09 October 2014

Membumikan Spirit Haji (1)

Panggilan haji yang diwajibkan bagi setiap muslim adalah sebuah ritual yang tidak terlepas dari intrepretasi pengaktualan diri kepada Khaliq dan makhluk, dimana dua dimensi ini harus menjadi pondasi dasar dalam pengakuan keimanan seseorang.  Spritualitas yang terbangun atas perekat kemampuan ibadah yang hanya dipersembahkan untuk Allah harus juga termanifestasikan melalui aktualisasi interaksi sosial tanpa jarak. Sebagaimana Allah memberlakukan standar hubungan dengan makhluk bahwa keberadaannya tidak berjarak "Aku sangat dekat dengan urat lehermu". "Dan Apabila Hambaku Menanyakanmu tentang keberadaanku maka sesungguhnya aku dekat". Untuk itu Ibadah haji mempunyai harapan akan lahirnya sosok-sosok manusia yang mampu secara spirit dan materi dalam melakonkan dua dimensi itu secara baik dengan berlandaskan kekuatan iman.    
 
Kedua dimensi itu terwujud ketika berkumpul di Arafah dengan memakai seragam ihram putih merupakan lambang kesetaraan derajat manusia di sisi Allah, tidak ada keistimewaan satu bangsa dengan bangsa lainnya, antar yang berkulit putih dan lainnya, antara lelaki dan wanita, antara miskin dan kaya kecuali yang paling takwa kepada Allah.
“ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.  (QS Al-Hujaraat, 49:13)


Arafah merupakan dataran luas tempat berkumpulnya jemaah haji, tentu  akan langsung merasakan kehadiran Allah jika mampu mengimajinasikan kekuasaan Allah ditengah terik matahari yanag menyengat dengan hempasan angin renyah  membakar kulit tanpa dapat berlindung dari sengatan panasnya. Dengan pendalaman bahwa setiap individual seolah-olah akan bangkit di padang makhsyar di hari pembalasan untuk mempertanggungjawbakan atas semua perbuatannya di dunia. Dengan suhu yang sangat panas tidak seorangpun dapat mencari perlindungan kecuali hanya Allah yang memberikan perlindungan. kepada orang-orang yang sejak di dunia telah menjalin komunikasi yang baik dan selalu bercengkrama dengan-Nya sehingga ketika pertemuannya di padang yang sangat luas itu Allah sudah sangat mengenalnya begitupun mereka akan selalu tersenyum gembira karena menyaksikan kenikmatan besar bertemu Penguasa yang  mengkondisikan keadaan itu. 

Sejak tergelincir matahari di hari 9 zulhijjah sampai terbenamnya matahari semua jemaah haji harus terus berhati-hati untuk dapat menjalin komunikasi yang baik dengan tidak mengumbar bahasa-bahasa RAFATS "senonoh", memancing keributan JIDAL "bertengkar", dan melanggar aturan sosial budaya masyarakat apalagi aturan syariah FASIQ (QS. AlBaqarah 2 : 197). Nilai-nilai Harmonisasi Arafah sebagai rukun haji ini mengilustrasikan kepada jemaah haji untuk selalu di aflikasikan dalam memelihara interaksi sosial kemasyarakatan.


Keheningan Muzdalifah

Setelah melalui saat-saat yang panas di lapangan terbuka maka selanjutnya Allah mengajak jemaah haji untuk berintropeksi dan mengeksplorasi dirinya agar benar-benar meminta ampun kepada Allah dan selalu mengingat Allah di lembah bukit bebatuan dengan bermalam di Muzdalifah. Satu malam keheningan untuk mengevaluasi sejarah hidup yang telah diperbuat dalam rangka melaporkan secara berharap kepada Allah agar semua yang diperbuat di dunia ini menjadi wacana kebaikan di dunia dan Akhirat (QS. AlBaqarah 2 : 198 - 201).   

Selanjutnya, Peringatan Idul Adha 10 Zulhijjah jemaah haji bertolak ke Mina sambil merasakan peristiwa bersejarah ribuan tahun silam ketika Nabi Ibrahim a.s, dengan penuh ketaqwaan, memenuhi perintah Allah untuk menyembelih anak yang dicintai dan disayanginya, Nabi Ismail a.s.  Atas kehendak Allah, secara tiba-tiba malaikat Jibril hadir dihadapannya dengan membawa seekor kibas untuk disembelih sebagai pengganti anaknya Nabi Ismail. Peristiwa itulah yang kemudian menjadi simbol bagi umat Islam sebagai wujud ketaqwaan seorang muslim terhadap Tuhannya agar selalu siap berkorban apa saja untuk mencapai Ridha-Nya. Ketaqwaan Nabi Ibrahim kepada Allah swt diwujudkan dengan sikap dan pengorbanan secara totalitas, menyerahkan sepenuhnya kepada sang Pencipta suatu hal yang paling dicintainya anaknya Ismail demi cintanya kepada Allah swt.    
Betapa beratnya ujian dan cobaan yang dialami oleh Nabi Ibrahim AS. Beliau harus menyembelih anak semata wayang, anak yang sangat disayang. Namun dengan asas iman, tulus ikhlas, taat dan patuh akan perintah Allah swt Nabi Ibrahim AS akhirnya mengambil keputusan untuk  menyembelih putra tercintanya Ismail, beliau memanggil putranya dengan panggilan yang diabadikan dalam Al Quran Surat Ash Shaafaat (37) ayat 102,

“ Maka tatkala anak itu sampai pada umur sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim , Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirlah apa pendapatmu?” “ Ia menjawab:” Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan  mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar "

Zulkarnain Nasution

Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir

2 comments:

  1. Spirit haji pada intinya keselarasan ucapan dan tindakan, prilaku dalam kehidupan terhadap Ketauhidan (Keyakinan dan persembahan Total terhadap Allah SWT) dan tauladan Keluarga Ibrahim merupakan contoh terbaik yang diberikan Allah SWT. Spirit haji ini bukan saja milik total dari Pak haji atau Bu Hajjah tetapi spirit ini pula dimiliki oleh Ummat Islam Penyandang " Pak Haji dan Bu hajjah Belum " disinilah letaknya Pembumian Nilai-nilai spirit Haji yang sebenarnya perUntukan Ummat Manusia. Tulisan ini inspiratif ana izin share, selamat berkarya untuk abang Kyai zul ,sukses selalu, salam dari bumi serombotan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saudaraku.. Trimakasih atas masukannya... semoga kita akan terus menemukan hikmah haji untuk trus bisa kita bumikan.. silahkan di share semoga bermanfaat.. sukses selalu ya...

      Delete