Di tengah-tengah masyarakat kita ternyata ada kontraversi apakah Pancasila sebaiknya diterima sebagai Ideologi atau tidak. Misalnya beberapa pemikir kita seperti Ongkhokham, Armahedy Mahzar, Garin Nugroho, dan Franz Magnis Suseno. Mereka menganggap Pancasila sebagai dokumen politik atau kontrak sosial yang memuat persetujuan semua warga tentang azas-azas Negara. Jadi bobotnya sama dengan dokumen-dokumen lain seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Rights di Amerika Serikat dan Droitdel’homme di Perancis. Tokoh-tokoh lain yang berseberangan pemikirannya seperti Koentowijoyo(Kompas, 13 Juli 1999 ; 20 Februari 2001), Azyumardi Azra, Asvi Warman Adam danBudiarto Danujaya (dalam Kompas 23 Juni 2004 ; 9 Juni 2004 ; 1 Juni 2004), JamesDananjaya (Kompas, 28 Juni 2002), dan Asy’ari (Kompas, 12 Juni 2004). Pancasila merupakan ideologi, baik dalam pengertian ideologi negara, atau ideologi bangsa masih dipertahankan oleh pemikir-pemikir lain.
Yang mendukung Pancasila sebagi sebuah dokumen politik menganggap bahwa Pemerintah cenderung menjadikan Pancasila sebagai alat menciptakan industrilisasi monokultur yang menyebabkan terjadinya sentralisasi kekuasaan. Selain itu mereka mengangap Pacasila lebih tepat disebut kerangka nilai atau cita-cita luhur bangsa Indonesia. Pandangan ini muncul sebagai respon kekecewaan mereka perkembangan akhir-akhir ini dimana intepretasi dan pelaksanaan Pancasila di bawah rezim pemerintah Orde baru khususnya mengalami penyelewengan.
Kehadiran kontraversi pemikiran yang meletakkan Pancasila sebagai ideologi atau bukan ini menimbulkan pertanyaan apakah Pancasila sudah tepat menjadi Ideologi Bangsa. Bagaimana Pancasila sebagai Ideologi Bangsa merasuki semua dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk sebagai ideologi dalam kehidupan budaya.
Ideologi secara praktis diartikan sebagai sistem dasar seseorang tentang nilai-nilai dan tujuan-tujuan serta sarana-sarana pokok untuk mencapainya. Jika diterapkan oleh negara maka ideologi diartikan sebagai kesatuan gagasan-gagasan dasar yang disusun secara sistematis dan dianggap menyeluruh tentang manusia dan kehidupannya, baik sebagai individu, sosial, maupun dalam kehidupan bernegara. Ideologi mencirikan diri sebagai yang pertama mempunyai derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan. Oleh karena itu yang kedua mewujudkan suatu asas kerohanian, pandanagan dunia, pandangan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara diamalkan dilestarikan kepada generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban. Sedangkan fungsi ideologi adalah: 1) Sebagai sarana untuk memformulasikan dan mengisi kehidupan manusia secara individual. (Cahyono, 1986:2) Sebagai jembatan pergeseran kendali kekuasaan dari generasi tua (founding fathers) dengan generasi muda. (Setiardja, 2001) 3) Sebagai kekuatan yang mampu memberi semangat dan motivasi individu, masyarakat, dan bangsa untuk menjalani kehidupan dalam mencapai tujuan. (Hidayat, 2001)
Ajaran berbagai nilai filsafat, sebelum berkembang sebagai sistem ideologi, terutama menampilkan nilai fundamental sebagai essensi dan integritas ajarannya, berupa ajaran : materialisme, animisme, dynamisme, polytheisme, pantheisme, secularisme, dan atheisme yang berpuncak sebagai ajaran monotheisme, universalisme atau sering disamakan sebagai sistem filsafat theisme-religious. Peradaban kita mengungkapkan, bahwa sistem filsafat Pancasila memancarkan identitas dan integritas martabatnya sebagai sistem filsafat monotheisme-religious!. Integritas ini secara fundamental dan intrinsik memancarkan keunggulan sistem filsafat Pancasila sebagai bagian dari sistem filsafat Timur (yang berwatak : theisme-religious).
Secara ontologis, epistemologis dan axiologis sistem filsafat Pancasila mengandung ajaran tentang potensi dan martabat kepribadian manusia yang dianugerahi martabat mulia sebagaimana terjabar dalam ajaran HAM berdasarkan filsafat Pancasila. Keunggulan dan kemuliaan ini merupakan anugerah dan amanat Tuhan Yang Maha Esa, Allah Yang Maha Kuasa, Maha Rahman dan Maha Rahim, sebagai tersurat di dalam Pembukaan UUD Proklamasi 45, sebagai asas kerokhanian bangsa dan NKRI.
Pancasila sebagaimana kita yakini merupakan jiwa, kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Disamping itu juga telah dibuktikan dengan kenyataan sejarah bahwa Pancasila merupakan sumber kekuatan bagi perjuangan karena menjadikan bangsa Indonesia bersatu. Pancasila dijadikan ideologi dikerenakan, Pancasila memiliki nilai-nilai falsafah mendasar dan rasional. Pancasila telah teruji kokoh dan kuat sebagai dasar dalam mengatur kehidupan bernegara. Selain itu, Pancasila juga merupakan wujud dari konsensus nasional karena negara bangsa Indonesia ini adalah sebuah desain negara moderen yang disepakati oleh para pendiri negara Republik Indonesia kemudian nilai kandungan Pancasila dilestarikan dari generasi ke generasi. Pancasila pertama kali dikumandangkan oleh Soekarno pada saat berlangsungnya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (BPUPKI).
Pada pidato tersebut, Soekarno menekankan pentingnya sebuah dasar negara. Istilah dasar negara ini kemudian disamakan dengan fundamen, filsafat, pemikiran yang mendalam, serta jiwa dan hasrat yang mendalam, serta perjuangan suatu bangsa senantiasa memiliki karakter sendiri yang berasal dari kepribadian bangsa. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Pancasila secara formal yudiris terdapat dalam alinea IV pembukaan UUD 1945. Di samping pengertian formal menurut hukum atau formal yudiris maka Pancasila juga mempunyai bentuk dan juga mempunyai isi dan unsur-unsur yang membentuknya.
Pandangan dominan yang dipercaya oleh pemerintah, terutama pemerintah Orde Baru adalah bahwa Pancasila merupakan sumber norma dan nilai. Pancasila adalah sistem kepercayaan atau ideologi yang menentukan bagaimana sesuatu seharusnya. Tipe sistem politik dan karena itu struktur dominasi juga dikembangkan dari pemahaman ideologi Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif ini. Dalam ungkapan Langenberg (1990), Orde Baru adalah negara dan sekaligus sistem negara (pemerintahan eksekutif, militer, polisi, parlemen, birokrasi, dan pengadilan), yang sejak 1965/1966 membangun hegemoni dengan formulasi ideologi sebagai tiang penyangganya. Struktur dominasi dan hegemoni negara Orde Baru sendiri tidak dapat dipahami secara persis kecuali jika ketotalan ’integralistik’ dari negara—yakni negara sebagai ’ide’ (ideologi) dan ’instrumen’ (sistem/kebajikan) berinteraksi dengan struktur dan proses kekuasaan, legitimasi, dan akumulasi itu sendiri dipahami’. Implikasi dari formulasi ideologi Pancasila sebagai totalitas organik ini terlihat, misalnya, sejak 1985, seluruh organisasi sosial politik digiring oleh hukum untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya dasar filosofis, sebagai asas tunggal dan setiap warga negara yang mengabaikan Pancasila atau setiap organisasi sosial yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal akan dicap sebagai penghianat atau penghasut, sehingga, “Cap durhaka“ itu telah meluas tidak hanya sebagai tuduhan subversif sebagaimana kerap dialamatkan pada komunisme atau ide negara Islam, melainkan mencakup segala pendapat yang berbeda dengan ideologi negara.
Paraktek-praktek budaya pada masa Orde Baru digagas untuk melanggengkan kekuasaan. Budaya adiluhung pada saat itu dianggap budaya sentral dan yang utama dalam konsep kebudayaan secara keseluruhan, sedangkan budaya rendahan dari kalangan masyarakat bawah terpinggirkan. Budaya pinggiran ini dianggap pelecehan dan subversive, tak heran upaya upaya mengangkat budaya pinggiran hampir tidak terdengar gaungya pada masa pemerintahan rezim Suharto. Usaha legitimasi kkeuasaan pemrintah masuk keduania pendidikan melalui kegiatan Penataran Pengamalan Pancasila yang terselubung. Sehingga dunia pendidikan yang seyogyanya melahirkan pemikiran-pemikiran kritis menjadi mandul.
Dalam makalah “Pancasila Sebagai Ideologi dalam Kehidupan Budaya” oleh M.Sastrapratedja sebenarnya telah terlihat kerangka berfikir kritis. Konsep kebudayaan sudah di arahkan pada pendekatan semiotik Geerz yang menjadi pilar filsafat pemikiran kritik. Pemikiran seperti ini menempatkan isu perubahan sebagai isu utamanya, dengan asumsi bahwa manusia sebagai makhluk hidup yang terus berkembang dan belum selesai.
Kebudayaan sebagai suprastruktur mengalami pelecehan dalam rezim pemerintahan Orde Baru yang memusatkan pemikirannya kepada developmentalisme. Di sini ekonomi sebagai infrastruktur mendapatkan porsi utama sehingga semua aspek hidup mengarah kepada tujuan-tujuan ekonomi praktis. Konsep manusia ditemukan dalam konsep industrilisasi satu dimensi yaitu dalam kerangka produksi dan distribusi, sehingga manusia mengalami alieanasi. Tetapi dalam meredevenisikan Pancasila sebagai Ideologi Kebudayaan, Pancasila menghargai mengangkat harkat individu manusia yang terabaikan dalam pendekatan developmentalisme.
Kebudayaan juga tidak dilihat lagi sebagai ”given” yang diterima begitu saja karena disusupi oleh ideology yang bertujuan melanggengkan kekuasaan melaikan sebagai “becoming” sebagai proses menjadi yang terus berjalan. Dalam konsep ini terlihat pengakuan budaya- budaya pinggiran yang sama kedudukannya dengan budya adiluhung.
Dalam dimensi budaya politik, terlihat adanya pengakuan multikulturalisme sebagai unsur yang membentuk identitas bangsa. Isu-isu pemikiran kritis relevan dalam mengembangkan pengakuan kebudayaan yang beranekaragam. Pendekatan pluralism dan multikulturalisme adalah pendekatan yang sejalan dengan konsep kritis yang dikembangkan dalam kajian budaya. Pancasila dalam hal ini adalah referensi dalam pembentukan identitas baru sebagai warga negara. Pancasila menggagas pula keterlibatan semua warganegara dalam pembangunan dalam bentuk partisipasi. Karena adanya pengakuan warganegara sebagai manusia yang otonom yaitu sebagai wujud manifestasi semangat kebebasan dan persamaan hak dan kewajiban sebagi warga republic.
Isu-isu kontemporer yang dibahas dalam kajian kritis tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Kita ketahui bahwa perkembangan dan perubahan yang cepat dalam tatanan sosial, akibat kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan arus informasi yang deras mengalir dalam dunia yang mengejala global. Hal ini memang mengkhawtirkan terhadap pembentukan identitas bangsa khususnya bagi generasi muda. Namun demikian Pancasila mampu hadir memberikan orientasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan sehingga generasi muda tidak luncur kepada pemujaan ilmu pengetahuan yang mampu merusak tatanan sosial. Pancasila juga berfungsi sebagai filter dan rujukan bagi semua informasi, sehingga generasi muda dapat mengembangkan jati dirinya beindentitaskan nilai-nilai luhur bangsa.
Penyimpangan pemaknaan Pancasila sebagai ideologi pernah terjadi ketika Orde baru yang lebih memusatkan diri pada pembangunan ekonomi. Hal ini menjadi perdebatan apakah Pancasila sebagai ideologi atau sekedar dokumen politik saja. Jika dilihat dari sudut sistem filsafat, ideology Pancasila sudah mampu mengisi hidup dan memberikan semangat dan motivasi individu, masyarakat, dan bangsa untuk menjalani kehidupan dalam mencapai tujuan. Karena itu dalam konteks kekinian dimana pemikiran baru, pemikiran kritis berkembang, perlu pula merevitalisikan Pancasila sebagaai idieologi bangsa dan kebudayaan. Pancasila mampu menjawab semua aspek yang di pertanyakan dalam isu-isu pemikiran kritis.
Sumber Bacaan
Hardiman F.B, 2009, Kritik Ideologi, Yogyakarta, Kanisius
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4, Bandung, Penerbit Alumni.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cetakan ke-6.
Sastrapratedja.M, Pancasila Sebgai Ideologi dalam Kehidupan Budaya, makalah
Wahyudi, A, Ideologi Pancasila Doktrin yang Komprehensif atau Konsepsi Politis?, makalah Pusat Studi Pancasila UGM, Yogyakarta.
Zulkarnain Nasution
Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir
Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir

0 comments:
Post a Comment