tertutup, tidak menimbulkan interpretasi macam-macam bagi kaum lelaki, juga bagi perempuan,". "Ya disamping itu mencegah sesuatu yang tidak diinginkan.” Kemudian ada lagi pernyataan Ramli Mansyur, Bupati Aceh Barat, “perempuan yang tidak berpakaian sesuai syariah seperti minta diperkosa.”
Pernyataan-pernyataan pejabat diatas bukan tanpa akar. Mereka mewakili alam pemikiran banyak kaum pria di Indonesia dan diseluruh dunia, dan ini sudah dibangun sekian lamanya sepanjang peradaban manusia. Pada dasarnya, peradaban, merupakan sejarah dominasi terhadap alam dan perempuan. Patriarki berarti penguasaan terhadap perempuan dan alam.
Pada masa berburuh, perempuan kemudian di tempatkan pada urusan-urusan domestik. Pendomestikan perempuan ini kemudian menjadi suatu budaya yang mengakar kuat dalam masyarakat sampai sekarang. Perempuan dan laki-laki kemudian dikonstruksikan secara sosial untuk menjadi seseorang seperti yang telah menjadi 'kesepakatan' bersama. ini yang disebut oleh Gramcsi sebagai kekuatan Hegemoni. Misalnya anggapan yang sudah berterima dalam masyarakat seperti sifat-sifat yang di sebelah kiri dikonstruksikan untuk menjadi sifat-sifat perempuan sedangkan yang sebelah kanan adalah milik laki-laki. Perempuan dikategorikan sebagai mahluk yang lemah, yang emosional sehingga dalam tugas dan tanggungjawabnya, tempat perempuan adalah dalam ruang-ruang privat (dalam rumah). Sifatnya yang emosional, subjektif menyebabkan perempuan tidak mampu untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan logika, akal sehat dan keobjektifan. Sementara laki-laki adalah sosok yang mampu berpikir, mampu mengolah alam menjadi sebuah kebudayaan, mampu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sulit yang memerlukan keobjektifan, logika dan akal sehat. Perempuan adalah sosok pengabdi, penurut, pihak yang dipimpin, sementara laki-laki adalah sosok pengambil keputusan, sang pemimpin. Itulah gambaran yang diberikan untuk laki-laki dan perempuan.
Konstruksi ini telah dibentuk dan dilestarikan selama berabad-abad oleh umat manusia dan menjadikannya seolah-olah sesuatu yang alamiah, yang biasa, dan kelompok-kelompok yang mencoba untuk menentangnya kemudian dianggap aneh. Begitu mengakarnya konstruksi sosial yang telah dianggap sebagai sesuatu yang alamiah, yang kodrati, menyebabkan pelestari perlakuan ini termasuk juga perempuan. Konstruksi ini bahkan sudah dimulai dari unit masyarakat terkecil, yaitu keluarga, sehingga ideologi ini sangat tertanam kuat. Menurut Ollenburger (1996) Patriarchy dimulai dari dalam hubungan-hubungan antara suami isteri, bapak-ibu dan anak-anak dalam keluarga. Lembaga keluarga dipandang sebagai institusi otoritas sang “Bapak”, dimana pembagian kerja berdasarakan gender dan opresi terhadap perempuan disosialisasikan dan diproduksi. Keluarga sarat dengan muatan-muatan ideologis dan kepentingan kelas yang berkuasa, yaitu laki-laki. Contohnya adalah perlakuan berbeda kepada anak perempuan dan laki-laki, dalam setiap kesempatan anak-anak laki-laki didoktrinasi sebagai calon pemimpin keluarga yang harus melindungi perempuan yang lemah. Anak laki-laki bekerja di ladang sedangkan anak perempuan didapur. Hal-hal seperti ini diulang-ulang, menjadi rutinitas dan akhirnya menjadi norma.
Dalam struktur budaya kita, terdapat prasangka laten yang memojokkan perempuan atas dasar sebab alami (nature) dan kepantasan adat (culture). Dua hal itu dijadikan dalih untuk memasung eksistensi perempuan. Padahal, pada diri perempuan terdapat potensi agent of change. Hanya saja, hal itu tak bisa menjadi fakta umum karena pada praktiknya, perempuan selalu dihadang pada dua prasangka sekaligus. Pertama, menjadi agen domestik yang hanya bertugas menjadi khadim (pelayan) bagi laki-laki. Kedua, keterbatasan peran di sektor publik. Yakni, ketiadaan hak untuk berkiprah secara sosial, karena ruang itu telah dimonopoli secara mutlak oleh laki-laki.
Beberapa contoh budaya patriarchy tercerminkan dalam adat istiadat suku-suku di nusantara misalanya pemisahan maskulin dan feminim pada suku Bimin-Kushumin Papua Nugini sebagai sesuatu yang mendasar dan menegaskan. ”Esensi” maskulin, yang diistilahkan sebagai finiik, tidak hanya melambangkan kualitas-kualitas kekuatan ala ksatria perang, tapi juga berhubungan dengan ritual dan kontrol. ”Esensi” feminim, atau khaapkhabuurien, adalah sesuatu yang liar, impulsif, sensual, dan acuh. Dalam masyarakat Jawa terdapat anggapan "anak lanang mikul dhuwurmendhemjero" berdampak pada peran anak laki-laki dan perempuan. Kata lanang dengan kata wadon pada kalimat lanang iku tegese alaa menang' laki-laki itu meskipun jeiek tetap menang' dan cdh lanang kuwi kudu bandel "anak laki-laki itu harus pemberani dan tahan banting". Dan kata: wong wadon iku swarga nunut neraka kulut 'wanita itu surga numpang suami dan jika suami ke neraka terbawa.
Selain itu dogma agama yang chauvinis terhadap maskulinitas merupakan sumber pijakaan yang fundamental yang mengarahkan opresi terhadap kaum perempuan. Dalam Islam misalnya dinyatakan bahwa Arrijalu qawwamun ngalannisak" diterjemahakan: para lelaki adalah qawwamun atas para, wanita. Kata qawwamun diterjemahkan dengan pemimpin.dalam kutipan Quran misalnya: Qur’an dapat dilihat pada ayat tentang wudlu sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (al-Maidah/5:6)
Ayat tersebut sangat jelas sedang berbicara hanya pada laki-laki karena ayat tersebut secara jelas pula menyebutkan menyentuh perempuan (dengan segala konotasinya) sebagai hal yang menyebabkan batalnya “kesucian” laki-laki. Dalam agama Nasrani misalnya (Kej 1:26-28) menegaskan bahwa hanya laki-laki yang diciptakan segambar dengan Allah, sedangkan perempuan berstatus secondary degree.
Kesimpulan
Pernyataan pejabat di depan publik terkait etika busana wanita menuai banyak kecaman karena dianggap melecehkan kaum wanita. Pernyataan mereka bias dan diskriminatif terhadap kaum perempuan yang acapkali menjadi korban terhadap arogansi pria. Pernyataan para pejabat ini bisa meyimpulkan masih kuatnya budaya patriarchy menguasai realita dan dunia gagasan di Indonesia.
Budaya patriarchy adalah sebuah ideologi yang dibuat untuk melanggengkan kekuasaan kaum pria dan wanita. Posisi wanita dikonstruksikan sebagai pihak yang lemah secara alamiah dianggap sebagai sebuah kewajaran hukum alam yang tidak bisa ditolak. Peradaban manusia dimulai dari rumah sampai pada masyarakat telah membentuk nilai-nilai yang mengecilkan peranan wanita bila dibandingkan dengan pria. Diskrimnasi sangat jelas terlihat dalam filsafat dan praksis setiap budaya di Indonesia. Dalam hal ini agama yang kawin campur dengan budaya turut andil melecehkan kaum wanita dengan memberikan pijakan moral melalui dogmanya yang bias gender.
Langkah-langkah strategis perlu dilakukan untuk mengangkat harkat kaum wanita yang secara idiologis dilecehkan. Salah satunya adalah dengan cara mengembangkan wacana tandingan yang menentang diskriminasi terhadap kaum wanita. Kehadiran kaum feminis adalah sebuah berkah dimana teori-teori yang dibuat dapat digunakan untuk membuka kedok idiologis budaya patriarchy dalam aspek-aspek kehidupan. Pendidikan terhadap kaum perempuan harus terus dilakukan untuk membentuk kemandirian yang menjadi modal utama mencapai kesetaraan gender.
Daftar Pustaka
Faisal, Abdullah, 2002. " Konsep Wawwam di Dalam Alquran (Sebuah Pendekatan Teori Medan Makna). Dalam Relasi Jender dalam Islam. Surakarta: Pusat Studi Wanita STAIN Surakarta.
Fakih. Mansoer,1996. Analisis Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta ,Pustaka Pelajar.
Hardiman.F.Budi, 2009, Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan kepentingan Bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta, Kanisius.
Hollow Joanne, 2000, Feminisme, Feminitas,dan Budaya Populer, Yogyakarta, Jalasutra
Roberta Hamilton, 1978, The Liberation of Women, London.
Romany Sihite, 2007, Perempuan, Kesetaraan dan Keadilan: Suatu Tinjauan berwawasan Gender, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Rosalind Miles, 1986, The Women’s History of the World, London, Michael Jhonson
Supatra, Hendarto dan Mujid F, Amin, 1996, Analisis Kontrastif Kata Lanang dan Wadon: Suatu Kajian Sosiosemantik untuk Mengungkap Status Wanita Jawa, Dalam Lembaran Sastra. No. 20 tahun 1996.
Zulkarnain Nasution
Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir
0 comments:
Post a Comment