30 October 2014

MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH

Manusia sebagai pembawa misi risalah Tuhan telah diberikan kelebihan akal pikiran sebagai pembeda dengan makhluk lain di dunia ini. Alam akal yang dipenuhi simbol-simbol materi harus mampu merasionalisasikan simbol-simbol itu menjadi penuturan makna yang dapat dituturkan menjadi sebuah nilai manfaat bagi keberlangsungan semesta. Untuk itu Allah menjadikan manusia sebagai pengatur keberlangsungan itu yang disimbolkan sebagai Khalifah. Adapaun makna khalifah adalah pengganti (pengganti Tuhan di Bumi),  dimana keberadaan manusia di bumi sebagai perpanjang tanganan Tuhan harus mampu membentuk dinamika hikmah sesuai kebutuhan manusia agar alam dunia ini mampu bertahan dalam keseimbangan. Bisa juga khalifah dimaknai sebagai pemimpin (pemimpin di bumi), berharap bahwa manusia harus menjadi pengatur, pengelola, dan pembangun bumi dengan standar hikmah yang dapat dirasionalisasikan akalnya. Karena itu pula ketika malaikat disebutkan bahwa Allah ingin mengirimkan khalifah ke bumi , malaikat lalu protes atas dasar apa kesesuaian manusia menjadi khalifah? 

Dialog terbuka dalam forum yang berhadap-hadapan dengan Tuhan, mengakibatkan sekolompok malaikat yaitu Iblis harus durhaka kepada Tuhan karena tidak mampu mencerna kedalamanan maksud Tuhannya untuk mengirimkan khalifah ke bumi.  Walaupun belakangan tersadar bahwa akan ada konsekuensi kedurhakaannya maka tak segan-segan iblis memintak kepada Tuhan agar khalifah, "baik itu dalam pengertian sebagai pengganti atau pemimpin" untuk nanti dapat digoda oleh kelompoknya. Godaan itu bertujuan agar manusia tidak mampu memaksimalkan akalnya untuk membaca simbol-simbol materi sehingga keseimbangan alam sulit untuk ditemukan sebagai eksistensi tugas manusia di bumi. Harapannya adalah manusia yang telah diagungkan tuhan dihadapan malaikat itu dapat bersama-sama iblis menjalani kesesatannya di neraka sebagai konsekuensi kedurhakaan.

Permintaan itupun akhirnya direlakan Tuhan dengan penegasan bahwa iblis hanya mampu menyeret ke neraka bagi orang-orang yang mencoba tenggelam dalam hawa nafsu dan sedikit menggunakan rasional untuk membaca kebesaran makna dan simbol-simbol Tuhan di bumi. Kesepakatan itu direalisasikan dengan perintah agar iblis dan manusia turun kebumi di dua ruang yang berbeda. ruang zhahir (nyata) untuk manusia dan ruang ghaib untuk iblis.  Dua dimensi ruang ini diberikan Allah tanggungjawab pengelolaannya kepada kedua makhluk ini pula.

Dalam misi selanjutnya, Allah langsung menunjukkan kepada malaikat perbedaan khalifah dengan para malaikat. Demonstrasi malaikat seketika terhenti tatkala Allah memintak kapada manusia untuk mendemokan pengetahuannya kepada para malaikat yang mana pengetahuan itu tidak dimiliki mereka. Pengetahuan itu berupa nama-nama yang diurai adam satu persatu dihadapan malaikat sehingga malaikat pun terus tertunduk dan bertasbih kepada Tuhannya seraya menyerahkan segala keputusan itu hanya menjadi hak preogeratif tuhan. Pengetahuan yang diberikan Allah kepada manusia dalam bentuk wahyu yang langsung diilhamkan kesetiap alam ruh manusia yang akan dibentuk menjadi fondasi spiritual. kegunaannya adalah untuk memberikan jawaban kepasrahan akal akan alam supranatural yang tidak dapat disimbolkan secara rasional tetapi dapat dirasakan keberadaannya. Keseimbangan pun terbentuk pada diri manusia dengan diletakkannya ilmu pengetahuan pada ruh manusia dan diberikannya akal untuk mengelola pengetahuan itu menjadi nilai-nilai kemaslahatan eksistensinya di bumi. Struktur jiwa dan akal yang telah terbentuk pada kepribadian manusia yang akan menempatkannya menjadi makhluq yang tangguh dibanding makhluk lainnya yang Allah telah ciptakan.   
    
Untuk menyempurnakan ketajaman struktur tersebut, Allah juga mengirimkan rahmat-Nya berupa nabi dan kitab suci sebagai bacaan dan keseragaman arah pembangunan manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai pengganti tuhan untuk memelihara dan juga membangun peradaban dinamis tetapi juga terus mengingatkan ada iblis yang bertugas sebagai setan yang selalu mempengaruhi alam jiwa dan akal manusia untuk melepaskan tanggungjawabnya sebagai khalifah. Sebagai rahmat tentu saja harus dapat digunakan dengan menemukan bermacam makna (hikmah) dalam menentukan kebijakan-kebijakan perjalanan peradaban yang akan dibangun di bumi dengan selalu menjauhkan nilai-nilai paradoks yang akan menggeser keseimbangan itu sendiri. Mungkin bisa disederhanakan bahwa harapan besar Allah adalah manusia mampu mengelola bumi dengan rahmat yang telah diberikan untuk dapat membawa keberkahan dalam kehidupan. Keberkahan yang dimaksud merupakan keseimbangan materi dan spritual harus berjalan beriringan yang dapat dikontemplasikan ke puncak keagungan manusia yang akan binasa secara materi tetapi tetap abadi secara ruh.

Selama kesadaran itu melekat pada diri manusia maka tidak akan ditemukan seorang pemimpin yang tidak bersungguh-sungguh dalam menciptakan peradaban. Manusia tidak akan menemukan kemunafikan dalam ornamen-ornamen pembanguan itu karena semua tersadar bahwa jasadnya lambat laun akan terus melemah menjadi tua tetapi ruh atau jiwanya terus memuncak ingin bertemu dengan sang Kuasa yang telah memerintahnya untuk turun ke bumi menggantikan-Nya sebagai pemimpin pencipta peradaban luhur. Adapun khalifah akan benar-benar menyeleksi menteri-menterinya yang tajam secara alam materi tetapi juga tidak bisa melepaskan ketajaman alam spiritualitasnya.  
   
Pemimpin akan melakukan doktrinisasi kepada menteri-menteri bahwa inti dari kesuksesan kepemimpinan itu bukan saja menciptakan peradaban pada alam pembangunan materi yang tampak pada mata-mata materialistik yang menghedonasi masyarakat seperti gedung-gedung tinggi dan jalan tol melintasi laut.  Tetapi kebutuhan mendasar adalah aktualisasi dari kebahagian ruh dengan mempertajam spiritualitasnya dengan memberikan kenyamanan berupa memenuhi fasilitas kebutuhannya dengan menciptakan keseimbangan pemenuhan dua alam itu. Dengan penyederhanan bahwa kedua alam itu harus menjadi perhatian pemimpin dengan dijalankan oleh manusia-manusia yang persepsi dan orientasinya selaras dengan kemauan Tuhan. 

Zulkarnain Nasution

Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir

28 October 2014

Membumikan Spirit Haji (2)

Perjalanan jemaah haji selanjutnya adalah mabit di Mina. Bagi yang memutuskan nafar awal mereka akan mabit dimulai tanggal 10, 11,12 dan ditambahkan satu hari tanggal 13 Zulhijjah untuk mereka yang nafar tsani. Di Mina para jemaah haji  akan menemukan pengalaman spiritual yang berbeda-beda dalam menjalankan prosesnya tergantung bagaimana mereka mampu menyelami simbol dari makna ritual melontar jumrah sebagai simbol pengganti setan penggoda di saat nabi Ibrahim ingin menyembelih anaknya Ismail. 

Ketika itu setan mencoba untuk menggagalkan prosesi penyembelihan Ismail dan kemenangan berpihak kepada Ibrahim sehingga Allah gantikan sembelihan itu dengan seekor kibas sebagai balasan komitmen Ibrahim dalam menjalankan perintah. Komitmen Ibrahin yang disimbolkan dengan melontar tiang-tiang jumrah sebagai bentuk penaklukan kepada setan dan hawa nafsu terwujud dalam prosesi ritual haji. Hal yang sama diharapkan kepada para jemaah haji bahwa sekembalinya ke tanah air untuk selalu berkomitmen dalam menerapkan nilai-nilai Islam sebagai konsekuensi logis dari aplikasi haji itu sendiri. Dan selalu menurunkan tensi hawa nasfsunya dalam mengejar duniawi yang berorientasi profit duniawi semata. 

Jemaah haji harus mampu menjadi motivator bagi keberadaan agama tanpa mengesampingkan dua dimensi kehidupan. Dunia dan Akhirat harus selalu berdampingan dalam orientasi hidup kedepan. Guna memberi paham kepada masyarakat bahwa mengejar kesuksesan dunia bukan berarti harus meninggalkan "Tuhan" tetapi justru kesuksesan dunia dibutuhkan sebagai manifestasi kehidupan akhirat itu sendiri jika keduanya dilakukan beriringan sesuai petunjuk Tuhannya. "Maka di antara manusia ada orang yang berdo'a: Ya tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia" dan tiadalah baginya meminta bahagian kebahagian akhirat" (QS. al-Baqarah 2; 200). Diriwayatkan bahwa salah satu suku arab ketika berhaji dalam doanya tidak menyebut-nyebut urusan akhirat sama sekali malah cenderung memintak hanya yang berkaitan dengan urusan duniawi. seperti: Ya Allah, semoga Allah menjadikan tahun ini, tahun yang banyak hujannya, tahun makmur yang membawa kemajuan dan kebaikan.

Masyarakat yang tinggal di sekitar jemaah haji harus dapat dipahamkan bahwa kenikmatan yang dinikmati dalam hari-harinya adalah mutlak pemberian Allah semata dan untuk mendapatkan kenikmatan yang proporsional hanya akan di dapat bagi seseorang yang komitmen dalam menjalankannya. Apabila seseorang berkomitmen hanya mengejar dunia belaka maka itu juga Allah akan berikan, akan tetapi tidak memberikan aura positif bagi keberlanjutan sosial masyarakatnya. dikarenakan komitmen itu akan bias memancar di luar koridor kebaikan dan nilai universal dalam struktur sosial. Dan akan membentuk kepribadian buas tanpa batas yang melangkahi hak-hak orang lain.
   


Pola keselarasan yang dibangun nabi Ibrahim menunjukkan bagi jemaah haji bahwa sebuah komitmen dibutuhkan kesabaran tingkat tinggi kendatipun berat untuk dilakukan. Di mana setan-setan terus menggoda untuk selalu menjauh dari perintah agama, curang dalam berbisnis, memanfaatkan kekuasaan dalam  memperkaya diri sendiri, menjauhkan diri dari keadilan karena penilaian subyektif dan lain-lain. Maka Ibrahim lebih memilih bersabar dari itu semua demi sebuah jalan kesuksesan menuju pintu kebahagian yang langsung Allah berikan. Karena kebahagian yang di dapat tanpa melanggar agama, itu akan sepi dari hujatan dan makian masyarakat yang membuat dirinya terhina tetapi justeru akan memberi manfaat bagi keluarga dan lingkungan masyarakatnya. "Dan di antara mereka ada yang  berdoa: Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka" (QS. al-Baqarah 2; 201).   

Seharusnya bagi bangsa besar seperti Indonesia selayaknya akan menemukan banyak orang-orang yang berkomitmen dalam perintah agamanya yang mengajarkan nilai-nilai universal seperti keadilan, kebersamaan, permusyawaratan, kesabaran, keikhlasan, dan kejujuran dikarenakan hampir 200.000 orang setiap tahunnya di cetak untuk menjadi penerus Ibrahim dilingkungannya.   Namun dapat disaksikan saat ini, jiwa-jiwa itu ditarik oleh setan-setan hawa nafsu yang menggugurkan imannya bersama gugurunya batu-batu kerikil yang dilontarkannya di Mina. Keadaan ini dapat terlihat pada kemelut korupsi yang dilakukan oknum di negara ini, dimana menurut data KPK sepanjang 2004 sd. maret 2014 ada 402 orang yang terjerat korupsi. Mereka berasal dari beragam profesi. Jika menilik pada data Kementerian Dalam Negeri yang dirilis awal 2014, terdapat 318 kepala daerah yang terjerat korupsi. Baik yang ditangani KPK, Kejaksaan, maupun Polri. Adapun jumlah uang yang di korupsi tiap tahunnya ini dapat mengatasi isu kelaparan dunia 80 kali. Dan uang yang di curi dari publik juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan, mengangkat masyarakat dari kemiskinan dan lain sebagainya. 

Secara mental ada kerusakan yang serius, yaitu hilangnya kejujuran dan dipisahkannya ketertautan antara apa yang diperbuat di dunia ini dengan kesadaran terhadap negeri akhirat. Dengan absennya kejujuran maka yang menggantikannya adalah kedustaan. Bermula dari dusta antar personal kemudian berkembang menjadi kedustaan publik bahkan bisa merambah jadi kedustaan institusional. Kalau sudah begitu, tidak ada lagi orang yang mau mengakui kesalahan malah justeru menyalahkan pihak lain, dan ujung-ujungnya mengorbankan pihak lain demi  membela akuisme personal atau egoisme lembaga. Pada alur ini cara-cara rekayasa, penjebakan, pengerdilan dan boleh jadi kriminalisasi menjadi pilihan yang dijalani.

Untuk menghindari hal-hal negatif tersebut, maka sangat diharapkan dari prosesi historis Mina tersebut mampu melahirkan para jemaah haji yang tidak mudah putus asa dalam mngaktualisasikan nilai-nilai agama dalam hidupnya karena kesadaran bahwa dunia dan ahirat tidak dapat terpisahkan. Cengkeraman tangan Allah ada didalam perjalanan hidup manusia itu sendiri walaupun pada kenyataannya setan-setan itupun selalu terus menghampiri. Yang harus terus diingat bahwa setan-setan itupun merupakan utusan Tuhan untuk mengukur tingkat kesabaran manusia dalam meyakini keberadaan Tuhan sebagai pembuka pintu kemuliaan dan kebahagiaan.

Zulkarnain Nasution

Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir

24 October 2014

Silaturahmi Bangun Interaksi Sosial

Silaturahmi dikenal di semua agama. Namun, kemungkinan di tiap-tiap agama, makna dan filosofinya berbeda-beda. “Islam sangat menganjurkan silaturahmi,” ungkap H. Zulkarnain Nasution, Lc., Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah.

Hal ini mengacu pada surat (QS An-nisa)  4: 1 yang berbunyi “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (pelihara) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.

 Dari QS An-nisa tersebut, Zulkarnain menarik kesimpulan bahwa manusia tercipta dari satu sumber, dan karenanya harus saling merajut hubungan. Nabi Muhammad pun menganjurkan hal yang sama. Sementara, dari konsep Hadis Nabi dikatakan, jika memutuskan silaturahmi sama dengan tidak beriman dengan Allah. “Jadi, silaturahmi ini penting kaitannya dengan iman,” tegas Sekretaris Forum Ukhwah Islamiyah, Bali ini.

Secara etimologi, silahturahmi berasal dari dua kosakata, “silah” dan “rahmi”. Kata “silah” berasal dari kata kerja “wasala” yang kemudian menjadi “yasilu”, dan berubah menjadi kata benda “silah”. Artinya, menyambung/menjalin kembali. Rahmi berasal dari kata “rahim”, yakni tempat janin, tempat asal umat dilahirkan, sebagai simbol kasih sayang. Istilah silaturahmi (bahasa Arab), di Indonesia dibudayakan dengan menjalin kembali hubungan kekeluargaan yang senasab (seketurunan).

Dalam praktik silaturahmi, dua arah harus saling mengerti. Orang yang bersilaturahmi dan orang yang menerimanya harus sebanding. “Penerima harus memuliakan tamunya. Itu konsep yang diberikan Nabi,” tegas wakil ketua KNPI Provinsi Bali ini.

Nabi juga bercerita, bahwa manfaat silaturahmi menambah panjang umur dan menambah rezeki. Panjang umur dijelaskan Zulkarnain dalam artian, ketika silaturahmi, kita bisa bertemu keluarga atau teman, saling tersenyum, menghilangkan kekesalan,penat, bisa tertawa-tawa, apalagi disambut baik tuan rumahnya, yang dari konsep kesehatan, tentunya ini membawa dampak positif.

Manfaat lain, menambah rezeki. Dalam hal ini, rezeki bukan dalam bentuk langsung. Namun, dengan bertemu dan bertukar informasi, nantinya bisa menghasilkan uang/rezeki. Informasi paling bermanfaat. Konsep silaturahmi ini menjadi dasar membangun interaksi sosial.

Silaturahmi tak pandang waktu, dalam artian tak ada keharusan melakukannya pada waktu tertentu saja. Namun, ada kebiasaan kaum Muslim bersilaturahmi pada bulan Ramadan, bulan pengampunan dari Allah. “Pada bulan suci Ramadan, selain pengampunan dari Allah, kaum Muslim juga meminta pengampunan dari orang-orang yang selama ini diajak berhubungan. Supaya hubungan vertikal (ke Tuhan) dan horizontal (ke manusia) seimbang, diampuni Allah dan manusia,” papar Zulkarnain.

Karena itu pula, karyawan Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bali ini mengatakan mengapa menjelang Idul Fitri, kaum Muslim bela-belain mudik untuk menjumpai sanak keluarga. Bersilaturahmi dan meminta maaf kepada keluarga, terutama orangtua sangatlah penting. Ini istilahnya silaturahmi mudik. Bentuknya multimanfaat, spiritual, permintaan maaf, syukur, dan minta keberkahan dari orangtua. “Karena dalam Islam, ridho orangtua merupakan ridho Allah. Inilah yang dicari mudik,” tegasnya.

Dalam bersilaturahmi langsung, biasanya ada mushafahah (bersalaman). Dengan bersalaman ini akan terasa aura positif-negatif yang mengalir, selain nilai persahabatan yang lebih terasa. Makna mushafahah, membuka kembali lembaran baru yang lama tertingal, untuk buka lembar hidup ke depannya.

Dalam silaturahmi multimakna ini, Zulkarnain ingin memutus anggapan bahwa tujuan mudik hanya mengantarkan keberhasilan kepada keluarga. Namun, yang lebih penting daripada itu adalah mudik untuk mendapatkan doa dan keberkahan dari orangtua agar hidup jadi bertambah sukses.

Jika tak memungkinkan mudik untuk bertemu langsung, bentuk silaturahmi bisa dengan mengirimkan salam, memberikan kabar, bersurat, menelepon, mengirimkan sms, video call, atau dengan media lain. Namun realitanya, banyak umat yang memaksakan bersilaturahmi dengan berhutang. “Ini sudah dalam konsep memberatkan diri, sehingga silaturahmi justru membawa beban. Buat konsep silaturahmi sesederhana mungkin. Karena, konsep silaturahmi yang sebenarnya adalah untuk mencapai kesempurnaan,” tungkasnya. –Inten Indrawati

.

SOSIALISASI ZAKAT

Mencari formulasi yang tepat untuk pemberdayaan zakat di Indonesia memerlukan sosialisasi secara berkelanjutan di semua tingkatan pembayar zakat (muzakki) sepeti yang saat ini dilakukan Direktorat Zakat Kementerian Agama di Hotel Goodway Nusa Dua. ungkap Ketua Panitia Dra. Andi Yasri.

Dalam perkembangannya dibutuhkan partisipasi semua lapisan masyarakat yang beraktifitas dalam ruang profesional untuk meningkatkan pengelolaan zakat profesi. zakat profesi adalah hasil ijtihad yang belakangan ditimbulkan akibat bergesernya struktur sosial masyarakat dari masyarakat agraris kearah masyarakat global.  Dimana pendapatan jasa lebih besar dibandingkan pendapatan petani, peternak, dan pedagang. sebagai contoh ; Advokat, Dokter, pebisnis, wiraswasta, dan PNS.

Acara yang di beri tema Sosialisasi Zakat di kalangan Profesional di Provinsi Bali bertujuan menciptakan persefsi dan paradigma baru betapa pentingnya menggarap muzakki-muzakki profesional dalam pengembangan zakat ke depan, oleh karena itu peserta yang di undang dalam acara ini mereka yang bergerak dalam jasa profesional itu di Bali. jelas Andi yang juga Kasubdit penyuluhan zakat.

dilanjutkannya, bahwa hasil penelitian terakhir, potensi zakat di Indonesia mencapai 217 triliun per tahun, sementara sampai saat ini dana zakat yang terkumpul hanya 2.3 triliun setiap tahunnya pada seluruh BAZ dan LAZ di Indonesia. dan untuk mencapai target tersebut ada tiga hal yang perlu dibangun pertama dibutuhkannya kesadaran muzakki untuk mau berzakat, kedua belum adanya data akurat para Muzakki dan Mustahiq untuk itu perlu segera diciptakan satu database, dan ketiga Akuntabilitas dan transfaran dalam mengelola keuangan zakat.

Sosialisasi zakat yang berjalan dari 20 - 22 Oktober 2014 di buka langsung oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali Anak Agung Gede Muliawan dengan pesan agar semua peserta mengikuti kegiatan ini dengan sungguh-sungguh mengingat betapa zakat jika diberdayakan mampu menjadi solusi bangsa agar dapat keluar dari kemiskinan.  

Zulkarnain Nasution

Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir

20 October 2014

Pancasila :Ideologi Bangsa Vs Kehidupan Budaya


Di tengah-tengah masyarakat kita ternyata ada kontraversi apakah Pancasila sebaiknya diterima sebagai Ideologi atau tidak. Misalnya beberapa pemikir kita seperti Ongkhokham, Armahedy Mahzar, Garin Nugroho, dan Franz Magnis Suseno. Mereka menganggap Pancasila sebagai dokumen politik atau kontrak sosial yang memuat persetujuan semua warga tentang azas-azas Negara. Jadi bobotnya sama dengan dokumen-dokumen lain seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Rights di Amerika Serikat dan Droitdel’homme di Perancis. Tokoh-tokoh lain yang berseberangan pemikirannya seperti Koentowijoyo(Kompas, 13 Juli 1999 ; 20 Februari 2001), Azyumardi Azra, Asvi Warman Adam danBudiarto Danujaya (dalam Kompas 23 Juni 2004 ; 9 Juni 2004 ; 1 Juni 2004), JamesDananjaya (Kompas, 28 Juni 2002), dan Asy’ari (Kompas, 12 Juni 2004). Pancasila merupakan ideologi, baik dalam pengertian ideologi negara, atau ideologi bangsa masih dipertahankan oleh pemikir-pemikir lain.

Yang mendukung Pancasila sebagi sebuah dokumen politik menganggap bahwa Pemerintah cenderung menjadikan Pancasila sebagai alat menciptakan industrilisasi monokultur yang menyebabkan terjadinya sentralisasi kekuasaan. Selain itu mereka mengangap  Pacasila lebih tepat disebut kerangka nilai atau cita-cita luhur bangsa Indonesia. Pandangan ini muncul sebagai respon kekecewaan mereka perkembangan akhir-akhir ini dimana intepretasi dan pelaksanaan Pancasila di bawah rezim pemerintah Orde baru khususnya mengalami penyelewengan.

Kehadiran kontraversi pemikiran yang meletakkan Pancasila sebagai ideologi atau bukan ini menimbulkan pertanyaan apakah Pancasila sudah tepat menjadi Ideologi Bangsa. Bagaimana Pancasila sebagai Ideologi Bangsa merasuki semua dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk sebagai ideologi dalam kehidupan budaya.

Ideologi secara praktis diartikan sebagai sistem dasar seseorang tentang nilai-nilai dan tujuan-tujuan serta sarana-sarana pokok untuk mencapainya. Jika diterapkan oleh negara maka ideologi diartikan sebagai kesatuan gagasan-gagasan dasar yang disusun secara sistematis dan dianggap menyeluruh tentang manusia dan kehidupannya, baik sebagai individu, sosial, maupun dalam kehidupan bernegara. Ideologi mencirikan diri sebagai yang pertama  mempunyai derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan. Oleh karena itu yang kedua  mewujudkan suatu asas kerohanian, pandanagan dunia, pandangan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara diamalkan dilestarikan kepada generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban. Sedangkan fungsi ideologi adalah: 1) Sebagai sarana untuk memformulasikan dan mengisi kehidupan manusia secara individual. (Cahyono, 1986:2) Sebagai jembatan pergeseran kendali kekuasaan dari generasi tua (founding fathers) dengan generasi muda. (Setiardja, 2001)  3) Sebagai kekuatan yang mampu memberi semangat dan motivasi individu, masyarakat, dan bangsa untuk menjalani kehidupan dalam mencapai tujuan. (Hidayat, 2001)

Ajaran berbagai nilai filsafat, sebelum berkembang sebagai sistem ideologi,  terutama menampilkan nilai fundamental sebagai essensi dan integritas ajarannya, berupa ajaran : materialisme, animisme, dynamisme, polytheisme, pantheisme, secularisme, dan atheisme yang berpuncak sebagai ajaran monotheisme, universalisme  atau sering disamakan sebagai sistem filsafat theisme-religious. Peradaban kita mengungkapkan, bahwa sistem filsafat Pancasila memancarkan identitas dan integritas martabatnya sebagai sistem filsafat monotheisme-religious!. Integritas ini secara fundamental dan intrinsik memancarkan keunggulan sistem filsafat Pancasila sebagai bagian dari sistem filsafat Timur (yang berwatak : theisme-religious).

Secara ontologis, epistemologis dan axiologis sistem filsafat Pancasila mengandung ajaran tentang potensi dan martabat kepribadian manusia yang dianugerahi martabat mulia sebagaimana terjabar dalam ajaran HAM berdasarkan filsafat Pancasila. Keunggulan dan kemuliaan ini merupakan anugerah dan amanat Tuhan Yang Maha Esa, Allah Yang Maha Kuasa, Maha Rahman dan Maha Rahim, sebagai tersurat di dalam Pembukaan UUD Proklamasi 45,  sebagai asas kerokhanian bangsa dan NKRI.        

Pancasila sebagaimana kita yakini merupakan jiwa, kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Disamping itu juga telah dibuktikan dengan kenyataan sejarah bahwa Pancasila merupakan sumber kekuatan bagi perjuangan karena menjadikan bangsa Indonesia bersatu. Pancasila dijadikan ideologi dikerenakan, Pancasila memiliki nilai-nilai falsafah mendasar dan rasional. Pancasila telah teruji kokoh dan kuat sebagai dasar dalam mengatur kehidupan bernegara. Selain itu, Pancasila juga merupakan wujud dari konsensus nasional karena negara bangsa Indonesia ini adalah sebuah desain negara moderen yang disepakati oleh para pendiri negara Republik Indonesia kemudian nilai kandungan Pancasila dilestarikan dari generasi ke generasi. Pancasila pertama kali dikumandangkan oleh Soekarno pada saat berlangsungnya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (BPUPKI).

Pada pidato tersebut, Soekarno menekankan pentingnya sebuah dasar negara. Istilah dasar negara ini kemudian disamakan dengan fundamen, filsafat, pemikiran yang mendalam, serta jiwa dan hasrat yang mendalam, serta perjuangan suatu bangsa senantiasa memiliki karakter sendiri yang berasal dari kepribadian bangsa. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Pancasila secara formal yudiris terdapat dalam alinea IV pembukaan UUD 1945. Di samping pengertian formal menurut hukum atau formal yudiris maka Pancasila juga mempunyai bentuk dan juga mempunyai isi dan unsur-unsur yang membentuknya.

Pandangan dominan yang dipercaya oleh pemerintah, terutama pemerintah Orde Baru adalah bahwa Pancasila merupakan sumber norma dan nilai. Pancasila adalah sistem kepercayaan atau ideologi yang menentukan bagaimana sesuatu seharusnya. Tipe sistem politik dan karena itu struktur dominasi juga dikembangkan dari pemahaman ideologi Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif ini. Dalam ungkapan Langenberg (1990), Orde Baru adalah negara dan sekaligus sistem negara (pemerintahan eksekutif, militer, polisi, parlemen, birokrasi, dan pengadilan), yang sejak 1965/1966 membangun hegemoni dengan formulasi ideologi sebagai tiang penyangganya. Struktur dominasi dan hegemoni negara Orde Baru sendiri tidak dapat dipahami secara persis kecuali jika ketotalan ’integralistik’ dari negara—yakni negara sebagai ’ide’ (ideologi) dan ’instrumen’ (sistem/kebajikan) berinteraksi dengan struktur dan proses kekuasaan, legitimasi, dan akumulasi itu sendiri dipahami’. Implikasi dari formulasi ideologi Pancasila sebagai totalitas organik ini terlihat, misalnya, sejak 1985, seluruh organisasi sosial politik digiring oleh hukum untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya dasar filosofis, sebagai asas tunggal dan setiap warga negara yang mengabaikan Pancasila atau setiap organisasi sosial yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal akan dicap sebagai penghianat atau penghasut, sehingga, “Cap durhaka“ itu telah meluas tidak hanya sebagai tuduhan subversif sebagaimana kerap dialamatkan pada komunisme atau ide negara Islam, melainkan mencakup segala pendapat yang berbeda dengan ideologi negara.

Paraktek-praktek budaya pada masa Orde Baru digagas untuk melanggengkan kekuasaan. Budaya adiluhung pada saat itu dianggap budaya sentral dan yang utama dalam konsep kebudayaan secara keseluruhan, sedangkan budaya rendahan dari kalangan masyarakat bawah terpinggirkan. Budaya pinggiran ini dianggap pelecehan dan subversive, tak heran upaya upaya mengangkat budaya pinggiran hampir tidak terdengar gaungya pada masa pemerintahan rezim Suharto. Usaha legitimasi kkeuasaan pemrintah masuk keduania pendidikan melalui kegiatan Penataran Pengamalan Pancasila yang terselubung. Sehingga dunia pendidikan yang seyogyanya melahirkan pemikiran-pemikiran kritis menjadi mandul.

Dalam makalah “Pancasila Sebagai Ideologi dalam Kehidupan Budaya” oleh M.Sastrapratedja sebenarnya telah terlihat kerangka berfikir kritis. Konsep kebudayaan sudah di arahkan pada pendekatan semiotik Geerz  yang menjadi pilar filsafat pemikiran kritik. Pemikiran seperti ini menempatkan isu perubahan sebagai isu utamanya, dengan asumsi bahwa manusia sebagai makhluk hidup yang terus berkembang dan belum selesai.

Kebudayaan sebagai suprastruktur mengalami pelecehan dalam rezim pemerintahan Orde Baru yang memusatkan pemikirannya kepada developmentalisme. Di sini ekonomi sebagai infrastruktur mendapatkan porsi utama sehingga semua aspek hidup mengarah kepada tujuan-tujuan ekonomi praktis. Konsep manusia ditemukan dalam konsep industrilisasi satu dimensi yaitu dalam kerangka produksi dan distribusi, sehingga manusia mengalami alieanasi. Tetapi dalam meredevenisikan Pancasila sebagai Ideologi Kebudayaan, Pancasila menghargai mengangkat harkat individu manusia yang terabaikan dalam pendekatan developmentalisme.    

Kebudayaan juga tidak dilihat lagi sebagai ”given” yang diterima begitu saja karena disusupi oleh ideology yang bertujuan melanggengkan kekuasaan melaikan sebagai “becoming” sebagai proses menjadi yang terus berjalan. Dalam konsep ini terlihat pengakuan budaya- budaya pinggiran yang sama kedudukannya dengan budya adiluhung.

Dalam dimensi budaya politik, terlihat adanya pengakuan multikulturalisme sebagai unsur yang membentuk identitas bangsa. Isu-isu pemikiran kritis relevan dalam mengembangkan pengakuan kebudayaan yang beranekaragam. Pendekatan pluralism dan multikulturalisme adalah pendekatan yang sejalan dengan konsep kritis yang dikembangkan dalam kajian budaya. Pancasila dalam hal ini adalah referensi dalam pembentukan identitas baru sebagai warga negara. Pancasila menggagas pula keterlibatan semua warganegara dalam pembangunan dalam bentuk partisipasi. Karena adanya pengakuan warganegara sebagai manusia yang otonom yaitu sebagai wujud manifestasi semangat kebebasan dan persamaan hak dan kewajiban sebagi warga republic.

Isu-isu kontemporer yang dibahas dalam kajian kritis tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Kita ketahui bahwa perkembangan dan perubahan yang cepat dalam tatanan sosial, akibat kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan arus informasi yang deras mengalir dalam dunia yang mengejala global. Hal ini memang mengkhawtirkan terhadap pembentukan identitas bangsa khususnya bagi generasi muda. Namun demikian Pancasila mampu hadir memberikan orientasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan sehingga generasi muda tidak luncur kepada pemujaan ilmu pengetahuan yang mampu merusak tatanan sosial. Pancasila juga berfungsi sebagai filter dan rujukan bagi semua informasi, sehingga generasi muda dapat mengembangkan jati dirinya beindentitaskan nilai-nilai luhur bangsa.

Penyimpangan pemaknaan Pancasila sebagai ideologi pernah terjadi ketika Orde baru yang lebih memusatkan diri pada pembangunan ekonomi. Hal ini  menjadi perdebatan apakah Pancasila sebagai ideologi atau sekedar dokumen politik saja. Jika dilihat dari sudut sistem filsafat, ideology Pancasila sudah mampu mengisi hidup dan memberikan semangat dan motivasi individu, masyarakat, dan bangsa untuk menjalani kehidupan dalam mencapai tujuan. Karena itu dalam konteks kekinian dimana pemikiran baru, pemikiran kritis berkembang, perlu pula merevitalisikan Pancasila sebagaai idieologi bangsa dan kebudayaan. Pancasila mampu menjawab semua aspek yang di pertanyakan dalam isu-isu pemikiran kritis.

Sumber Bacaan

Hardiman F.B, 2009, Kritik Ideologi, Yogyakarta, Kanisius

Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4, Bandung, Penerbit Alumni.

Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cetakan ke-6.

Sastrapratedja.M, Pancasila Sebgai Ideologi dalam Kehidupan Budaya, makalah

Wahyudi, A, Ideologi Pancasila Doktrin yang Komprehensif atau Konsepsi Politis?, makalah Pusat Studi Pancasila UGM, Yogyakarta.

Zulkarnain Nasution
Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir

15 October 2014

Mualaf Australia: Kami Lebih Percaya Alquran Ketimbang Pemberitaan Media

Sebuah program televisi menampilkan wajah-wajah mualaf Australia. Ini merupakan satu cara menjembatani kesepahaman antara umat Islam dan warga Australia.  Di luar itu, acara ini sekaligus memperkenalkan mualaf kepada umat Islam yang mungkin tidak tahu keberadaan mereka.

Sarah, keturunan Aborigin Australia mengaku telah mendapatkan kedamaian hidup usai menjadi Muslim. "Saya bangga menjadi Muslim Aborigin Australia. Saya belum pernah merasakan ketenangan yang luar biasa, saat shalat dan berdoa. Ini yang tidak pernah saya rasakan sebelum menjadi Muslim," kata dia seperti dilansir SBS, Selasa (14/10).

Sarah mengaku kerap mendengar soal Islam yang lebih identik dengan kekerasan. Namun, Sarah lebih percaya dengan apa yang dikatakan Alquran tentang Islam dan Muslim. "Tidak ada di sana menyiksa orang lain, konflik, dan peperangan," kata dia.

Sarah pun berpesan kepada warga Australia agar menghargai keberagaman dan tidak perlu takut dengan perbedaan. "Saya juga seorang Australia. Darah saya merah, saya punya rambut. Namun, ada cara dimana saya memiliki panduan untuk menjalani hidup. Saya berhijab," kata dia.

Sebelum menjadi Muslim, Sarah yang kini berhijab mengungkap butuh waktu lama baginya untuk menemukan kebenaran Islam. Ia baca buku, laman tentang islam dan Muslim, dan sumber-sumber lainnya.

Lukas, salah seorang mualaf lainnya, mengaku pemberitaan media tentang Islam dan Muslim tidaklah benar. "Saya tahu Islam itu benar. Itulah yang memberikan saya rasa damai," kata dia.

Produser program tersebut, Patrick Abboud mengatakan, hadirnya program ini didorong oleh keinginan menunjukan warga Australia yang memilih menjadi Muslim. "Banyak dari mereka tidak pernah dibicarakan. Mereka juga warga Australia, sama-sama menyukai pantai," kata dia,

Presiden Asosiasi Mualaf Australia, Said Kanawati mengatakan jumlah warga Australia yang memeluk Islam mencapai 3-4 orang per pekan. "Dengan situasi saat ini, kita dan Anda (mualaf)  akan melihat orang-orang memandang berbeda. Disiniah tugas kita dan Anda untuk memperkenalkan apa itu Islam dan Muslim. Harapannya akan hilang rasa takut di masa depan," ucapnya.

Sumber : Republika, SBS, reportase dan foto.

Catatan : Kemampuan membedakan segala bentuk nilai yang tersimbolkan dalam intuisi religiusitas mutlak dimiliki setiap manusia. Itu pula yang membedakan manusia dengan makhluq ciptaan Tuhan lainnya, maka tatkala potensi itu digunakan dengan sistem komperatif paradigma berpikir tanpa batas maka seseorang akan menemukan suatu nilai obyektif diantara nilai-nilai kebaikan itu sendiri.

Dengan Rasionalisasi religius values akan tampak sebuah kecenderungan insting memilih jalan yang tepat bagi setiap penggunanya dan disitulah fungsi Tuhan akan berjalan "Sesungguhnya Allah yang memberi petunjuk kepada yang Dia kehendaki dan akan membuka kesesatan bagi yang Dia kehendaki pula". Tidak ada yang dapat memastikan apalagi memaksakan seseorang untuk percaya kepada sebuah ideologi kecuali hanya fungsi Tuhan yang dinantikan "Maka Sesungguhnya ya Muhammad tugasmu hanyalah sebagai penyampai"

Para Muallaf di Benua Australia atau Eroufa akan terus bertambah dikarenakan kecenderungan mereka saat ini menggunakan akal pikirannya dalam menentukan pilihan daripada mendengarkan issue apalagi emosional perkawinan antar agama sehingga hasilnya lebih membawa dampak perubahan pada diri dan lingkungannya.

14 October 2014

Persiapan Penjemputan Jemaah Haji Prov. Bali

Untuk melanjutkan pelayanan prima terhadap jemaah haji Provinsi Bali maka Bidang Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Provinsi Bali mengadakan Rapat Koodinasi Pemulangan Jemaah Haji di Wisma Sejahtera Kemenag Lumintang yang dihadiri 25 orang dari seluruh penyelenggara Haji dan operator haji se-Bali. 

Acara ini sebagai wujud kepedulian dan tanggungjawab Kemenag terhadap kedatangan jemaah haji Bali yang akan tiba di Debarkasi Surabaya pada tanggal 3 November 2014 pukul 07.55 WIB untuk kloter 59 SUB yang berjumlah 445 jemaah dan pukul 09.55 WIB untuk kloter 60 SUB. Di Kloter 60 hanya diisi 60 orang jemaah haji bali selebihnya dari Kabupaten Madura sekitarnya.

Agenda Rakor membicarakan teknis pemulangan jemaah haji dari Debarkasi Surabaya ke tujuan asal Kabupaten Kota masing-masing di Provinsi Bali.  Kondisi Jemaah haji bali berbeda dengan jemaah haji provinsi lain, dimana satu kloter diisi oleh sejumlah kabupaten / kota se-Provinsi Bali. Adapun di Provinsi lain satu kloter biasanya hanya diiisi oleh satu kabupaten / kota. Oleh karena itu perlu koordinasi yang betul-betul terencana sebagai antisipasi kemungkinan yang tidak diinginkan, jelas Kepala Bidang PHU Drs. H. Moh. Sholeh. M.PdI.

Kondisi terakhir jemaah bali dilaporkan oleh petugas kloter 59 SuB melalui sms, semua dalam keadaan prima kecuali ada satu jemaah yang saat ini menggunakan kursi roda dan satu orang tetap bertahan di kloter 64 SUB dikarenakan tidak mau kembali ke kloter semula setelah kemarin ketika pemberangkatan IBU SULIAH dipindahkan dari kloter 59 ke kloter 64 diakibatkan jatuh sakit setibanya di Embarkasi Surabaya. 

Dari hasil penelusuran petugas ternyata Ibu Suliah menemukan komunitasnya di kloter tersebut sehingga beliau merasa lebih nyaman untuk tetap berada di kloter itu. Hal ini sedikit akan membuat repot petugas, khususnya petugas penjemputan dari Denpasar yang akan menjemput beliau. Setelah dikoordinasikan ke PHU Denpasar, mereka siap menunggu kedatangan Ibu Suliah dan menghantarkan beliau sampai Denpasar walau itu cuma satu orang, tegas PHU Denpasar H. Agus Yusufanhari. 

Zulkarnain Nasution
Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir

13 October 2014

NILAI-NILAI ISLAM DALAM KEBUDAYAAN INDONESIA "Kajian Filsafat Manusia Dan Kebudayaan"

Kebudayaan Islam merupakan sistem yang mempunyai sifat-sifat ideal, sempurna, praktis, aktual, diakui keberadaannya dan senantiasa diekspresikan. Sistem yang ideal berdasarkan pada hal-hal yang biasa terjadi dan berkaitan dengan yang aktual (Picktchall, 1993: 26-29). Sistem Islam menerapkan dan menjanjikan perdamaian dan stabilitas dimanapun manusia berada, karena pada hakikatnya manusia memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah SWT, yang berbeda justru hanya terletak pada unsur-unsur keimanan dan ketakwaannya saja.
Perkembangan kebudayaan Islam membutuhkan petunjuk wahyu berupa firman-firman Allah SWT yang terdapat di dalam Al Qur’an dan Hadis Nabi,  dan bertujuan hanya untuk beribadah kepada Allah semata-mata. Islam dalam hal ini, berkontribus dalam kehidupan manusia untuk menumbuhkembangkan akal budi, sehingga memperoleh kebudayaan yang memenuhi aturan-aturan dan norma-norma agama. Perkembangan kebudayaan yang didasari dengan nilai-nilai keagamaan; agama memiliki fungsi yang demikian jelas. Maju dan mundurnya kehidupan umat manusia itu, mengalami kemandegan, hal ini disebabkan adanya hal-hal yang terbatas, dalam memecahkan berbagai macam persoalan dalam hidup dan kehidupan manusia, maka dibutuhkan suatu petunjuk berupa wahyu.

Allah SWT memilih seorang Nabi dan Rasul dari manusia, sebab yang akan menjadi bimbingannya adalah manusia juga, oleh karena itu tujuan utama misi Muhammad Rasulullah saw adalah menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta. Nabi Muhammad saw dalam mengawali tugas kenabian dan kerasulannya mendasarkan diri pada asas-asas kebudayaan Islam, yang selanjutnya tumbuh dan berkembang menjadi suatu peradaban yaitu peradaban Islam. Nabi Muhammad saw pada waktu berdakwah, keluar dari jazirah Arab dan seterusnya menyebar keseluruh penjuru dunia, maka terjadilah proses asimilasi berbagai macam kebudayaan dengan nilai-nilai Islam kemudian menghasilkan kebudayaan Islam yang pada akhirnya akan berkembang menjadi suatu kebudayaan yang diyakini kebenarannya secara universal.

Islam sebagai suatu agama, secara sungguh-sungguh mendorong manusia untuk berusaha melalui pribadi dan kelompoknya, agar dapat menciptakan suatu keadaan yang lebih baik, sehingga menjadi suatu kekuatan di dunia (Picktchall,1993: 7). Masyarakat merupakan ajang kebudayaan. Kebudayaan ada dan terwujud karena adanya hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya, dalam hubungan tersebut timbullah cita-cita, perilaku, dan hasil karya, kesemuanya ini mewujudkan kebudayaan. Tingkah laku perbuatan dan hasil karya disebut amal. Takwa yang mempunyai sifat pasif menjadi aktif dalam bentuk amal. Kebudayaan timbul karena kesatuan sosial. 
Kesatuan sosial terwujud dari hubungan antara manusia dengan manusia, hal ini merupakan kesinambungan adanya hubungan tersebut yang melahirkan adanya hubungan antara manusia dengan Tuhan. Hubungan antara manusia dengan Tuhan menimbulkan sistem agama yang disebut dengan sistem ibadat, hubungan manusia dengan diri sendiri menimbulkan sistem antropologi yang disebut dengan sistem takwa, hubungan manusia dengan manusia lain dan alam semesta menimbulkan sistem kebudayaan disebut dengan sistem mu’amalat, kemudian menjadi wadah kebudayaan yaitu kebudayaan Islam (Gazalba, 1976: 73).

Islam bukan saja agama, namun Islam juga kebudayaan, maka Islam adalah segala sesuatu yang melingkupi semua kehidupan umat manusia; dengan demikian Islam dapat dikategorikan sebagai way of life atau cara (sikap) hidup. Dengan kata lain Islam adalah kesatuan kehidupan orang-orang Islam (Gazalba,1976: 106-107). Pusat kehidupan orang-orang Islam adalah masjid, maka masjid merupakan pusat ibadat dan kebudayaan Islam pada khususnya serta pusat kehidupan Islam pada umumnya.

PRINSIP-PRINSIP KEBUDAYAAN ISLAM

Kebudayaan Islam berdasarkan pada beberapa prinsip:

1. Tuhan dalam Islam hanya Allah.

Maka semua perintah Allah diperlakukan bagi seluruh manusia dimanapun mereka berada, hal tersebut melingkupi seluruh manusia baik sebagai subjek (melaksanakan perintah-perintah Allah) dan juga sebagai objek (semua perintah Allah dilaksanakan manusia). Sebelum adanya Islam, umat manusia hidup secara berkelompok, hal ini berlandaskan pada ras atau budaya bahkan keduanya. Islam memberi fondamen baru bagi kelompok-kelompok tersebut, yaitu yang dikenal dengan ummah. Ummah adalah suatu kesepakatan yang meliputi beberapa hal yaitu wawasan, kehendak dan perbuatan secara bersama-sama yang dilakukan oleh umat Islam.

Persaudaraan universal yang disebabkan oleh tauhid (mengesakan Allah dan meyakini bahwa Rasulullah saw adalah utusan Allah) memerlukan suatu formasi baru, sebab umat Islam adalah suatu masyarakat baru yang dikelompokkan bukan berlandaskan pada suku atau ras, namun pada agama, maka bagi orang-orang nonmuslim diharapkan dapat membuka diri dengan cara menghindari garis keturunan dan kesukuan serta melaksanakan koordinasi yang berlandaskan agama. Agama bukan memberikan gambaran keterbelakangan dan prinsip pengorganisasian yang statis, banyak purbasangka, dipenuhi hal-hal yang eksklusif, seperti yang dibayangkan oleh orang-orang barat. Agama mewujudkan segi kehidupan manusia yang terpenting di dunia karena mengarah kepada tujuan tertinggi yang dapat diraih oleh manusia (Al Faruqi, 1988: 190). 

Ikatan persaudaraan secara universal di dalam Islam, dapat ditunjukkan pada zaman Nabi Muhammad saw sebelum hijrah dari Makkah ke Madinah, yaitu pada bulan Juli 622 M mengadakan suatu piagam perjanjian antara orang-orang Yahudi dengan umat Islam. 

2. Dunia baru Islam merupakan pranata perdamaian.

Penjajahan, perseteruan di antara bangsa-bangsa di dunia harus dihapuskan. Mewujudkan suatu perdamaian harus bersifat umum dan transparan bagi seluruh manusia, perseorangan maupun kelompok. Peraturan perdamaian harus diberikan kepada semua orang tanpa pandang bulu, diharapkan secara keseluruhan diterima dengan sepenuh hati tanpa adanya paksaan. Pranata perdamaian harus diberikan kepada semua orang tanpa perkecualian, dan diharapkan semuanya dapat menerima dan ikut berpartisipasi serta masuk sebagai anggota, seandainya terjadi tawaran perdamaian tersebut ditolak, maka hal ini berarti yang menolak tidak menghendaki terwujudnya suatu perdamaian, sehingga terjadi peperangan. Perdamaian di dunia sebenarnya selalu dinanti-nantikan kehadirannya oleh siapa saja, tinggal manusianya mau berupaya untuk dapat mewujudkan perdamaian tersebut atau bahkan menolaknya, maka yang akan terjadi adalah kerusuhan, keributan dan kerusakan dunia, yang tidak lain merupakan perbuatan manusia sendiri (Al Faruqi, 1982: 194-195).

3. Hukum Islam terkait hubungan bangsa dan negara.

Penawaran perdamaian yang diberikan oleh negara Islam kepada negara-negara di seluruh dunia diterima dengan baik, hal itu berarti telah terwujud suatu Pax Islamica (Pranata Dunia Baru), maka semua negara yang ada didalamnya berhak memperoleh privilege, sehingga tata aturan yang meliputi berbagai macam bidang, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, agama,  pertahanan dan keamanan akan mendapatkan perlindungan dari negara Islam yang sudah terbentuk. orang-orang nonmuslim dan bukan warganegara Islam, dapat dan boleh mengajukan tuntutan kepada pengadilan Islam. 

Hukum Internasional Islam mengakui hak-hak yang dimiliki negara dan juga para individu, hal ini merupakan suatu kelebihan hukum Islam, karena bertujuan memperoleh keadilan terutama bagi orang per orang, sedang hukum Internasional barat bertujuan mewujudkan akomodasi bagi negara-negara yang berdaulat, dengan melupakan kebutuhan individu, bahkan yang terjadi kebutuhan individu diabaikan demi kebutuhan para penguasa. Hukum Internasional Islam berupaya untuk mengembalikan nama baik para tawanan perang agar dapat meraih kebebasan, lewat usaha atas kehendaknya sendiri; ataupun dengan pertolongan kawan-kawan dan handai tolan, baik mengenai harta maupun yang lainnya.

Hukum Islam mengajak seluruh umat Islam untuk menyisihkan 1/7 dari dana zakat untuk menebus tawanan perang, baik muslim maupun nonmuslim; hal ini merupakan perbuatan yang demikian mulia, karena membebaskan tawanan dapat menjadi penebus dosa besar (Al Faruqi, 1982: 197-198).

Jual beli dalam negara Islam yang berkaitan dengan orang, barang, dana melalui daerahnya dapat menjadi inti perjanjian antara negara Islam dengan orang asing yang bersangkutan, hal ini disebut isti’man. Hukum Internasional Islam lebih mengutamakan keadilan, kesamaan derajat, kebebasan, kesejahteraan, kebutuhan, dan kemakmuran yang menjadi milik perorangan (individu) daripada hukum internasional barat yang lebih mengutamakan kebutuhan kelompok.

4. Hukum yang terkait dengan perang.

Timbal balik dari seluruh hak yang dimiliki oleh setiap orang dan kelompok dalam Pax Islamica hanyalah berupa satu kewajiban yaitu pajak setahun sekali yang berasal dari orang-orang non muslim, yang dinamakan jizyah. Pajak ini lebih kecil, dibanding zakat yang harus dibayar oleh setiap orang Islam. Hukum Islam memutuskan bahwa negara Islam harus mengembalikan jizyah kepada orang-orang Nasrani dan Yahudi yang sudah diambil dari mereka bagi tahun berikutnya, apabila ini tidak dapat melindungi desa-desa perbatasan mereka dari serangan tentara Byzantium atau musuh yang tidak dikenal.

Hukum Islam dalam menyatakan perang tidak berada pada lembaga eksekutif, namun pada Mahkamah Agung yang akan membuktikan serangan atau ketidakadilan yang dilakukan negara Islam dan warga negaranya (AlFaruqi, 1982: 199). Mahkamah Agung dapat menerapkan hukuman baik yang berasal dari pengadilan maupun Allah bagi seseorang yang membunuh, merusak harta benda, menyerang pendeta, wanita dan anak-anak, kecuali apabila mereka secara langsung ikut dalam peperangan.

SEJARAH PEMIKIRAN KEFILSAFATAN DALAM ISLAM

Teori yang ditumbuhkembangkan oleh Harun Nasution, sejarah intelektual Islam dikelompokkan dalam tiga periode:

1. Periode Klasik; tahun 650-1250 M.
2. Periode Pertengahan; tahun 1250-1800 M.
3. Periode Modern; tahun 1800-sekarang.

Zaman periode klasik, terdapat beberapa mazhab, seperti Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Syafi’i, dan Imam Maliki. Selaras dengan hal itu timbul beberapa filosof muslim, seperti Al Kindi yang lahir pada tahun 801 M yang dikenal sebagai seorang filosof Islam, berasal dari Arab (Kufah). Salah satu pemikiran Al Kindi, menyatakan bahwa filsafat merupakan bagian dari kebudayaan Islam, maka filsafat Islam dikatakan filsafat religius spiritual, karena:

1. Filsafat Islam meneliti problematika yang satu dan yang banyak.
2. Filsafat Islam membahas tentang hubungan antara Allah dengan makhluk.
3. Filsafat Islam berupaya memadukan antara wahyu dengan akal, akidah dengan hikmah, agama dengan filsafat.
4. Filsafat Islam berupaya menerangkan bahwa:

a) Wahyu tidak bertentangan dengan akal.
b) Akidah apabila diterangi dengan sinar filsafat akan menetap dalam jiwa dan tangguh dihadapan            lawan.
c) Agama apabila bersaudara dengan filsafat akan menjadi filosofis, seperti halnya filsafat akan   menjadi religius (Madkour, 1988: 7-8).

Pada abad yang sama, lahir juga seorang filosof Islam yang memiliki nama besar, yaitu Muhammad Zakaria Al-Razi, lahir pada tahun 865 M/251 H di Rayy (Teheran), ia dikenal sebagai seorang dokter yang memimpin sebuah rumah sakit di Rayy. Al-Razi kemudian pindah dari Rayy ke Baghdad yaitu pada masa Khalifah Muktafi (289 H/ 901 M – 295 H / 908 M), dan di Baghdad Al-Razi juga menjadi pemimpin sebuah rumah sakit. Al-Razi adalah seorang yang baik hati, dekat kepada para pasiennya, suka berderma kepada orang-orang fakir miskin, dan ia memberikan perawatan sepenuhnya dengan gratis dan mengikhlaskan hasil kerja kerasnya kepada mereka (Syarif, 1985: 32-22). Al Razi dapat digolongkan sebagai seorang filosof yang berfaham rasionalis, karena hanya meyakini kebenaran akal saja, di bidang kedokteran, studi klinis yang dilaksanakannya sudah menghasilkan metode yang demikian kuat mengenai penelitian yang berdasarkan pada observasi dan eksperimen (Syarif, 1985: 37-38).

Pada tahun 870 M, lahir seorang filosof besar Islam yaitu Al Farabi yang mendapat gelar Al Mu’alim as-tsani (Guru Kedua setelah Aristoteles). Al Farabi berpendapat bahwa kebenaran filsafat hanyalah satu, sebab filsafat menurut Plato dan Aristoteles tidak dapat dibedakan. Perbedaan yang dapat dilihat yaitu pada hal-hal yang sifatnya lahiriah saja, sedang hakikatnya sama. Al Farabi menulis buku berjudul: Al-jam’u Baina Ra’yai Al-Hakimain” (Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof Plato dan Aristoteles) (Basyir, 1989: 33).

Abad selanjutnya, diteruskan oleh seorang filosof Islam yaitu Ibnu Miskawaih yang mendapat gelar Bapak Etika Islam, lahir pada tahun 932M. Ibnu Miskawaih di samping dikenal sebagai seorang filosof, tabib, ahli ilmu pengetahuan dan pujanggawan, bersama dengan hal itu Ibnu Miskawaih merasa demikian prihatin melihat situasi masyarakat banyak terjadi kerusakan moral, sehingga dengan segenap perasaannya, ia menyempatkan diri menulis beberapa buku yang berkaitan dengan masalah moral (Etika Islam), di antara buku-buku tersebut, antara lain: Fauz Al Akbar, Tartib Al Sa’adah, Al Siyar, Tahdzib Al Akhlaq,dan Jawidan Khirad. Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa setiap yang ada itu dapat berubah menjadi baik, jika ia memiliki keinginan untuk merubahnya dan hal tersebut didasari dengan harkat dan martabat kemanusiaannya (Widyastini, 2004: 52-53).Pada tahun 1037 M, lahir seorang filosof Islam yaitu Ibnu Sina, Ibnu Bajjah tahun 1138, Ibnu Thufail tahun 1147 M, Ibnu Rusyd tahun 1126 M.

Pada periode pertengahan tahun 1250-1800 M, menurut sejarah pemikiran Islam dinilai mengalami kemunduran, sebab filsafat mulai ditinggalkan oleh umat Islam, sehingga terdapat usaha untuk mempertentangkan antara akal dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan akhirat. Pengaruh tersebut masih dapat dirasakan sampai saat ini dan hal ini dibuktikan dengan tidak ada daerah-daerah yang menjadi kekuasaan Islam yang secara utuh melingkupi beberapa kerajaan Islam, di antaranya Kerajaan Usmani, Safawi dan Mogul dan pada periode pertengahan ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi demikian terbatas.

Pada periode modern, umat Islam bangkit kembali, maka periode ini dikatakan sebagai Masa Kebangkitan Islam, dan hal ini ditandai dengan adanya kesadaran umat Islam terhadap kelemahan-kelemahannya, sehingga ada kehendak membangkitkan kembali ilmu pengetahuan dan teknologi; maka kemudian lahirlah para tokoh pembaharu dan para filosof Islam dari berbagai negara Islam di dunia ini (Tim Penulis Ensiklopedi Islam, 1997: 258). Pembaharuan dalam Islam pada prinsipnya merupakan usaha untuk memberi penafsiran kembali terhadap ajaran-ajaran Islam yang sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi perkembangan zaman, sebagai akibat timbulnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan untuk mengajak umat Islam melepaskan diri dari ikatan kejahiliyahan menuju kepada perkembangan dan kemajuan.

MASJID SEBAGAI PUSAT PERADABAN ISLAM

Masjid biasanya dipahami oleh sebagian besar masyarakat merupakan rumah ibadah, terutama untuk shalat, padahal sebenarnya masjid memiliki fungsi yang demikian luas daripada sekedar untuk shalat. Masjid pada awal berdirinya belum berpindah dari fungsi yang utama yaitu untuk melakukan shalat, namun perlu diketahui bahwa masjid pada zaman Rasulullah saw dimanfaatkan sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Islam. Nabi Muhammad saw menumbuhkembangkan agama Islam termasuk didalamnya mengajarkan Al Qur’an, Al Hadits, bermusyawarah untuk mufakat dalam usaha menyelesaikan berbagai macam persoalan umat Islam, membina sikap dasar umat Islam kepada orang-orang nonmuslim, sehingga segala macam ikhtiar untuk mengembangkan kesejahteraan umat Islam justru berasal dari masjid.

Masjid merupakan ajang untuk mengumumkan hal-hal penting terutama berkaitan dengan hidup dan kehidupan umat Islam. Persoalan suka dan duka, peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar masjid diberitahukan kepada masyarakat melalui masjid. Masjid juga berfungsi dalam hal pendidikan dan penerangan untuk masyarakat serta merupakan tempat belajar bagi semua orang yang akan belajar dan mendalami agama. Pada waktu Nabi Muhammad saw masih hidup, semua pertanyaan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, agama maupun masalah hukum langsung dilontarkan dan dicarikan jawabannya secara langsung oleh beliau, maka ketika itu belum diperlukan kepustakaan Islam.

Asas Islam didalamnya mengandung kepustakaan, hal ini dapat dilihat pada waktu turunnya wahyu yang pertama yaitu surat Al Alaq ayat 1-5, artinya:

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (Departemen Agama, 1989: 1079). 

Ayat tersebut mengandung makna bahwa tempat bersandar kepustakaan adalah membaca dan menulis, tanpa menulis maupun membaca buku-buku tidak pernah ada. Membaca dan menulis merupakan pertanda bagi lahirnya kepustakaan Islam sesudah nabi wafat. Kitab yang pertama dan utama dalam Islam adalah kitab suci Al Qur’an. Kitab yang kedua adalah As Sunnah (Al Hadits). Kitab-kitab yang ditulis setelah Al Qur’an dan As Sunnah memiliki sifat menjelaskan, membahas, memberi penafsiran, mengolah, menumbuhkembangkan, dan meneruskan kedua kitab tersebut. 
Kepustakaan Islam adalah pusat pendidikan, pengajaran, dan dakwah Islam. Pada waktu Nabi Muhammad saw masih hidup, perpustakaan belum tersedia, tetapi secara keseluruhan berdasarkan pada wahyu pertama sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an. Mereka yang berkeinginan mengembangkan ilmu pengetahuan dan memperdalam ilmu, maka masjid merupakan perpustakaan sekaligus sebagai gudang ilmu (Gazalba, 1975: 119).

Masjid berfungsi sebagai tempat sosial, yang dipergunakan seperti hotel bagi seseorang sedang mengadakan perjalanan (musafir), hal itu juga pernah dialami oleh seorang budak wanita yang baru dibebaskan, karena tidak memiliki rumah kemudian ia mendirikan kemah di halaman masjid (Gazalba, 1975: 121). Orang-orang di dalam masjid mengumandangkan ayat-ayat Al Qur’an dengan suara merdu, juga diperdengarkan lagu-lagu yang berciri khas Islami.

Masjid berasal dari istilah sajada, yasjudu yang mengandung arti bersujud atau bersembahyang. Masjid merupakan rumah Allah (Baitullah), sehingga orang yang masuk ke masjid diperintahkan shalat sunnah tahiyatul masjid (menghargai masjid) sebanyak dua rakaat.

Masjid pertama kali didirikan oleh Nabi Muhammad saw di Madinah, yaitu pada tahun 622 bulan Rabiulawal tahun I Hijriyah, bertepatan dengan awal mula Nabi Muhammad saw bertempat tinggal di Madinah, masjid tersebut adalah masjid Madinah (Masjid Nabawi), adalah masjid utama ketiga sesudah Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa.

Sejarah pertumbuhan bangunan masjid berkaitan erat dengan perkembangan daerah Islam dan timbulnya kota-kota baru. Pada waktu awal tumbuh kembangnya Islam ke berbagai negara, umat Islam bertempat tinggal di tempat yang baru, dengan menggunakan sarana masjid sebagai ajang untuk kepentingan sosial. Masjid adalah hasil budaya umat Islam dalam bidang teknologi konstruksi yang sudah diawali semenjak awal mula dan merupakan corak khas negara atau Kota Islam (Tim Penulis Ensiklopedi Islam, 1997: 169-171). 

Masjid juga salah satu bentuk pengejawantahan tumbuhnya kebudayaan Islam yang demikian penting. Bentuk bangunan masjid juga menggambarkan Allah (Sang Pencipta) serta merupakan pertanda tingkat tumbuhkembangnya kebudayaan Islam. Konstruksi masjid yang indah dan mempesonakan dapat ditemukan di Spanyol, India, Suria, Kairo, Baghdad serta beberapa daerah di Afrika juga merupakan pertanda sejarah monumen umat Islam yang pernah mengalami zaman keemasan pada bidang teknologi konstruksi, seni dan ekonomi. Seni arsitektur yang demikian indah kelihatan dalam berbagai masjid berada di seantero dunia tidak timbul secara mendadak, namun melalui proses pertumbuhan secara tahap demi tahap. Diawali dari konstruksi bangunan yang sederhana sampai pada bentuk bangunan yang sempurna, terjadi dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Seni arsitektur masjid tidak terlepas dari pengaruh seni arsitektur Arab, Persia, Byzantium, India, Mesir, dan Gothik. Bangunan dan ciri khas arsitektur masjid, semenjak zaman para khalifah sampai saat ini terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya, tetapi secara keseluruhan dilandasi adanya jiwa ketauhidan dan perwujudan rasa cinta dan kasih sayang kepada Allah SWT.

ISLAM DALAM BUDAYA INDONESIA

Dakwah Islam ke Indonesia lengkap dengan seni dan kebudayaannya, maka Islam tidak lepas dari budaya Arab. Permulaan berkembangnya Islam di Indonesia, dirasakan demikian sulit untuk mengantisipasi adanya perbedaan antara ajaran Islam dengan kebudayaan Arab. Tumbuh kembangnya Islam di Indonesia diolah sedemikian rupa oleh para juru dakwah dengan melalui berbagai macam cara, baik melalui bahasa maupun budaya seperti halnya dilakukan oleh para wali Allah di Pulau Jawa. Para wali Allah tersebut dengan segala kehebatannya dapat menerapkan ajaran dengan melalui bahasa dan budaya daerah setempat, sehingga masyarakat secara tidak sengaja dapat memperoleh nilai-nilai Islam yang pada akhirnya dapat mengemas dan berubah menjadi adat istiadat di dalam hidup dan kehidupan sehari-hari dan secara langsung merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan bangsa Indonesia, misalnya:

setiap diadakan upacara-upacara adat banyak menggunakan bahasa Arab (Al Qur’an), yang sudah secara langsung masuk ke dalam bahasa daerah dan Indonesia, hal tersebut tidak disadari bahwa sebenarnya yang dilaksanakan tidak lain adalah ajaran-ajaran Islam. Ajaran-ajaran Islam yang bersifat komprehensif dan menyeluruh juga dapat disaksikan dalam hal melaksanakan hari raya Idul Fitri 1 Syawal yang pada awalnya sebenarnya dirayakan secara bersama dan serentak oleh seluruh umat Islam dimanapun mereka berada, namun yang kemudian berkembang di Indonesia bahwa segenap lapisan masyarakat tanpa pandang bulu dengan tidak memandang agama dan keyakinannya secara bersama-sama mengadakan syawalan (halal bil halal) selama satu bulan penuh dalam bulan syawal, hal inilah yang pada hakikatnya berasal dari nilai-nilai ajaran Islam, yaitu mewujudkan ikatan tali persaudaraan di antara sesama handai tolan dengan cara saling bersilaturahmi satu sama lain, sehingga dapat terjalin suasana akrab dalam keluarga.

Berkaitan dengan nilai-nilai Islam dalam kebudayaan Indonesia yang lain, juga dapat dikemukakan yaitu sesuai dengan perkembangan zaman terutama ciri dan corak bangunan masjid di Indonesia yang juga mengalami tumbuh kembang, baik terdiri dari masjid-masjid tua maupun yang baru dibangun, misal: masjidmasjid yang dibangun oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pada umumnya hampir mirip dengan bentuk joglo yang berseni budaya Jawa.

Perkembangan budaya Islam yang terdapat pada masjid, secara nyata dapat ditunjukkan yaitu adanya masjid-masjid tua yang kemudian diperbaiki dengan ditambah konstruksi baru atau mengganti tiang-tiang kayu dengan tiang batu atau beton, lantai batu dengan ubin dan dinding sekat dengan tembok kayu. Hal tersebut dapat dicontohkan beberapa masjid yang menambah bangunan, yaitu Masjid Agung Banten (bangunan menara dan madrasah), Masjid Menara Kudus (bangunan bagian depan berujud pintu gerbang dan kubah dengan gaya arsitektur kayu Indonesia), Masjid Agung Surakarta (bangunan pintu gerbang dan tembok keliling yang berlubang tiga pintu dengan lengkung runcing dan menara tempel yang memiliki mahkota kubah, merupakan hasil modifikasi pintu gerbang masjid-masjid di India. Masjid Sumenep Madura (bangunan pintu gerbang bergaya arsitektur Eropa), Masjid Jami’ Padang Panjang, Tanah Datar, Masjid Sarik (Bukittinggi), Masjid Sumatera Barat (pembangunan puncak tumbang dengan mahkota kubah).

Beberapa masjid di Indonesia yang mengedepankan corak yang demikian baru (modern), misal: Masjid Raya Medan, Masjid Baiturrahman Banda Aceh yang mencontoh gaya arsitektur masjid di India (Tim Penulis Ensiklopedi Islam, 1997: 172-173). Bangsa Indonesia setelah meraih kemerdekaan juga banyak berdiri masjid-masjid model baru, yaitu : Masjid Raya Makassar (Ujung Pandang), Masjid Syuhada (Yogyakarta), Masjid Agung Al Azhar (Jakarta), Masjid Istiqlal (Jakarta), Masjid Salman ITB (Bandung). Masjid mempunyai sejumlah komponen yaitu kubah, menara, mihrab, dan mimbar; komponen masjid yang berciri khas Indonesia adalah beduk. Beduk terbesar di Indonesia terdapat di dalam masjid Jami’ Purworejo, dibuat oleh orang Indonesia dengan dirancang sesuai dengan njlai-nilai yang berciri khas Islami dan berbudaya Indonesia.

Islam sebagai agama rahmatan lil alamin dapat dilihat dalam segala aspek kehidupan masyarakat di Indonesia, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi, dan agama sehingga nilai-nilai Islam, terutama yang terdapat dalam kebudayaan Indonesia secara keseluruhan tidak dapat dihindari, dan sudah menjadi kebudayaan hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA
Atiyeh, George N, 1983, Al Kindi Tokoh Filosof Muslim, Pustaka Salman ITB,Bandung
Al Faruqi, Ismail Rafi, 1988, Tauhid, Penerbit Pustaka, Bandung
Basyir, Ahmad Azhar, 1989, Ikhtisar Sejarah Filsafat Islam (Bagian I), Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta
Departemen Agama, 1989, Al Qur’an dan Terjemahnya, Penerbit Toha Putra,Semarang
Gazalba, Sidi, 1975, Masjid (Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam), Penerbit Pustaka Antara, Jakarta.
Hanafi, A, 1976, Pengantar Filsafat Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta
Hoesin, Umar Amir, Filsafat Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta
Madkour, Ibrahim, 1988, Filsafat Islam, Metode dan Penerapan (Bagian I), Penerbit Rajawali Pers, Jakarta
Picktchall, Muhammad Marmaduke, 1993, Kebudayaan Islam, Penerbit PT. Bungkul Indah, Surabaya
Syarif, M.M, 1985, Para Filosof Muslim, Penerbit Mizan, Bandung
Tim Penulis Ensiklopedi Islam, 1997, Ensiklopedi Islam (Jilid 3), Penerbit PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta
Widyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit “Paradigma”, Yogyakarta

Zulkarnain Nasution
Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir

09 October 2014

Membumikan Spirit Haji (1)

Panggilan haji yang diwajibkan bagi setiap muslim adalah sebuah ritual yang tidak terlepas dari intrepretasi pengaktualan diri kepada Khaliq dan makhluk, dimana dua dimensi ini harus menjadi pondasi dasar dalam pengakuan keimanan seseorang.  Spritualitas yang terbangun atas perekat kemampuan ibadah yang hanya dipersembahkan untuk Allah harus juga termanifestasikan melalui aktualisasi interaksi sosial tanpa jarak. Sebagaimana Allah memberlakukan standar hubungan dengan makhluk bahwa keberadaannya tidak berjarak "Aku sangat dekat dengan urat lehermu". "Dan Apabila Hambaku Menanyakanmu tentang keberadaanku maka sesungguhnya aku dekat". Untuk itu Ibadah haji mempunyai harapan akan lahirnya sosok-sosok manusia yang mampu secara spirit dan materi dalam melakonkan dua dimensi itu secara baik dengan berlandaskan kekuatan iman.    
 
Kedua dimensi itu terwujud ketika berkumpul di Arafah dengan memakai seragam ihram putih merupakan lambang kesetaraan derajat manusia di sisi Allah, tidak ada keistimewaan satu bangsa dengan bangsa lainnya, antar yang berkulit putih dan lainnya, antara lelaki dan wanita, antara miskin dan kaya kecuali yang paling takwa kepada Allah.
“ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.  (QS Al-Hujaraat, 49:13)


Arafah merupakan dataran luas tempat berkumpulnya jemaah haji, tentu  akan langsung merasakan kehadiran Allah jika mampu mengimajinasikan kekuasaan Allah ditengah terik matahari yanag menyengat dengan hempasan angin renyah  membakar kulit tanpa dapat berlindung dari sengatan panasnya. Dengan pendalaman bahwa setiap individual seolah-olah akan bangkit di padang makhsyar di hari pembalasan untuk mempertanggungjawbakan atas semua perbuatannya di dunia. Dengan suhu yang sangat panas tidak seorangpun dapat mencari perlindungan kecuali hanya Allah yang memberikan perlindungan. kepada orang-orang yang sejak di dunia telah menjalin komunikasi yang baik dan selalu bercengkrama dengan-Nya sehingga ketika pertemuannya di padang yang sangat luas itu Allah sudah sangat mengenalnya begitupun mereka akan selalu tersenyum gembira karena menyaksikan kenikmatan besar bertemu Penguasa yang  mengkondisikan keadaan itu. 

Sejak tergelincir matahari di hari 9 zulhijjah sampai terbenamnya matahari semua jemaah haji harus terus berhati-hati untuk dapat menjalin komunikasi yang baik dengan tidak mengumbar bahasa-bahasa RAFATS "senonoh", memancing keributan JIDAL "bertengkar", dan melanggar aturan sosial budaya masyarakat apalagi aturan syariah FASIQ (QS. AlBaqarah 2 : 197). Nilai-nilai Harmonisasi Arafah sebagai rukun haji ini mengilustrasikan kepada jemaah haji untuk selalu di aflikasikan dalam memelihara interaksi sosial kemasyarakatan.


Keheningan Muzdalifah

Setelah melalui saat-saat yang panas di lapangan terbuka maka selanjutnya Allah mengajak jemaah haji untuk berintropeksi dan mengeksplorasi dirinya agar benar-benar meminta ampun kepada Allah dan selalu mengingat Allah di lembah bukit bebatuan dengan bermalam di Muzdalifah. Satu malam keheningan untuk mengevaluasi sejarah hidup yang telah diperbuat dalam rangka melaporkan secara berharap kepada Allah agar semua yang diperbuat di dunia ini menjadi wacana kebaikan di dunia dan Akhirat (QS. AlBaqarah 2 : 198 - 201).   

Selanjutnya, Peringatan Idul Adha 10 Zulhijjah jemaah haji bertolak ke Mina sambil merasakan peristiwa bersejarah ribuan tahun silam ketika Nabi Ibrahim a.s, dengan penuh ketaqwaan, memenuhi perintah Allah untuk menyembelih anak yang dicintai dan disayanginya, Nabi Ismail a.s.  Atas kehendak Allah, secara tiba-tiba malaikat Jibril hadir dihadapannya dengan membawa seekor kibas untuk disembelih sebagai pengganti anaknya Nabi Ismail. Peristiwa itulah yang kemudian menjadi simbol bagi umat Islam sebagai wujud ketaqwaan seorang muslim terhadap Tuhannya agar selalu siap berkorban apa saja untuk mencapai Ridha-Nya. Ketaqwaan Nabi Ibrahim kepada Allah swt diwujudkan dengan sikap dan pengorbanan secara totalitas, menyerahkan sepenuhnya kepada sang Pencipta suatu hal yang paling dicintainya anaknya Ismail demi cintanya kepada Allah swt.    
Betapa beratnya ujian dan cobaan yang dialami oleh Nabi Ibrahim AS. Beliau harus menyembelih anak semata wayang, anak yang sangat disayang. Namun dengan asas iman, tulus ikhlas, taat dan patuh akan perintah Allah swt Nabi Ibrahim AS akhirnya mengambil keputusan untuk  menyembelih putra tercintanya Ismail, beliau memanggil putranya dengan panggilan yang diabadikan dalam Al Quran Surat Ash Shaafaat (37) ayat 102,

“ Maka tatkala anak itu sampai pada umur sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim , Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirlah apa pendapatmu?” “ Ia menjawab:” Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan  mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar "

Zulkarnain Nasution

Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir

07 October 2014

PILKADA; Pemimpin Kompeten Atau Kehilangan Tuhan?


Menjadi sebuah negara yang kuat dan sejahtera merupakan idaman semua bangsa sebagai manifestasi kedaulatan rakyak yang bermartabat. Untuk mencapai itu maka beragam cara dan bentuk teori yang digunakan sebagai alternatif memilih pemimpin yang akan menjadi pemimpin dalam mewujudkan cita-cita besar sebuah bangsa yang berdaulat. ada yang terbentuk melalui oligarki kerajaan yang di pimpin oleh Raja yang berkuasa dan menyerahkan urusan kenegaraan kepada Perdana Menteri seperti United Kingdom dan Malyasia tetapi banyak juga yang berproses kepemimpinannya dipilih langsung oleh masyarakatnya sehingga pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili masyarakat seperti Amerika Serikat dan Indonesia.

Dalam pemilihan kepala negara Indonesia telah bersepakat untuk dipilih langsung oleh masyarakatnya. Tentu selaku negara yang besar dan berpenduduk mayoritas muslim telah mengalami proses rekrutmen kepemimpinan yang cukup bevariasi demi tercapainya demokrasi yang utuh sesuai idaman para pendiri negeri. maka setiap kali ada perubahan proses kepemimpinan itu selalu mendapat respon kontoverisal antara yang pro dan menolak. seperti UU pilkada yang mengatur pemilihan kepala daerah dimana tidak lagi dipilih langsung oleh masyarakat. Melainkan akan ditentukan melalui votting kursi DPRD.

Kontroversi ini bukan saja antara elit politik yang berperan besar dalam menciptakan legislasi regulasi sesuai pandangannya bernegara tetapi sudah sampai pada lingkungan kecil dimasyarakat mushalla, kedai-kedai kopi, dan juga menjadi pembicaraan anak-anak sekolah dimana mereka belum pernah merasakan menjoblos pilhannya secara langsung.  NU dan Muhammadiyah sangat merespon agar pilkada terlaksana ditingkat DPRD saja. Dengan harapan agar tidak lagi ada perpecahan ditubuh masyarakat karena mendukung si A dan si B. Hal ini ada benarnya, tatkala melihat kondisi sosial masyarakat dibawah dijumpai kerapuhan moral akibat proses pemilihan langsung. di sebuah Mushalla misalnya, ketika pilkada langsung semua tim suksesnya akan mencoba merapat dan mendapatkan suara dari jemaah tersebut. Dengan begitu, mereka akan mempengaruhi tokoh-tokoh didalamnya agar berkenan membawa mereka bersosialisasi dengan bentuk yang dikemas beragam. baik itu memberi bingkisan sesuai data jemaah disana atau langsung mengumpulkan umat di mushalla dengan membiayai kegiatannya, dikemas agar tidak melanggar peraturan.

Ternyata, apa yang sudah dilakukan tokoh yang sudah dipengaruhi itu tidaklah berkenan bagi tokoh lain di mushalla tersebut sehingga tokoh ini membawa tim sukses lainnya ke dalam aktifitas mushalla dikesempatan lain. Dan akibat perbuatan kedua tokoh ini masyarakat dibuat bingung melahirkan kekisruhan antar simpatisan tokoh yang menimbulkan gejolak dan faksi-faksi baru dalam tatanan kemasyarakatan. kalau sudah begini maka resiko inkonsistensi dukungan diragukan oleh tim sukses yang mengakibatkan ancaman-ancaman seperti ungkapan "jika saja nanti saya tidak mendapat suara di lingkungan mushalla "saya akan tutup mushalla ini !!". Lebih menggelitik lagi, antara tokoh di mushalla tersebut kadang ada yang bersepakat untuk menerima siapa saja yang datang bersosialisasi calonnya asal mushalla mendapatkan bantuan berupa materi untuk dimanfaatkan dalam peningkatan pembangunan mushalla.  Setelah selesai pilkada diketahui jemaah disekitar mushalla tidak jelas arah pilihannya yang mengakibatkan semua calon mambaikot segala aktifitas mushalla.

Di tempat yang lain dijumpai seorang kiyai  memaksakan kehendaknya bagi jemaah yang mengikuti pengajian rutinya harus memilih sesuai pilihannya hanya dikarenakan mendapatkan bantuan materi atau dikarenakan kedekatannya kepada si calon. Jika saja tidak mengikuti pilihan sang kiyai maka diharapkan jemaah yang berbeda itu harus tidak mengikuti pengajian rutinnya lagi. Di sisi lain, ada kiyai yang mencoba netral tetapi memberikan fatwa wejangan kepada pengikutnya agar menerima semua bingkisan yang diberikan calon walaupun nanti pilihan ada pada masing-masing personal padahal ketika menerima bingkisan tersebut si calon sudah melakukan "sumpah" terhadap yang menerima agar tidak membelotkan suaranya kepada calon lainnya. Setelah pilkada, terlihat jelas bahwa masyarakat tersebut memilih diluar kesepakatan calon karena mereka menerima semua bingkisan calon, beberapa diantara mereka ada yang golput. Hal semacam ini membuat semua calon stres dan menjustifikasi kalau jemaah tersebut pendusta berjemaah.

Masih menyangkut pilkada, ada cerita lain dimana pemimpin ditingkat Desa melalui RT, RW, dan lain sebagainya mencoba mengkomunikasikan pilihannya dengan bentuk-bentuk hegemoni kekuasaan yang melekat pada dirinya, dimana masyarakat diajak untuk bermusyawarah mufakat dalam menentukan pilihan dengan pertimbangan-pertimbangan manfaat apa yang didapatkan jika memilih si A atau si B. Padahal sejak awal sudah ada niat untuk menggiring pilihan kepada calon tertentu sesuai pilihannya sehingga argumen yang dibangun adalah argumen yang menonjolkan sisi baik yang akan disepakati untuk dipilih dengan mengabaikan calon lain yang sejak awal tidak akan diberi peluang mendapatkan suara di kampungnya. Musyawarah mufakat itu, sudah pasti akan menyepakati sesuai dengan pilihannya dikarenakan apabila berbeda dengan pilihan yang disepakati akan ada sanksi bagi tiap-tiap orang yang berani berbeda dengan alasan ini adalah hasil kesepakatan bersama demi kemaslahatan desa.  Terkadang masih dijumpai ada beberapa orang yang secara diam-diam berbeda pilihan tetapi akhirnya akan mendapatkan sanksi berupa pengisoliran dari masyarakat, dipersulit dalam pengurusan administrasi kependudukan dan lain-lain.

Inilah yang mungkin menjadi kekhawatiran dan ketakutan dua ormas besar yang ada di negeri ini NU dan Muhammadiyah dimana perlakuan seperti diatas terkadang diperankan oleh tokoh-tokoh mereka yang lagi memimpin ormas dengan segala variannya di setiap tingkatan.  sehingga pengawalan kepada moral sosial masyarakat yang dibangun dua ormas ini sejak awal sebelum kemerdekaan bangsa ini tercabik-cabik hanya dengan pesta demokrasi langsung melibatkan masyarakat yang masih rapuh secara ideologi, politik,  dan ekonomi.

Dengan pengalaman pilkada langsung selama 10 tahun terakhir mengakibatkan degradasi moral di semua tingkatan sosial kemasyarakan sehingga  perlu kiranya kreatifitas anak bangsa yang telah sukses mereformasi ke tata negaraan Indonesia untuk mengkaji ulang pesta demokrasi langsung dengan mempertimbangkan pilkada DPRD dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Berharap agar "Tuhan" semua agama kembali kepada tempatnya dimana selama ini hilang bersamaan pilkada langsung karena hilangnya kejujuran, dan hilangnya eksistensi keimanan masyarakat yang melampaui mata Tuhan dengan melakukan sumpah dan pengkhiatan janji di rumah-rumah ibadah, Majelis Ta'lim dan di desa-desa.  Silaturahmi terputus, kepemimpinan tidak lagi proporional karena lebih mengutamakan perhatiannya kepada pemilih yang telah memilihnya.

Tetapi jika pemilhan langsung diabaikan tidak akan ditemukan lagi seorang calon kepala daerah harus  mau menemui dan mendengarkan konstituen sampai kepelosok pedalaman demi menggalang suara hingga dapat melahirkan pemimpin kompeten yang mampu membawa perubahan.  Langkah semacam itu membuat kepala daerah merasa bertanggung jawab kepada rakyat dan mendengar aspirasi rakyat supaya tidak mendapatkan hukuman dari rakyat. Dengan menghilangkan pilkada langsung juga akan menghilangkan hak konstitusi warga negara Indonesia dan menghilangkan demokrasi serta cita-cita reformasi. Apakah ada alternatif lain? wallahu a'lam..

Zulkarnain Nasution

Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir

06 October 2014

Warga Muhammadiyah Salat (Idul Adha 1435H) di Alit Saputra

Tabanan - Pemerintah telah menetapkan hari raya Idul Adha secara resmi jatuh pada hari ini (Minggu, 5 Oktober 2014). Namun sejumlah warga Muhammadiyah di Tabanan telah melaksanakan sholat Idul Adha kemarin pagi (4/10). Ini sesuai dengan ketetapan yang dikeluarkan PP Muhammadiyah bahwa 10 Zulhijah 1435 Hijriyah jatuh kemarin.

Sholat Idul Adha yang diikuti ratusan warga Muhammadiyah di Tabanan ini berlangsung di lapangan Alit Saputra. Mereka datang dari berbagai daerah di seputaran Tabanan dan mulai memadati lapangan sejak pukul 06.00. Semantara khotbah dibawakan oleh Haji Zulkarnain Nasution, Lc.

Selain menggelar sholat Idul Adha lebih awal, warga Muhammadiyah di Tabanan juga telah mulai melakukan kegiatan penyembelihan ternak. Sebanyak 16 ekor sapi dan 5 ekor kambing di qurbankan dalam kegiatan itu. Dan, dagingnya kemudian disebarkan kepada masyarakat tidak mampu di wilayah Tabanan dan sekitarnya.


Satu kantong daging yang dibagikan tersebut setidaknya memiliki bobot satu sampai satu setengah kilo gram. Dengan sejumlah ternak yang dikurbankan sebanyak itu, setidaknya ada seribu lebih kantong daging yang dibagikan. "Paling tidak ada seribu kantong lebih yang dibagikan (kemarin)," jelas salah seorang panitia hari raya Idul Adha usai sholat Idul Adha kemarin. (hai/gup)

JawaPos
RadarBali-Minggu 5 Oktober 2014
Foto by PD 'Aisyiyah Tabanan